Menanti Senja di Tanah Lot, Bali



 
Bulan Februari 2016 ternyata cuaca di Bali kurang bersahabat. Hujan turun hampir setiap hari. Beberapa jadwal penerbangan  terganggu. Ada yg ditunda dan arahkan ke bandaran lain dan bahkan ada yang batal. Ini berbeda dengan tahun lalu ketika saya juga berkunjung kesini pada antara tanggal 7-9 Februari 2015 untuk merayakan hari ulang tahun pernikahan saya yang ke 23 bersama isteri dan my son. Cuacanya sangat cerah sepanjang hari. Kunjungan saya ke Bali kali ini adalah untuk.mengikuti Rapat Kerja Nasional Asosiasi Ahli Pialang Asuransi dan Reasuransi Indonesia (RAKERNAS APARI) tahun 2016. 






Jumat siang jam 12an saya mendarat di bandara Ngurah Rai dalam cuaca hujan rintik-rintik dan dibayangi rasa ketakutan karena ada berita dua pesawat nyaris bertabrakan ketika mencoba mendarat di bandara ini sehari sebelumnya karena hujan lebat. Penampakan bandara ini sudah sangat berbeda, semua sudah tertata rapi tidak seperti setahun yang lalu. Kini antara terminal domestik dan internasional sudah terpisah. Penerbangan internasional ada di terminal baru nan megah sementara untuk domestik di terminal lama yang sudah direnovasi. Bagus, kwalitas bangunan dan penataannya sudah setara dengan bandara-bandara internasional di luar negeri. 


Saya langsung menuju ke hotel Santika di jalan raya Pantai Kuta tak jauh dari bandara menumpang kendaraan avanza sewaan yang menawarkan jasanya. Awalnya saya ditawarkan oleh sopir taksi dengan tariff 200 ribu. Saya kaget, mahal sekali untuk jarak yang hanya sekitar 5 km. Saya tawar dan dia mau turun jadi 125 ribu. Saya ingin mendapat penawaran altenatif dan ternyata harga paling murah memang 125 ribu. Walau tetap mahal tapi ya sudahlah saya tetap harus berangkat. 15 menit kemudian saya sampai di hotel Santika tempat rapat kerja diadakan. Saya langsung menemui panitia. Disana Rama, Rina, Sofi dan rekan-rekan pengurus sudah bertugas. Saya mengambil kunci kamar hotel.
Wah tenyata kamar diperuntukkan untuk 2 orang. Sebenarnya sudah ada di dalam email pemberitahuan dari panitia bahwa peserta diperbolehkan membawa anggota keluarga tapi karena saya jarang membuka yahoo saya tidak ngeh. Kalau begitu saya akan ajak kakak saya yang kebetulan sedang berada di Jakarta yang baru akan pulang ke Payakumbuh hari Senin. Sementara isteri dan anak saya kurang begitu tertarik. Saya coba menelepon kakak saya untuk mencari tiket akan tetapi semua pesawat pulang dan pergi ke Bali untuk Sabtu dan Minggu sudah penuh. 
 
Rapat kerja berlangsung sampai tengah malam. Sabtu pagi adalah acara free program dan baru dan siangnya kembali ada acara berwisata bersama ke Tanah Lot dan makam malam di desa adat di Kelungkung.
Sabtu pagi selepas sarapan sekitar jam delapan saya bergabung dengan empat orang teman lainnya untuk berjalan-jalan ria di sekitar Kuta dan Nusa Dua. Kami berangkat menaiki mobil avanza yg dicarter oleh salah pak Mardianto teman saya. Pertama kami menuju ke kawasan Nusa Dua melalui jalan tol. Bagi dua orang rekan saya Rina dan Sofi  ini adalah kunjungan pertama mereka ke pulau Dewata. Setelah memasuki kawasan Nusa Dua kami berbelok ke kiri ke pantai Benoa. Baru saja kami turun dari mobil langsung disambut oleh guyuran hujan. Kami berebutan naik kembali ke mobil. Gagallah kami menikmati indahnya pantai Benoa di pagi hari. Kami.segera bergegas ke kawasan wisata patung Wisnu Garuda Kencana (WGK) berjarak kira-kira 10 km  melalui kampus Udayana. Untuk menghibur teman-teman saya ceritakan lawakan cak Lontong. "Wah universitas ini  banyak alumninya salah satunya adalah cak Lontong. Oh cak Lontong alumni Udayana yah...? kata teman-teman saya. Iya.. ibunya cak Lontong ketika dia minta kuliah ibunya bilang gini "Udah yah na', udah ya na' " kamu ga usah kuliah saja" he he he.
Kami sampai di kawasan WGK dalam suasana hujan rintik-rintik. Pengunjung belum begitu ramai. Setelah membayar tiket masuk seharga 60 ribu perorang kami langsung mengikuti pertunjukkan tari di Amphitheater dan kemudian dilanjutkan dengan mengunjungi monumen di kawasan WGK. Luar biasa, meskipun belum sepenuhnya selesai tapi patung-patung yang ada sudah ditata dengan baik dan terlihat menakjuban sekali.
Ada pemandangan yang sangat menarik ketika memasuki pelataran di depan patung Garuda. Ada lembah panjang  buatan yang membelah gunung batu kapur seperti kita berada di lembah di peradaban kuno. Ada rumput hijau tumbuh di tengahnya. Setelah menaiki anak tangga setinggi 3 meter tampaklah patung garuda dalam ukuran raksasa. Tingginya sekitar 15 meter. Awalnya saya mengira patung itu terbuat dari batu yang dipahat tapi ternyata ia terbuat dari tembaga. Di sebelah kiri dari patung garuda ada patung Wisnu berupa penampakan seorang pria tampan. Ukurannya juga lebih kurang sama dengan patung garuda. Tak jauh dari lokasi ini ada tower crane sedang bekerja tempat kedua patung ini nanti akan disusun dengan bagian lain sehingga akan menjelma menjadi patung raksasa yang akan terlihat jelas dari pantai Kuta yang berjarak sekitar 15 km dari lokasi. Setelah 1 jam, kami meninggalkan kawasan GWK pada saat turis asing sudah semakin ramai. 


Kami menuju ke kawasan pura Ulu Watu melalui kawasan Pecatu. Karena saya sudah dua kali masuk ke kawasan candi ini dan kacamata saya pernah dicuri oleh "penduduk asli" alias monyet saya ogah masuk lagi dan menunggu di luar tiga  orang teman saya saja  yang masuk. Pada saat menunggu itu saya melihat keusilan para monyet menggangu pengunjung dan pedagang. Tiba tiba seorang wanita turis Korea menjerit. Ternyata si monyet menjambret sepasang sepatu yang dijiningnya  dan menggitnya. Beberapa saat kemudian seekor monyet menjarah dagangan milik warung tempat saya nongkrong. Wah ternyata selain sebagai obyek wisata ternyata si monyet juga sebagai penggangGu yah. Dasar monyet luh... he he he 

Karena waktu sudah semakin siang dan jam 3 kami sudah harus kembali ke hotel untuk program berikutnya berangkat ke pura Tana Lot. Kami makan disiang di sebuah restoran padang di Nusa Dua. Salah seorang teman berkomentar "yah pak jauh-jauh ke Bali makannya di  padang juga". Saya katakan kalau kita makan di restoran lain belum tentu halal. Ini di Bali. Selesai makan kami melanjutkan perjalanan kembali ke kawasan Kuta sebelum kembali ke hotel kami mampir toko oleh-oleh Krisna khas Bali di jalan by pass.

Menjelang jam empat kami kami sudah bergerak menuju ke tanah lot menaiki bus. Perlu waktu sekitar setengah jam untuk bisa lepas dari kemacetan di sepanjang jalan raya kuta arah ke Denpasar. Setelah hampir satu jam.perjalanan di jalan raya Denpasa-Gilimanuk bus berbelok ke kiri melewati pedesaan dengan suasana khas Bali. Janur lengkap dengan hiasannya banyak berdiri tinggi menujulang di kiri-kanan jalan. Ini memang masih dalam suasana hari raya Galungan. Banyak kegiatan keagamaan tampak di sepanjang jalan. Hamparan sawah subur menghijau terbentang indah di kiri kanan. Pada sebuah papan penunjuk jalan saya melihart ada tulisan "Munggu". Wow, angan saya melayang jauh ke Sariek Laweh kampung halaman saya nun jauh di Ranah Minang. Ada tempat persawahan yang namanya juga Munggu. Inilah bukti bahwa budaya Minang dan Bali mempunyai latar belakang yang sama. Makin dekat ke pura Tana Lot suasana keagaman Hindu makin khidmat dan semarak, ada beberapa pura ramai dikunjungi umat lengkap dengan hiasan dan sajen aneka rupa. Membuat saya semakin iri atas ketaatan umat Hindu menjalankan ajaran agamanya.
Ketika kami sampai di kawasan wisata Tana Lot matahari tak mengeluarkan sinarnya mesti hujan tidak lagi turun. Jika saja matahari cerah tentulah ini saat yang tepat untuk memetik gambar-gambar nan indah menjelang sang surya tenggelam di ujung samudera. Mesti sudah sore namun turis manca negera masih banyak menyesaki tempat parkir sampai ke kawasan pura di tepi pantai. Semua tampak ceria dengan kamera tongsis dan  selfie aneka gaya. Mesti matahari senja tak muncul tapi tidak mengurangi keindahan dan kesyahduan melepas senja di pantai Tana Lot. Hawa sejuk, deburan ombak, bangunan pura berwarna gelap, tebing dan hijaunya lapangan golf Nirwana Resort di sebelah timur. Semua itu membuat keindahan sore hari yang tak terlupakan.

Saya menjelajahi sepanjang pantai dari sebelah timur sampai di ujung barat untuk apalagi kalau bukan untuk melengkapi koleksi foto foto indah di blog saya ini. Karena keasyikan, saya sempat terpisah dari gerombolan teman-teman saya yang telah lama mencari-cari dan menunggu saya di dalam bus. “waduh pak Taufik kemana saja, dari tadi kami tunggu”... maaf bro...

Kami meninggalkan tanah lot di waktu magrib tapi disini tak terdengar seruan azan...ya iyalah... he he he. Kami menuju ke arah barat untuk acara makan malam dengan khas kerajaan Bali di sebuah puri. Melalui pedesaan Bali di malam hari terasa berada di kampung halaman saya sendiri. Ada kelap-kelip cahaya lampu dari rumah-rumah di tengah sawah ada warung di pinggir jalan dengan beberapa orang sedang menikmati secangkir kopi sambil bercengkarama. Sama persis suasana di Sarik Laweh. Menjelang jam delapan malam kami audah tiba di tempat acara makan malam. Bukan di restoran tapi di sebuah bangunan puri atau istana raja berumur hampir dua ratus tahun. Kami disambut secara adat dengan tarian dan iringan orkestra khas Bali yang sangat indah. Kami diarak bak tamu agung memasuki puri. Di dalam telah menunggu sang raja ketua adat. Di dalam puri ada lagi seprangkat orkestra berdengung yang menyambut pagi. Kami dipersilakan duduk di meja makan yang ditata dengan gaya khas Bali. Sebagai welcome drink kami disuguhi  minuman arak. Begitu meneguknya kerongkongan saya terasa panas. Berasa air tape yang sangat kental. Wah kadar alkoholnya kayaknya sudah diatas ambang toleransi halal. Saya hentikan meminumnya. Selanjutnya sang raja memberikan kata sambutannya. Menjelaskan tentang puri ini adalah warisan turun-temurun keluarga beliau. Bangun puri ini masih asli hanya beberapa bagian saja yang sudah diganti. Makanan malam pun mulai dihidangkan. Diawali dengan semangkok sup ayam. Setetalah menyantap beberapa sendok saya sadar wah jangan-jangan ayamnya tidak disemblih dengan membaca bismillah... berati tidak halalan toyyiban, langsung saya hentikan. Makanan yang  lain dihidangkan secara prasmanan saya hanya memilih makan ikan dan sayur. Ada pepes ikan. Ada sayur dari tanaman di sawah. Nah ini juga sama yang dimasak di kampung saya. 
Selesai makan, masih ada satu acara lagi pertunjukan atraksi berbahaya yang mencekam dengan menggunakan pisau. Mirip dengan debus. Dimulai dengan diiringi dengan suara deburan gendang kemudian para pemain mulai beraksi. Seorang pria berbadan besar masuk ke halaman. Tiba-tiba seorang pemuda berbadan kurus dengan pisau terhunus menghujamkan ujung pisaunya ke perut si pria itu. Semua hadiran tersentak kaget.  Tapi herannya pisau itu tertahan dan tidak melukai. Si pemuda mencoba berkali kali menghujamkan belatinya tapi tidak melukai. Suasana semakin tegang karena si pemuda semakin bernafsu bahkan keringat mencucur deras dari tubuhnya karena dia mengerahkan seluruh tenaganya. Pertunjukkan berakhir dengan selamat. Konon kata seorang teman yang melihat ada seorang berbaju putih memberikan jampi-jampi dan mantara sebelum pertunjukkan dimulai. Hmm...mangkane..

Jam sepuluh lewat pertunjukkan berakhir dan kamipun berangkat meninggalkan puri menuju ke hotel. Jam 12 malam saya masuk kamar sholat jamak magrib dan insya dan langsung tertidur pulas. Saya kembali besoknya dengan pesawat Lion Air berangkat jam empat. Sore. Semua berjalan lancar tidak ada penundaan. Yang membuat saya surprise saya naik peasawat Lion jenis Airbus 330 200 yang baru datang.
Ternyata rapat di selingin liburan asyik juga. 




Terima kasih pengurus APARI, look forward to have such kind of meeting again soon. 

lngrisk.co.id
Share on Google Plus

About Taufik Arifin

0 comments: