Ustad H. Arifin, Ulama Pembaharu dari Sarik Laweh


Pada kesempatan ini saya ingin menuliskan tentang perjalanan hidup seorang ulama yang telah mengabdikan sebagian besar hidupnya kepada masyarakat Sariek Laweh dan sekitarnya. Tulisan ini saya buat atas rasa kagum, cinta serta hormat kepada beliau yang tidak lain adalah kakek saya sendiri. Tulisan ini berdasarkan penuturan ayahanda saya H. Masyur Arifin.










Latar Belakang Keluarga
Al Ustad Haji Arifin bin Muhammad Jamil, seorang ulama yang sangat tekenal pada zamannya. Seorang guru yang selalu dicari-cari. Seorang ayah yang sangat bertanggung jawab kepada seluruh anak-anaknya. Seorang ulama yang berilmu agama yang sangat luas tapi berfikiran terbuka terhadap moderniasi sehingga beliau juga dikenal sebagai ulama pembaharu. Seorang ulama yang hartawan yang didapatkannya melalui keahlian  berdagang dan berusaha.

Orang mengenal beliau dengan sebutan Buya Oji Ripin atau Haji Arifin. Lahir pada tahun 1897 di dusun Koto Malintang, Kecamatan Akabiluru kabupaten 50 Kota. Ayah beliau Haji Sekh Muhammad Jamil seorang ulama besar  mempunyai surau pengajian di Mato Aie desa Koto Baru sebelah timur dari tempat kelahiran beliau.
Desa Kota Malintang
Ibu beliau bernama Timbang asal desa Koto Malintang anak dari seorang Datuak Kapalo (Kepala Desa) Guguak bernama Datuak Indo Marajo suku Pagar Cancang jorong Tiakar. Selain beranakan Timbang, Datuak Indo Marojo juga mempunya anak perempuan lain bernama Zainab yang merupakan ibu kandung dari Leon Salim salah seorang tokoh perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Buya Haji Arifin berasal dari suku Jambak. Dahulunya nenek moyang beliau berasal dari Sungai Janiah Agam tepatnya di daerah Baso tidak jauh dari kota Bukittinggi. Sebelum bermukim di Koto Malintang kaum ini pernah pula bermukim sampai beberapa lama di Nagari Batuhampar sebelah bawah. Keluarga beliau disana  masih ada sampai sekarang yaitu kemenakan dari Datuak Pamuncak. 
Sekitar pertengahan abad ke 19 keluarga beliau pindah ke Koto Malintang atas permintaan dari suku Jambak Datuak Rajo Malano  karena mereka sudah akan punah.

Ayah beliau Haji Sekh Muhammad Jamil  berasal dari suku Melayu asal Koto Tuo Sarik Laweh .Nenek moyang H. Muhammad Jamil adalah  Tengku Muhammad Daud berasal dari wilayah Lamno Aceh
Tengku Muhammad Daud termasuk dari rombongan beberapa ulama pembaharu yang  diutus untuk berdakwah di wilayah Minangkabau. Tengku Ahmad berangkat bersama tiga orang ulama lainnya mereka masuk melalui sungai Batang Masang terus menuju ke daerah Kumpulan dekat Bonjol. Di tempat itu  bekumpul para ulama asal Aceh. Setelah dinobatkan sebagai seorang Sekh kemudian beliau ditugaskan untuk berdakwah di daerah Luhak Lima Puluh dan akhirnya menetap di Sariek Laweh.

Kantor Walinagari Sarik Laweh
Jalan Raya Batang Sawah, Sarik Laweh
Para ulama ini membawa ajaran Nahsyahbandiah, sebuah ajaran pembahuruan agama Islam. Sebelum kedatangan para ulama ini di ranah Minangkabau sudah berkembang ajaran agama Islam dengan ajaran Widatul Wujjud yang dibawah oleh Hamzah Fansuri masuk melaui daerah Barus. Kemudian ajaran ini di bawa  oleh Sekh Burhanuddin asal Ulakan sekitar tahun 1,400 M. Pada saat itu berkembang ajaran tarekat Zamaniah, Qadariah, Satariah dan lain-lain. Inti dari ajaran ini adalah bahwa Allah itu bisa berwujud dalam diri manusia!
Tarikat Nahsyahbandiah yang mereka bawa memperbaiki pemahaman ajaran yang salah selama ini. Mereka mengajarkan sesuai dengan syariah Islam dan tidak mencampur adukkan dengan ajaran nenek moyang orang Minangkabau yang pada saat itu masih dipengaruhi oleh ajaran Hindu. Para ulama ini bekerja membersihkan kurafat dan perilaku buruk yang bertentangan dengan ajaran Islam seperti mengadu ayam, berjudi dan lain-lain.
Para ulama pembaharu yang terkenal pada masa itu antara lain H. Miskin, H.Sumanik, Tuanku Guguak, Tuanku di Bawah Tobiang, Haji Piobang, Tuanku Intan Bakati. Usaha yang mereka lakukan mendapat tantangan dari raja Pagaruyung yang berkuasa pada saat itu sehingga terjadi peperangan. Karena terdesak pemerintahan Pagaruyung menyerahkan sebahagian wilayah kekuasaanya kepada Belanda seperti Sungai Tarap, Gantiang dan Suraso). Ini adalah penyebab timbulnya perang PADRI yang terkenal itu.

Setelah menetap di Sariek Lawah, Tengku Muhammad Daud melanjutkan dakwahnya sambil mengajarkan ilmunya kepada murid-murid yang datang dari berbagai daerah. Perjuangan dakwah beliau cukup berhasil sehingga banyak kebiasan buruk masyarakat berubah. 
Setelah Tengku Muhammad Daud wafat dakwak dilanjutkan oleh salah seorang anak beliau bernama Ismail. Sebagai anak kandung langsung Ismail meneruskan dakwah ayahnya dengan baik. Setelah beliau wafat diteruskan oleh salah seorang anak beliau bernama Sekh Khalidi atau yang dikenal dengan panggilan Beliau Surou Toruang. Hingga sekarang bangunan surau beliau ini masih ada bekasnya, lektaknya di bawah Bukik Banta masuk wilayah Nagori Godang. 
Sebagai seorang ulama terkenal Sekh Khalidi mempunyai beberapa orang anak laki-laki antara lain Angku Batuah asal suku Jambak, Nan Kerang asal suku Melayu, Tuk Balam asal suku Caniago, Talib Datuak Pucuk Putiah suku Payoboda, Abdul Gani asal suku Melayu dan Sekh Muhammad Jamil yang menjadi penerus dakwah beliau yang merupakan ayah dari Ustad Arifin atau Buya Oji Ripin.

Sekh Muhammad Jamil merupakan ulama pertama asal Sariek Laweh yang pergi berhaji, beliau berangkat pada tahun 1894 M. Beliau juga yang mulai membangun Surou Mato Aie tempat beliau mengajar. Surau itu hasil wakaf  dari masyarakat.
Surou Mato Aie, Augustus 2011



Jendela kayu umur 120 tahun yang sudah rusak
Perjuangan Dakwah
Sejak dari kecil Buya Haji Arifin sudah didik dengan baik oleh ayah beliau dengan ilmu agama. Beliau sudah diajari mengaji dan mengafal hadis sejak dari usia 5 tahun. Ayah beliau telah memilih beliau sebagai penerus dakwah Islam di daerah ini. Untuk melengkapi ilmu sang penerus sang ayah H. Muhammad Jamil mengirim  untuk pergi menambah ilmu nun jauh ke tanah suci Makah dan ke Mesir.
Buya Haji Arifin berangkat ke Mekkah pertama kali pada tahun 1919 M dan belajar dari para ulama besar yang ada disana. Setelah selesai belajar di Mekkah H. Arifin melanjutkkan pendidikannya di perguruan Darul Hadis di Alexandria di Mesir. Di sana beliau mendalami ilmu hadis sehingga lulus dengan peringkat sebagai Muhadissin.

Salain belajar di Mekkah dan Mesir beliau juga belajar dari guru yang sangat terkenal waktu itu Engku Meren asal Limbukan, Payakumbuh. Disini beliau belajar ilmu yang dikembangkan oleh Sekh Tahir Jalaluddin ulama besar asal Ampek Angkek Bukittinggi seorang ulama pertama di luar Arab yang berhasil mendapatkan gelar Shaikul dari Universitas Al Azhar Cairo pada tahun 1896. Karena pengaruhnya sangat besar bagi keamanan penjajah Belanda, Sekh Tahir diusir oleh Belanda dan pindah ke Perlis Malaysia.
Pada tahun 1923 M H Arifin pulang kembali ke tanah air dan mulai mengajarkan ilmu yang beliau peroleh di Makkah dan Mesir. Beliau mulai melakukan pembaharuan dalam beragama. Hal yang pertama beliau lakukan adalah menghilangkan pengkultusan seseorang khususnya ulama. Saat itu ulama dianggap sebagai seseorang yang mempunyai kelebihan dari orang biasa. Mereka diperlakukan sangat istimewa.
Beliau juga melakukan perubahan di dalam cara belajar. Memperkenakan penggunaan bangku tempat duduk di dalam ruangan. Sebelumnya murid dan guru duduk bersila di lantai. Beliau juga mengajarkan menulis dan membaca huruf Arab. Dari Mesir beliau membawa 2 peti besi ukuran 1/2m  x 1 m berisi ratusan buku dalam bahasa Arab. 

Dengan keluasan ilmu dan metode belajarnya yang sangat menarik membuat banyak murid-murid dari dearah lain berdatangan. Mereka berasal dari berbagai daerah di Riau seperti Bangkinang, Air Tiris dan Kuok. Dari pantai barat seperti Painan dan Bengkulu dan tentu banyak lagi yang berasal dari wilayah sekitar. 

Pada tahun 1927 M Buya H Arifin kembali berangkat ke Mekkah. Kali ini beliau berangkat tidak sendiri tapi membawa 33 orang jemaah yang sebagian besar murid beliau. Dari hasil mengajak sedemikian banyak jemaah maskapi pelayaran Belanda memberikan komisi kepada beliau sekitar 1,000 Gulden. Dengan uang sebanyak itu beliau bisa membeli sebuah rumah di Makkah tempat menampung jemaah. Uang itu masih tersisa sehingga sewaktu kembali ke tanah air uang itu beliau gunakan untuk membeli tanah dan ternak.
Gobah, tempat kuburan H. Muhammad Djamil dan H Arifin 






Keluarga
Sebagai seorang ulama, cerdas dan hartawan Buya H Arifin banyak sekali yang menginginkan beliau menjadi menantu. Secara keseluruhan beliau mempunyai 12 isteri, cuma 12 isteri!. Tidak semua isteri beliau memberi keturanan kepada beliau.

  • Isteri pertama  Sana asal Koto Malintang. Sana adalah ibu dari buya Rusi Engku Bandaro (almarhum) ayahanda dari saudara Israr Rusi. 
  • Isteri kedua  Lian ibunda dari anak beliau Engku Hitam
  • Isteri ketiga Jawani, kemenakan ayahanda beliau dari suku Melayu dan juga ibu dari Saad dan Mansyur anak beliau 
  • Isteri ke empat Cinto, ibunda dari Abdul Aziz dan Sulha
  • Isteri ke lima Siti Jarah, ibunda dari anak beliau Abdul Wahid 
  • Isteri ke enam, Jiah asal Sungai Belantik, tidak punya anak
  •  Isteri ke tujuh, Lawiyah asal Nagori Godang ibudan dari Abdul Hamid
  • Isteri ke delapan, Siti Najami, asal Gaduik punya anak Muhammad Abduh 
  • Isteri ke sembilan, Siwa asal Sungai Belantik, tidak punya anak
  • Isteri ke sepuluh, Mala asal Sawah Padang, tidak punya anak
  • Isteri ke sebelas, Lawani asal Sungai Belantik ibunda dari Sahilfa
  • Isteri ke duabelas, Kayoji asal Sungai Balantik, tidak punya anak




Kel Besar Arifin di Pesta Pernikahan Nanda dan Firda, 17 September 2011
Keluar besar H Arifin Jakarta 20 tahun lalu
Ruysdy S Arifin dan Keluarga
H. Dwito (tengah berjas berbaju biru), Chandra (kedua dari kiri) cucu
H. Murni Al Munir, cucu tertua
H. Iryadi Arifin, Cucu



H. Rumsas Adrifin, Cucu




Hadi Eka Putra, Cucu
Dirwanto, cucu ( ke dua dari kiri)
M. Jamil (cucu terkecil)
Julmasril, cucu
Ikhwan, cicit
Nanda dan Icha, cicit

lngrisk.co.id

Share on Google Plus

About Taufik Arifin

2 comments:

Ade Prima Hendra said...

Sungguh ini memberikan pencerahan bagi kami. Generasi muda ЧªΏƍ ikut terlahir dari sariak laweh. Slama ini hanya memdengar nama buya ipin. Tapi siapa beliau bagaimana asal usulx sdikitpun tak ada ilmu kami ttg beliau. Tarimo kasih pak/mamak (ndaak tªů k mamanggia apo do "̮hϱϱ"̮hϱϱ ). Smoga muncul L̲̅åƍɪ̣̝̇, ttg tulisan ² baru ЧªΏƍ tak kalah luar biasax.

Dirwanto said...

Dengan sudah sangat berkembang keluarga besar H. Arifin, ayo kita tambahkan dan selalu 'update' Family Tree ini sampai kondisi terbaru.

Gimana uda Taufik, sebagai pemilik blog ini :)