Saya yakin tak banyak orang yang tahu dimana lokasi Bukik Talau di planet ini. Ia terletak di sebuah desa di Gunung Malintang, kecamatan Pangkalan Koto Baru kabupaten 50 Kota propinsi Sumatera Barat. Berjarak sekitar 175 km dari kota Padang, sekitar 50 km dari kota Payakumbuh atau sekitar 100 km dari kota Pekanbaru ibu kota propinsi Riau. Dari jalan raya Payakumbuh-Pekanbaru masuk dari simpang tiga pasar Pangkalan sejauh sekitar 15 km ke arah ke Kapur Sembilan. Terletak di tepi aliran sungai Batang Mahat, yang menjadi sumber tenaga penggerak PLTA Koto Panjang.
Sebelum tahun 80an daerah ini termasuk kawasan hutan yang jarang penduduknya. Pada awal tahun 80an pemerintah menggerakkan transmigrasi lokal dengan dan menempatkan mereka di areal ini. Mereka berasal dari berbagai kecamatan di dalam propinsi Sumatera Barat, dari beberapa daerah dari pulau Jawa dan Sumatera Utara.
Kini setelah hampir 30 tahun daerah ini muncul menjadi daerah maju baik secara kwalitas masyarakat maupun secara ekonomi. Dari hasil garapan penduduk sekarang daerah ini menjadi penghasil karet, gambir, kelapa sawit yang memberikan penghasilan besar bagi penduduknya. Rumah kayu yang dulu diberikan pemerintah kini berubah menjadi rumah mewah lengkap dengan perabot dan isinya. Ada beberapa mobil diparkir di garasi dan di halaman rumah, hampir setiap orang mempunyai sepeda motor mengantar mereka hilir mudik setiap hari. Truk-truk pengangkut hasil pertanian juga bolak-balik dari Bukik Talau ke Pekanbaru atau ke Padang. Tak terasa lagi suasana kampung transmigran, anak-anak mereka sudah “jadi semua” banyak yang menjadi guru, pegawai pemerintah, pengusaha dan bahkan sudah beberapa orang menjadi dokter.
Kehidupan sosial mereka juga sangat baik, ada sekitar 7 SD, ada SMP, Madarasah, banyak sekali Mesjid dan fasilitas umum lainnya.
Meski sudah hampir 30 tahun digarap, potensi Bukit Talau masih terbuka lebar bagi yang ingin berusaha. Lahan pertanian yang bisa digarap masih banyak, termasuk juga lahan yang akan dipindahtangankan dari pemilik lama yang sekarang pindah ke kota. Ada lahan karet yang siap panen, lahan gambir yang sudah ditanami. Sejak 3 tahun lalu Perusahaan Perkebunan milik pemerintah PTP sudah mulai mengkonversi tanaman karet dengan kelapa sawit yang saat ini sudah mulai berbuah. PTP mengajak penduduk untuk menjadi rekanan Pola Inti Rakyat (PIR). Harga lahanpun masih terjangkau, untuk 1 kavling (sekitar 1 ha) kebon karet dihargai sekitar 30 juta. Lahan kosong sekitar 10 juta.
Bagi yang berminat untuk investasi lokasi ini sangat bagus sekali, apalagi bagi yang ingin berinvestasi untuk hari tua. Tanaman sawit/hektar bisa menjadi passive income saat ini sekitar Rp 7,5 juta/bulan, lumayankan?
0 comments:
Post a Comment