Tinggalah
Kampung Ranah Sariek Laweh
Perasaan cemas menunggu
hasil ujian akhir SMA begitu terasa mengahantui saya. Apalagi kalau saya ingat
betapa sulitnya saya mengerjakan setiap soal ujian. Bukan hanya karena saya
kurang tekun belajar tapi ternyata saya salah jurusan. Saya bukanlah orang yang
mempunyai otak encer yang mampu mengolah segala macam perhitungan matematika,
analisa kimia, teori tenaga kinetis dan memahami struktur anotomi tubuh hewan.
Saya bukan orang IPA. Bahkan mungkin saya juga bukan orang IPS. Yang paling
tepat, saya ini orang jurusan Bahasa karena nilai ujian saya yang paling tinggi
adalah Bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Ketika di semester pertama nilai
saya cukup bagus dan menempati peringkat empat di kelas, saya dimasukkan ke
jurusan IPA. Tapi Alhamdulillah setelah melihat hasil pengumuman ternyata saya
lulus juga. Saya bersekolah di SMPP 25 sekolah SLTA negeri di Payakumbuh
Sumatera Barat. Masuk tahun 1980 dan tamat tahun 1983. Sekarang sekolah itu
telah berganti nama menjadi SMA 2 Payakumbuh. Kami menamai sekolah kami dengan
Campus Flamboyan (CAFLA) karena seluruh komplek sekolah yang seluas lebih
kurang sepuluh hektar itu di penuhi pohon flamboyan yang ketika musim berbunga
seluruh kampus terlihat berwarna merah. Sangat indah terlihat dari kejauhan.
Meski lulus, ternyata
nilai rapor saya sangat rendah. Itu berarti saya tidak akan mudah untuk masuk
ke universitas negeri. Sementara untuk masuk ke universitas swasta saya tidak bisa
berharap banyak karena terkendala masalah biaya. Untuk bisa menyelesaikan
sekolah di SMA saja saya sudah dengan susah-payah. Itupun berkat perjuangan
dari nenek dan bibi saya dengan mengumpulkan uang sedikit demi sedikit. Sejak
ibu meninggal ketika saya berusia sepuluh tahun, saya tinggal bersama nenek dan
bibi. Sementara ayah pergi merantau ke Jakarta bersama dengan kakak saya. Lagi pula sudah menjadi tradisi di keluarga
kami pada saat itu, orang tua hanya mengantarkan sampai pendidikan SLTA saja,
selanjutnya terserah kepada masing-masing. Tapi akhirnya hampir seluruh sepupu
saya lulus sarjana S1 dan bahkan beberapa orang selesai sampai S2 dan S3 dengan
biaya sendiri.
Pada acara perpisahan
dengan sesama teman sekelas, saya hadir dengan perasaan hampa. Sementara
sebagian besar teman-teman sibuk dengan
rencana yang akan mereka lakukan setelah merima ijazah nanti. Mereka tampak
bersemangat membicarakan tentang kampus, jurusan dan di kota mana mereka akan
tinggal nanti. Saya hanya punya satu rencana, pergi merantau ke Jakarta.Tidak
tahu apa yang akan saya lakukan. Terserah nanti saja. Mewarisi semangat orang Minang sesuai dengan
pantun “karatau madang di hulu, babuah babungo balun, ka rantau bujang daulu di
ruma paguno balun. Kalau diterjemahkan bebas menjadi seperti ini “ hi young
man, just leava us, you are useless”.
Ongkos bus dan biaya
perjalanan ke Jakarta sebagian besar dari hasil penjualan sekarung kopi yang
dipetik dari hasil kebon yang saya taman ketika duduk di bangku SMP. Nenek saya
yang memetiknya. Saya bersyukur karena saya tetap menanam pohon kopi itu
padahal saya sering mendapat ledekan dari teman-teman ketika saya menolak diajak
pergi bermain bola. Mereka menggelari saya “toke kopi”. Sekarung kopi yang dikumpulkan nenek selama berbulan-bulan. Hasil penjualannya
dapat uang lebih kurang lima puluh ribu rupiah. Cukup untuk membeli tiket bus,
ongkos di jalan dan sedikit uang saku ketika sampai di Jakarta.
Hari keberangkatan pun
tiba. Saya berpamitan dengan semua keluarga yang berkumpul di depan rumah.
Kepada nenek saya katakan “umi, ola sudah godang awak di ruma, pai marantau
awak lai” kata saya. Hanya ttu kata-kata yang terucap dari mulut saya, kepada seorang
wanita tua renta yang telah sabar dengan sisa-sisa tenaganya berusaha
membesarkan saya selama hampir sepuluh tahun. Seharusnya saya mengucapkan
kata-kata yang lebih bijak, lebih santun dan lebih hormat dari itu. Setelah
beberapa langkah berjalan saya menoleh kebelakang, terlihat nenek menghapus
airmata yang menetes di pipinya yang keriput dengan ujung selendangya sambil
terisak-isak. Hati saya terenyuh. Dalam hati saya berjanji, satu saat nanti,
saya akan kembali untuk membahagiakan nenek.
Saya pergi meninggalkan
kampung halaman, sahabat, kerabat, tempat bermain serta alam yang telah lebih
dari delapan belas tahun menjadi bagian penting dalam hidup saya. Dari kampung
saya menumpang opelet menuju kota Payakumbuh sejauh tujuh belas kilometer.
Untuk terakhir kalinya saya memandangi keindahan alam Sariek Laweh. Hamparan
sawah luas menghijau di kiri-kanan jalan. Jejeran pergunungan Bukit Barisan berwana biru membentang dari
Suayan di sebelah barat hingga di Koto Tangah Batuhampar di ujung timur. Melewati
desa Tarok di depan SMP Akibuluru, sekolah tempat saya pernah menuntut ilmu.
Saya berusaha memandangi setiap wajah yang saya kenali di pinggir jalan sambil
melambaikan tangan. Entah kapan lagi akan berjumpa dengan mereka. Ada yang
membalas tapi lebih banyak yang tidak. Mungkin mereka tidak tahu bahwa orang
yang melambai kepada mereka adalah calon
Ahli Pialang Asuransi Indonesia.
Sekitar jam sepuluh pagi tanggal 22 May 1883 saya sudah berada di dalam bus Bintang Kedjora yang akan menghantar saya ke Jakarta. Bus terisi penumpang setengahnya. Tak satupun yang saya kenal. Ada beberapa anak muda seusia saya, kemungkin mereka juga baru tamat SMA. Tapi saya tidak berani menyapa. Bus beranjak menuju kota Bukittinggi berjarak sekitar tiga puluh kilometer. Disana ada beberapa penumpang lagi yang naik hingga bus terisi penuh. Menjelang malam bus sudah mulai meninggalkan Ranah Minang dan memasuki wilayah Jambi. Inilah untuk pertama kalinya saya meninggalkan propinsi Sumatera Barat.
Memasuki jalan lintas
Sumatera, jalan bagus yang baru beberapa tahun selesai, bus melaju kencang.
Ketika malam tiba hati saya galau. Sedih berpisah dengan kampung halaman,
saudara dan sahabat. Terbayang wajah nenek yang belum sempat saya balas
jasanya. Takut menghadapi kenyataan yang akan saya temui di Jakarta nanti.
Sepanjang malam saya tidak bisa tidur. Setelah melewati Lubuk Linggau di
wilayah propinsi Sumatera Selatan kondisi jalan ternyata sangat buruk. Jalan
tanah, licin dan sempit. Sangat becek di musim hujan. Bus sering berhenti
menunggu kendaraan yang sedang terpuruk di jalan. Mereka saling tolong menolong
mengangkat kendaraan. Makin lama makin banyak saja kendaraan yang terjebak.
Hampir sehari semalam kami terdampar antara Tebing Tinggi dan Tanjung Enim.
Tidak ada makanan dan minuman. Kondisi jalan mulai membaik setelah melewati
kota Batu Raja. Pagi hari besoknya kami sudah memasuki kota Bandar Lampung dan menjelang
sore kami sudah berada di atas kapal ferry di palabuhan Bakauheni yang akan
menyeberangkan saya ke tanah Jawa. Ada hiburan yang menarik sambil menunggu
kapal melepas sauh. Banyak anak-anak menyelam di samping kapal. Mereka minta
uang logam untuk di lemparkan ke laut, lalu uang itu mereka ambil dengan
menyelam dengan sekencang-kencangnya. Ada ratusan uang logam lima rupiah yang
dilemparkan oleh penumpang terlihat berkilau terkena air laut.
Setelah melewati
Cilegon, Serang dan Tangerang, tengah malam saya sampai di
Tanah Abang Jakarta. Saya terkesima memandangi temaran sinar lampu jalan dan
lampu di gedung-gedung. Begitu banyak dan sangat terang. Akhirnya saya sampai
juga di Jakarta, desis saya dalam hati.
Satu-satunya kota tujuan saya dalam hidup. Tempat saya akan mengadu
nasib dan menghabiskan seluruh sisa umur saya. Setelah mengemasi tas dan barang
bawaan saya naik ke bus antar jemput yang sudah disediakan. Ternyata yang
mengemudikan adalah saudara saya juga da Win. Alhamdulillah. Alhasil saya
langsung diantar ke rumah bibi saya di kawasan Bendungan Hilir. Jakarta Pusat.
Besoknya ayah saya tiba dan mengajak saya ke rumah paman di daerah Kebon
Kelapa.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Jika
anda memerlukan jaminan Pengiriman barang atau Pengangkutan Barang
dengan biaya ringan. Hubungi L&G Insurance Broker. Broker dan
konsultan
asuransi khusus bank garansi terbaik di Indonesia. Segera call/WA segera
ke 081283987016 sekarang juga
atau klik L&G Insurance Broker
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
0 comments:
Post a Comment