The Memories of my lovely Father 30 Oct 1932- 2 Feb 2016






Ayahku H. Mansyur Arifin gelar Sutan Malano.

Innalillahi wainnalillahi rojiun. Sesungguhnya milik Allah maka kepada Allahlah kembalinya. Ayah kami meninggal pada tanggal 2 Februari 2016 dalam usia 84 tahun di RS Kanker Dharmais setelah menjalani operasi kanker prostat. Ayah meninggal karena gagal jantung pada saat operasi.  Meski secara usia almarhum sudah cukup, tapi kalau dilihat dari segi fisik dan semangat ayah kami masih kuat ketika beliau pergi. Kamipun tidak menyangka kalau beliau akan meninggal secepat itu. Ketika ada orang yang mengatakan "oh ya karena usianya memang sudah lanjut", perasaan saya kurang bisa menerima. Kondisi kesehatan beliau sebenarnya masih kuat. Beliau memang ada  gangguan prostat yang sudah dioperasi tiga tahun sebelumnya. Belakangan gejala  prostat itu kambuh lagi. Justru sudah mengarah kepada kanker karena ada sel-sel yang tumbuh. Kondisi ini baru kami ketahui dua bulan sebelum beliau meninggal, karena  beliau sering pingsan. Paling tidak dua kali beliau pingsan di tempat umum. Pertama di stasiun kereta api Tanah Abang. Untung saat itu beliau pergi besama dengan saudara kami sehingga dia yang menolong dan memberitahu kami. Setelah dikasih obat beliau langsung sembuh dan bisa pulang naik kereta kembali. Kedua kalinya di rumah saudara kami itu juga beberapa minggu kemudian. Kami langsung bawa ke Rumah Sakit Sari Asih Cileduk langganan beliau. Akhirnya beliau di rawat dan dokter minta diperiksa  kondisi prostat lagi. Dan di situlah ketahuan bahwa kondisi prostat beliau sudah berubah status menjadi kanker dan harus dioperasi. Penyebab pingsan itu karena kekurangn darah akibat kecingnya berdarah. Beliau bersedia dioperasi dan kami setuju. 
Da jun, Dad, da In and me

Kami mengurus operasi beliau termasuk mengurus BPJS dan alhamdulillah setelah hampir dua bulan  semua persyaratan dan persiapan pemeriksaan pendahuluan seperti kondisi jantung dan lain-lain selesai. Karena di Sari Asih tidak punya sarana lengkap untuk operasi, kami dirujuk ke rumah sakit Kanker Dharmais. Setelah mengurus, konsultasi dengan team dokter dan antri, akhirnya dapat jadwal di akhir Januari 2016. Sementara itu kondisi ayah baik-baik saja. Hampir tidak ada keluhan kecuali kalau pada saat buang air kecil, kelihatan sekali beliau kesakitan. Dua minggu sebelum masuk rumah sakit ayah masih sempat meresmikan kantor baru kami. Ini memang  menjadi cita-cita beliau. Beliaulah yang mendorong agar kami segera pindah ke kantor baru walau kondisi bisnis kami belum pas betul. Ayah mempunyai peranan  besar di dalam bisnis kami. Pandangan, motivasi dan dorongan semangat beliau sangat luarbiasa untuk kemajuan usaha kami. 

Saya sangat bersyukur dan sangat beruntung memiliki ayah seperti beliau. Setelah hampir lima puluhan tahun, saya baru menyadari betapa hebatnya ayah saya. Betapa jauhnya pandangan beliau tentang masa depan. Betapa luas dan lengkapnya ilmu beliau. Banyak orang yang mempunyai pandangan salah tentang beliau. Banyak terjadi perbedaan pendapat. Semua itu karena sudat pandang yang berbeda dan  kedalaman  ilmu beliau. Kalau bukan karena beliau, hari ini saya mungkin hanyalah seorang petani tua yang memiliki beberapa piring sawah dan beberapa ekor kerbau. Hidup di desa dengan segala keterbatasan. Tapi itulah rahasia ayah. Ayah melahirkan dan membesarkan saya di desa tapi dengan memberikan visi dan semangat dengan standard internasional. Beliau ingin menggabungkan kegigihan seperti seorang petani yang bersahaja dengan pandangan hidup dan berfikir besar seperti seorang pemimpin kelas dunia. 

Ayah  lulusan Universitas Indonesia (UI) tahun limapuluhan di Jakarta. Beliau alumni SMA 1 Jakarta (BOEDOET). Melewati SD dan SMP di Bukittinggi. Menurut ayah, hanya beberapa orang saja pria asal Minang yang berkuliah di UI masa itu. Dosen dan pengajar masih banyak orang Belanda. Lingkungan keseharian beliau banyak kalangan Tentera Pelajar (TP) karena kakak beliau Abdul Aziz Arifin menjadi  perwira polisi di Jakarta. Beliau dekat dengan para pemimpin dan pejuang bangsa waktu itu. di UI beliau mengambil jurusan Sastra dan Filsafat. Setelah selesai di UI ayah masih melanjutkan study di Sekolah Dagang di Medan. Dosen beliau antara lain adalah Prof Soemitro Djojohadikusumo yang dikenal sebagai begawan ekonomi Indonesia. Ayah pernah menjadi guru di beberapa tempat antara lain di Ujung Gading, Padang Sidempuan dan beberapa tempat di Sumatera Utara.  Kemudian berhenti jadi guru dan bekerja di perusahaan swasta Atjeh Kongsi di Medan sebuah firma swasta besar di Medan. 

Paman ayah saya Leon Salim salah seorang tokoh pejuang kemerdekaan Indonesia. Dengan dorongan dan bimbingan dari sang paman ayah banyak bergaul dan dikenal oleh para tokoh-tokoh pejuang yang lain. Hal itu  banyak juga mempengaruhi watak ayah saya. 

Jadi, di dalam diri ayah ada kombinasi yang lengkap antara wawasan luas karena belajar di UI, punya semangat juang yang hebat karena banyak bergaul dengan tokoh pejuang nasional. Berjiwa sebagai seorang guru. Mempunyai pengetahuan dan wawasan bisnis yang mampuni karena belajar pada prof Sumitro dan bekerja di perusahaan besar Atjeh Kongsi. Selain itu beliau juga anak dari Haji Arifin seorang ulama besar asal kampung kami. Masih ada lagi, beliau juga adalah pimpinan dari suku Melayu penduduk asli dari Sarik Laweh yang sangat memahami seluk-beluk adat istiadat Minangkabau. 

Gabungan semua ilmu itulah yang ayah "cekokan" ke dalam otak saya sejak kecil. Sebagai bocah yang hidup di kampung pada tahun 70an sudah barang tentu hal itu sangat sulit bagi saya untuk mencernanya. Karena tidak ada contoh dan model orang seperti apa yang ayah saya ajarkan itu di desa saya. Disinilah kadang ayah saya naik pitam kepada saya. Meski saya tidak "mudeng" juga, tapi ayah tidak pernah berhenti mengkuliahi saya. Tentang visi masa depan, tentang ekonomi, tentang orang-orang hebat dan tentang segala hal yang ayah ketahui di luar sana.  Ternyata ayah saya telah menjadi seorang ayah yang tepat seperti yang belakangan ini saya ketahui. "A talking father". Ayah yang terus mencerahkan anaknya, bukan mendiamkan. Kadang ayah seperti memaksakan.  Dulu saya juga tidak paham kenapa ayah melarang saya bergaul dengan anak-anak tertentu tapi justru menyuruh saya bermain dengan anak desa tetangga. Ternyata ayah sedang melatih saya untuk bergaul dan terbuka dengan orang lain. Think out of the box. Ayah juga melatih saya dengan memberi tanggung jawab yang jauh lebih besar dari anak-anak kampung lainnya. Ayah membelikan saya kerbau yang harus saya urus setiap hari. Meski usia saya masih enam tahun, saya yang bertanggung jawab agar kerbau itu kenyang. Setelah itu ayah menambahkan lagi tugas saya. Kini jauh lebih berat. Ayah memberikan 150 ekor bebek yang harus saya kembalikan setiap hari! Alhasil saya tidak ada waktu untuk bermain sama sekali. Dulu saya kecewa, tapi kini saya bersyukur. Karena ternyata ayah sedang melatih saya untuk bekerja dengan penuh tanggung jawab. 

Saya bangga dan bersyukur kepada ayah saya. Saya akan melanjutkan cita-cita beliau. Semoga Allah mengampuni segala dosa-dosa beliau. Melapangkan kuburnya dan dimasukkan ke dalam syurgaNya Allah. Aamiin.

In sya Allah, saya akan menulis lebih banyak tentang ajaran-ajaran beliau yang mungkin ada yang bisa dipetik buat yang lain.

Ayah bersama almarhum bp. Abdul Muis dan odang Naruma, sahabat ayah sejak kecil
My dad and mum..

Bersama Iil, Nisa dan Bobby di Bogor
 Bersama Iil, Nisa dan Bobby di Bogor
Lamaran Fadli ke Cindy, Ciamis, Pelabuhan ratu Jawa Barat

With Fadli, calon pengantin

Menghadiri sunatan anaknya Iin. Bersama Wawan, almarhum kkd Barlis dan om Mudjiono
Bersama Nur Azan (Nenek) Keponakan di Solo

Ayah bersama pak Irvan Rahardjo, Komisaris L&G di Selat Sunda menuju ke Lampung
Bersama Nanang pengrajin batu di desa Popoh, Tulung Agung  Jawa Timur
Bersama keluarga besar di Kuala Lumpur, Andri (menantu), me, Intan, Iil, Syabil dan Hanum 


 Bersama Iil, Nisa dan Bobby di BogorAdd caption

Bersama cucu kesayangan Syabil di Bintaro Plaza

Menikmati Monorail di Kuala Lumpur

Bersantai bersama cucu Intan dan Syabil di KLCC, Kuala Lumpur

Enjoy KLCC

Menikmati sarapan di hotel Merdeka, Kediri Jawa Timur

Menjadi saksi pernikahan Irni, cucu di Jakarta

Bersama Bobby, cuku di Jakarta

Full team, me, Bobby dan Atuk

Iryadi, As, Barlis (almarhum), Dwito dan Fatih di pesta Irni

Father and his 3 great sons. Me, da In dan da Ito

Look, how happy he was. Dengan cucu kebanggaanya Nanda, he called "Dokter Muda".

Again, look at his smile, with his loved grand doughter Icha...


Holiday in puncak. Iil, da Jun, me and Bobby. Who took this picture? Syabil


At Bukit Bunga Cipanas, full team

With da Jun. Again, who took this picture? Syabil

With L&G Team, leaving for Kuala Lumpur

With relatives prior to Hendra's wedding in Bogor

With L&G team queing for skytrain at Genting Highland, Malaysia

Posed with L&G team at Putrajaya, Malaysia

Posed with stones craft men at Tulung Agung, Jawa Timur
A memorable moment. After 35 years, finaly these two father and doughter could be hand in hand

Endang,Ibih dan da Jun at Cengkareng Airport taking Atuk for a short return to Padang

A proud father. Alter all, Iil finally graduated as Degree in Management


Me, Atuk, Syabil, Nisa and Yuni my wife



With newly wedded couple Hendra

At Tabek Patah Mountain View Batusangkar, with Hanifa, Bobby, da Jun

The last Idul Fitri with big family...


Very sad expression at the funeral of Tek Munah, his loved sister in law

Relax at L&G end of year breakout session in Puncak with pak Irvan Rahardjo

Posed with all L&G crews at Breakout session

Hospitalized. 2 months before his deceased

L&G New office inagurated by my father 2 weeks before his deceased

More than 20 flower of condolences sent by his and our friends. So greatful and realy relieved.  Thanks all..

Tek Ulis, his cousin paid a visit to his grave yard

This is the home of my love ones. Papa and Mama....

Share on Google Plus

About Taufik Arifin

0 comments: