Bekerja dengan kelipatan Lima - L&G Academy #1



Sobat,
Sekarang saya mencoba menuliskan hasi pembicaraan saya di acara L&G Ademcy yang saya sampaikan setiap Senin pagi di kantor kami. L&G Academy adalah program pendidikan perusahaan yang bersifat Continious Education Program (CEP) yang diselengarakan setiap minggu, Senin pagi oleh saya sebagai CEO dan hari Jumat pagi yang disampaikan oleh para ahli yang kami undang. Program ini sudah berjalan secara rutin selama tiga tahun. Alhamdulillah hasilnya sangat luarbiasa untuk perkembangan kwalitas karyawan dan perusahaan. Saya ingin membagikan juga untuk anda. Semoga bermanfaat. Berikut catatannya.

"Syukur alhamdullilah kita bertemu lagi di acara L&G Academy edisi terakhir di bulan April 2016. Sekarang kita perlu memerlukan ada edisi supaya ketahuan sudah beberapa kali kita adakan.  Seharusnya semua harus ikut acara ini, Hendra dan Yano mana?  

Saya saat ini sedang memeriksa hasil ujian pendidikan keahlian di di APARI (Ahli Pilang Asuransi/Reasuransi Indonesia)  untuk tingkat CIIB (Certified Indonesian Insurance Broker), salah satu subject yang diuji adalah corporate culture atau budaya kerja. Mengenai pentingnya budaya kerja di dalam sebuah perusahaan. Budaya kerja itu unik, tidak sama antara satu perusahaan dengan perusahaan yang lain. Sebuah oraganisasi yang sukses mempunyai budaya kerja yang sangat baik. Tidak perlu hebat akan tetapi konsisten dan mudah untuk dijalankan. Saya bersyukur bahwa kita L&G sudah punya budaya yang sudah kita bangun dari tahun ketahun. Dan sudah terbukti keberhasilannya. Kita punya gaya tersendiri. Betul, kita ambil sepotong dari sini sepotong dari sana akan tetapi menghasilkan gaya kita sendiri yang unik. Kini hal itu sudah menjadi karakter kita, misalnya dengan adanya Lima Gemilang Belief system yang sudah kita jalankan. Misalnya yang pertama, sholat lima kali sehari semalam (moslem only). Saya salut dan bangga dengan teman-teman semua bahwa kita sudah biasa menjalankannya. Dimanapun, kapanpun waktu sholat kita langsung sholat. Itu sekarang sudah menjadi budaya kerja kita. Ternyata bagi mereka yang belum terbiasa masih dan enggan sholat memang tidak mudah untuk mengakomodasi budaya kerja kita. Dan itu tidak tidak apa-apa, karena itu memang budaya kerja. Kita harus tegas dengan budaya kerja kita, Kalau mau sukses di L&G ya budaya kerjanya ya seperti ini, corporate culturenya memang seperti ini. Wah shalat itu kan urusan masing-masing, that’s true, tapi kalau di L&G sholat itu menjadi budaya kita, nanti yang tidak sholat akan merasa tidak enak. Akibatnya ia bisa tidak betah atau mereka kemudian menjadi rajin sholat. Saya ingin menegaskan bahwa budaya kerja itu adalah sesuatu yang harus dimiliki oleh setiap perusahaan. Dan sekali lagi kita bersyukur bahwa budaya kerja kita sudah terbentuk sejak sepuluh tahun yang lalu. Dimulai oleh saya sendiri.


Budaya kita dibangun dengan prinsip Learn Do and Teach. Pelajari, lakukan dan ajarkan. Boleh jadi kalian semua ini dulu tidak mempunyai ilmu dan pengalaman di bidang broker asuransi. Kecuali Yetii dan Meli yang dulu sempat bekerja di perusahaan broker asuransi kecil yang pengalamannya juga sangat terbatas. Dari pengalaman kita, kedepannya kita juga tidak akan lagi merekrut karyawan yang berasal dari perusahaan broker lain karena ternyata mereka tidak cocok dengan budaya kerja kita. Walau kalian tidak pernah mempunyai pengalaman bekerja di perusahaan broker asuransi, akan tetapi kita sudah buktikan dengan konsep Lear Do and Teach itu kini kita sudah sudah berhasil menjadi sebuah perusahaan broker asuransi yang sukses, buktinya kita sudah dikenal oleh sebegitu banyak perusahaan asuransi, kita berhasil mendapat kepercayaan dari berbagai perusahaan bahkan diantaranya adalah perusahaan besar, perusahaan asing, BUMN dan banyak lagi lainnya. Kita juga sudah mampu bersaing dengan perusahaan broker asuransi besar yang sudah jauh lebih bepengalaman. Padahal tidak ada seorangpun diantara kita yang pernah bekerja di perusahaan broker besar. Tapi karena saya memulai dengan Learn Do and Teach, kita bisa. Saya benar-benar belajar mengenai bisnis broker asuransi ketika saya bekerja selama delapan tahun di IBS. Kenapa saya mau belajar karena saya orang bodoh tapi ingin sukses. Saya mau diajari, atau dikenal dengan sikap teachable. Saya membuka hati saya untuk belajar, saya mau mendengar, saya menerima jika dikritik, saya tidak melawan jika dimarahi. 

Dengan learn do and teach itu, saya mempunyai pengetahuan dan visi yang cukup untuk membangun sebuah perusahaan broker asuransi yang besar. Saya pernah bekerja di perusahaan broker asuransi yang besar dan saya pernah menjadi bagian sukses dari perusahaan itu. Sehingga pada saat saya memulai L&G sendirian,  tapi di dalam fikiran saya, in my mind saya katakana bahwa saya adalah seorang broker asuransi yang besar, punya mind set besar. Kantornya boleh saja di garasi, di Jurangmangu, Pondok Aren yang waktu itu belum terdaftar di google map sehingga sangat sulit untuk dicari. Tapi yang ada pada waktu itu adalah seorang yang mempunyai cita-cita besar, punya pandangan besar. 

Learn, do and teach itu membuat anda tidak perlu mempunyai pengalaman besar di perusahaan besar tapi cukup satu orang saya yang punya pengalaman itu lalu saya ajarkan kepada anda. Murid pertama saya namanya Dianti,tapi setelah satu tahun dia tidak tahan dan pergi. Tiga tahun kemudian dia balik lagi tapi ternyata dia sudah cocok karena L&G sudah berubah menjadi lebih besar sementara mindset dia masih seperti tiga tahun sebelumnya. Murid kedua Yett. Murid ketiga Iil seorang yang mau belajar dan fast learner. Padahal waktu pertama kali saya ajak dia melotot dan merasa terhina sekali saya ajak kerja di L&G, dengan tatapan mata yang merendahkan dia katakana “ya In coba deh”. Padahal bisnis yang sedang dia kerjakan waktu itu juga tidak jauh lebih bagus sebenarnya. Dia mau belajar, di copy seperti yang saya lakukan, dia rajin bertanya dan akhirnya dia bisa. Il dan Meli mulai minggu ini mulai mengikuti program pendidikan di Asosiasi Pilang Asuransi dan Reasuransi Indonesia di tingkat ajun. Dalam tahun ini juga mereka sudah harus lulus mendapatkan gelar Ahli Pialang Asuransi Indonesia (APAI). 

Budaya kita sudah benar, Learn Do and Teach. Saya awalnya melakukan sendiri kemudian saya ajarkan kepada Meli, Yetti dan Iil dan kini alhadulillah semua sudah bisa menjadi broker professional. Itulah corporate culture kita. Kalau ada perusahaan broker asuransi lain tapi tidak berkembang mungkin salah satunya karena mereka tidak berhasil mengembangkan orang-orang yang ada di dalam perusahaan mereka. Mungkin pimpinannya seorang yang sangat hebat dan jago, Dia jago teknik asuransi, hebat dalam menjual akan tetapi dia tidak berhasil mengajarkan itu kepada orang-orang yang ada di dalam perusahaannya. Dia tidak punya murid. Orangnya hebat tapi dia tidak punya team. Mereka bekerja sendiri. Karyawan tidak betah, karyawan dimarahi, gajinya tidak cukup, suasana kantor tidak dirubah. Siapa yang akan betah bekerja dengan cara seperti itu? Tapi di dalam corporate culture kita karena ada kewajiban mengajarkan seperti ini, saya tidak ragu-ragu mengajarkan semua yang terbaik untuk perkembangan kita. Saya yakin hampir tidak ada CEO dari sebuah perusahaan broker yang melakukan seperti yang saya lakukan ini. Saya yakin dari 145 perusahaan broker dan sekitar 3000 orang karyawan yang bekerja hampir tidak ada yang mendapatkan kesempatan belajar seperti ini. Paling yang ada meeting untuk mengetahui hasil kegiatan usaha.
Kembali ke corporate culture kita, kita sudah punya corporate culture yang baik dan itu tidak perlu dirubah lagi. Kalau ada yang ingin merubah, misalnya tidak harus seperti ini, ngapain setiap bagi berdoa, tepuk tangan dan tos-tosan. Sekarang anda merasa ga, kita jauh lebih bersemangat setiap pagi setelah kita tos-tosan, ada yang tertawa, lucu melihat reaksi rekan-rekan, can you imagine dimana kita akan dapat suasana seperti ini setiap pagi, bertemu dengan 25 orang sambil tertawa yang alami, bukan dibuat-buat. Itukan kan satu penemuan kebiasaan yang luar biasa untuk meningkatkan semangat kita? Coba misalnya jika yang kita lakukan hal sebaliknya,pagi-pagi. Ada yang marah-marah, memaki-maki dan lain-lain. Terlihatkan kira-kira bedanya dimana? Bagusan yang mana? We start our day dengan hal yang positif yang memberi semangat. Mungkin sewaktu berangkat ke kantor suasana hati kita kurang bagus, tapi setelah kita melakukan ritual ini hati menjadi senang dan bersemangat. Semua itu sebenarnya bukan seratus persen hasil kreasi saya, itu hasil cuplikan dari seminar dan training yang pernah saya ikuti. Tapi tidak persis sama dengan yang dilakukan oleh orang lain. Itulah budaya kita, identity kita. Hanya orang-orang yang rendah hati yang mau menjadi bagian dari system seperti ini, atau orang-orang yang benar-benar ingin sukses dan menjadi bagian dari team. Kalau kita mau sukses kita harus menjadi team yang hebat, kalau dalam istilah agama namanya berjamaah. Islam itu berjamaah. Ibadah sholat yang dilakukan secara berjamaah pahalanya jauh lebih besar daripada sholat seorang diri. Sebagai anggota team, kita harus menjadi bagian dari team. Part of the team. Sementara orang yang tidak mau menjadi team mereka a part from the team, mereka terpisah dari team. Walaupun kelihatan acaranya tidak menarik, tapi ikut saja demi team. Biasanya awalnya memang seperti itu,ada yang ogah-ogahan karena egonyo tinggi, ngapain disuruh beginian dan lain-lain tapi lama-lama menjadi biasa dan malah menikmati. Sekarang misalnya kalau saya tidak tos-tosan dengan minimal sepuluh orang jadi kurang semangat. 

Jadi teman-teman, pointnya pagi ini adalah bahwa kita L&G sudah punya corporate culture yang baik. Bahan presentasi Limagemilang way itu sudah empat tahun, berarti sudah empat tahun kita mendengungkan dan menancapkannya dalam hati kita. Seharusnya itu kini sudah menjadi karakter kita.
Miliki target kelipatan lima.

Oke teman-teman, pertama kita harus konsisten dengan belief system kita LIMA gemilang way, yaitu lima. Satu tangan terdiri dari lima jari, benar kan? Siapa yang pernah mengikuti proses penghitungan pemilu di TPS, setiap satu suara digaris, jika sudah empat garis untuk yang kelimanya disilang sehingga menjadi satu ikatan. Pada saat saya menjadi penulis score main badminton juga menggunakan cara yang sama. Sudah menjadi biasa jika menghitung sekali terdiri dari lima. Satu tangan terdiri dari lima jari, maksud saya banyak orang hanya melakukan sesuatu cukup satu saja, hari ini satu, besok satu. Boleh saja seperti itu. Tapi bagi orang yang berjiwa dan punya tujuan besar dia melakukannya dalam jumlah yang lebih banyak, lima misalnya. Sebenarnya antara melakukan satu dengan lima itu tidak ada bedanya. Tapi hasilnya akan jauh berbeda. Sekali mengangkat lima, bukan satu, sehari berkunjung lima, menelpon dua puluh lima kali dan seterusnya. Beda kan hasilnya? Lebih banyak yang mana, satu atau lima? Kenapa kita tidak berfikir bahwa segala yang kita kerjakan minimal lima, in our mind always think that it must five, always five. Not only one, one is not enough. Bisa sepuluh atau lima belas, tapi untuk kita cukup lima sajalah. Bagi kita selalu berfikir lima. Bukan hanya berkunjung ke satu klien, tapi ke lima klien. Tidak ada berfikir bahwa satu sudah cukup. Saya sering mendengar reaksi orang ketika saya katakan bahwa  kami setiap hari satu orang berkunjung ke lima nasabah, mereka kaget dan tidak percaya. “ Di Jakarta bisa lima kali kunjungan setiap hari? Padahal itu sudah menjadi kebiasaan kita sejak sepuluh tahun lalu dan bisa. Itu tergantung hownya, bagaimana cara mengaturnya. Zonanisasi, lokasi dengan baik. Kita berkunjung ke satu daerah ke beberapa client dan calon klien sekaligus. Misanya satu klien di Sunter, satu di Kelapa Gadung, satu di Pulomas, satu di Pulogadung, satu di jalan Pemuda dan sekitarnya. 

Masih ingat berapa kali sehari kita harus menelpon? Kia punya program namana 100 pointers, dimana setiap aktifitas kita dicatat dan diukur Jadi menelpon jangan hanya sekedar menelpon hitung jumlah panggilan telepon yang dilakukan lima, sepuluh, atau dua puluh lima kali. Harus ada jumlah minimum yang harus dilakukan, kalau tidak, tidak akan ada yang terjadi. Jadi harus ada numbers, harus ada angka minimal yang kita lakukan baru sesuatu itu dapat terjadi. Targetkan diri kita untuk melakuan sejumlah itu, kalau tidak kita melakukan sekenanya saja, asal dikerjakan saja. Kita tidak punya probability. Misalnya untuk kunjungan minimal lima kali. Itu dulu yang saya lakukan dan berhasil. Sebelum kalian pada masuk, saya secara rutin melakukan hal itu. Dari lima kali kunjungan minimal satu yang langsung dapat order, ada dua yang dapat informasi dan data untuk diproses lebih lanjut, ada satu yang tidak mau ketemu dan satu yang marah-marah dengan berbagai alas an. Yang sudah punya broker, saya tidak perlu asuransi dan bahkan ada yang mengatakan saya tidak suka dengan kamu. Hasilnya sudah pasti seperti itu. Ada probabilitasnya, ada yang bilang mau, ada yang bilang nanti dulu ada juga yang menolak. Kita tidak tahu dari lima itu mana yang menolak dan mana yang mau. Kita baru tahu kalau kita sudah melakukan lima kali. Tapi kalau kita baru melakukan satu langsung ada yang menolak, artinya kita di jalur yang benar karena setelah itu masih ada empat lagi yang kita lakukan dan satu dari yang empat itu pasti ada yang mengatakan iya. Ibarat main domino, kalau balak enam sudah keluar tinggal ada lima kartu lagi yang tersisa angka nol sampai dengan angka lima. Kita tinggal melanjutkan permainnannya. Dulu saya diajarkan ada lagunya seperti ini, “ no no no no yes”, no no no yes no, no no yes no no, no yes no no no, yes, no no no no. Jadi, satu dari lima hasilnya ada yang yes. Tapi kalau cuma satu atau dua belum tentu dapat yes nya. Jadi, kita  perlu percaya pada probability, kemungkinan terjadinya sesuatu. Siapa yang memperhatikan supir taxi? atau ada yang punya kenalan atau saudara yang menjadi pengemudi taxi. Apakah pada saat mereka ke luar dari poolnya mereka sudah dapat order? Sebagian besar belum, kecuali yang sudah dapat jatah panggilan dari radio. Tapi meskipun mereka belum punya order sama sekali mereka tetap berangkat ke luar dari poolnya dan langsung berkeliling mencari penumpang. Tidak ada kepastian di titik mana dia akan mendapatkan penumpang tapi mereka yakin bahwa di satu tempat nanti mereka pasti akan dapat penumpang. Setelah berjalan beberapa kilo meter dan beberapa menit kemudian mereka mulai mendapatkan penumpang. Mereka lakukan itu sampai selesai jam kerja mereka yang sudah ditentukan. Dapat dipastikan selama jam kerja itu dari sekian kilo meter berkeliling dan setelah beberapa jam tampa penumpang, malam harinya mereka kembali ke pool dengan hasil melebihi dari setoran dan kelebihan yang mereka bisa bawa pulang untuk anak dan isteri. Hal yang demikian juga terjadi bagi pedagang, pada saat mereka membuka pintu toko di pagi hari, tidak ada pembeli, tapi ketika mereka menutup toko di malam hari laci uang mereka sudah penuh dengan uang. Jadi kuncinya, atifitas itu penting. Semakin banyak aktifitas semakin tinggi tingkat keberhasilnya. Semakin sedikit aktifitas semakin sedikit hasilnya. Sebagai gambaran, ibaratkan saja teman-teman kita yang pergi ke luar ketemu klien itu sebagai sopir taxi yang lagi narik, misalnya “Sulis, Fitri, Reny hari ini narik kemana saja”… Setiap mereka pulang selalu ada hasilnya, ada yang langsung minta dicover, ada yang dapat data atau yang dapat jadwal presentasi. Saya merasa tahun kini kita tidak sebanyak tahun lalu aktifitasnya. Mungkin karena kita tidak serius dengan program 100 pointers, kita tidak tayangkan lagi. Saya minta Ando dan Nisa mulai minggu depan tayangkan lagi hasil 100 pointers itu. Kalau visit lima kali, menelponnya minimal dua puluh lima kali. Pasti hasilnya dapat appointment. Meski dari sekian banyak yang ditelpon hasilnya banyak yang menolak, tapi dari sekian banyak itu pasti ada yang mau. Seperti misalnya para telemarketing dari kartu kredit dan KTA. Saya sehari minimal ada lima orang yang menawarkan kepada saya, sudah pasti semuanya saya tolak dengan berbagai cara mulai dari yang halus sampai yang kasar. Anehnya mereka tidak marah. Mereka tetap aja melanjutkan dengan menelpon prospek yang lainnya. Dan ternyata mereka tetap sukses dengan karir mereka sebagai telemarketing. Dari ratusan atau bahkan ribuan orang yang mereka telepon mereka tetap berhasil mendapatkan nasabah baru. Sebagian besar orang menolak seperti saya, tapi ternyata ada orang yang sedang memerlukan kartu kredit atau KTA, buktinya pengguna kartu kredit dan jumlah dana yang disalurkan melalai KTA terus meningkat setiap tahunnya. Kita harusya berfikirnya seperti itu juga. Misalnya setelah kita berkunjung ke empat klien kita dan semuanya ditolak terus kita malas melanjutkan ke klien yang kelima karena kita berfikir hasilnya akan sama juga. Akhirnya karena kita harus berkunjung ke lima nasabah kita paksakan juga datang. Begitu datang ternyata klien kita memang sedang menunggu-nunggu karena baru saja mendapat proyek besar dan perlu jaminan asuranasi segera. “Wah, syukur deh bu Susi datang, kami lagi ada pekerjaan yang segera dijamin asuransinya”. Alhamdulillah, untung Susi tetap datang demi melengkapi Limagemilang waynya hari itu, coba kalau tidak, mungkin ada broker lain yang datang dan mereka yang dapat. Kita punya kisah sukses Susi di salah satu klien kita tahun lalu, setelah lebih dari enam bulan Susi bolak balik di tolak, ditunda tapi akhirnya Alhamdulillah kita dapat juga klien itu dan menjadi sejarah bagi kita, karena itu menjadi satu polis dengan premi dan komisi terbesar sepenjang sejarah perusahaan. Coba kalau Susi tidak berusaha terus memenuhi jumlah kunjungannya lima sehari, apa yang akan terjadi? Mungkin itu akan menjadi milik orang lain. Itu karena kegigihan kita menjadi number atau angka kunjungan setiap hari. 

Kalau kita sudah terbiasa melakukan kegiatan dalam jumlah yang besar, itu sudah menjadi modal untuk meraih sukses. Ibaratnya seperti bagi yang sudah terbiasa mengangkat beban 50 kg. Ada yang sudah masih biasa push up setiap hari lima kali. Tapi bagi mereka yang sudah terbiasa jumlah itu sudah biasa dan tidak merasa berat lagi. Bahkan mereka ingin menambah volumenya. Dulu ketika di kantor saya yang lama berada di lantai enam saya terbiasa naik tangga setiap mau naik karena saya tidak mau kehilangan waktu menunggu lift. Kalau di pagi hari kita bisa kehabisan waktu sekitar lima belas menit hanya menunggu giliran. Awalnya bagi saya itu perjuangan yang berat berjalan menaiki anak tangga ke lantai enam. Tapi beberapa hari kemudian sudah terbiasa dan saya tidak ngosngosan lagi. Karena sudah terbiasa, pekerjaan yang sepertinya berat itu menjadi ringan karena sudah biasa. Demikian juga dengan berkunjung dan menelpon, kalau kurang dari lima atau dua puluh lima menelpon rasanya belum bekerja, malah rasanya masih kurang saja. Nah, kalau kita sudah sampai pada perasaan seperti itu, anda sudah punya modal yang sangat cukup untuk meraih sukses. Tidak hanya di pekerjaan akan tetapi juga di dalam kehidupan sehari-hari. Coba perhatikan masih ada orang-orang yang menceritakan panjang lebar mengenai perjuangannya, tapi ketika ditanya berapa kali dia melakukannya, kalau dia jawabanya dua kali, berarti dia belum bekerja, dia merasa dengan dua itu saja dia sudah kepayahan. Tapi bagi mereka yang sudah biasa bekerja lima kali, dia tidak akan menceritakan panjang lebar mengenai apa yang terjadi dalam dia menjalankan pekerjaannya itu, kenapa? Karena dia tidak ada waktu, karena waktunya dihabiskan untuk menyelesaikan lima kali pekerjaanya sehingga dia tidak punya waktu untuk bercerita tentang prosesnya. Jadi, kalau ada rekan yang menceritakan panjang lebar dari hasil pekerjaannya, besar kemungkinan dia tidak melakukan lima kali. Kita harus mencapai kebiasaan yang maksimal itu, sudah tidak nyaman kalau tidak berkunjung lima kali, tidak merasa enak kalau tidak menelpon dua puluh lima kali, tidak merasa bekerja kalau belum mengirimkan email lima puluh kali dan seterusnya. Tidak nyaman kalau datangnya terlambat. Tingkat seperti itulah yang menjadi tujuan kita. Itulah yang disebut dengan kebiasan atau habit. Kalau sudah menjadi kebiasaan, tidak mudah lagi untuk berubah dan akan menjadi bagian dari cara hidup untuk selanjutnya. Itu suksesnya sudah dapat, itu sudah sukses. Yang susah itu membangun kebiasaan. Misalnya saya sudah tidak biasa tidak bangun sebelum waktu syubuh dan sholat subuh di masjid. Rasanya sudah tidak mungkin lagi berubah karena ini sudah menjadi kebiasaan saya selama hampir dua puluh tahun. Semua sudah berlaku otomatis. Meski malamnya saya begadang dan tidur jam dua atau jam tiga pagi, tapi begitu azan syubur berkumandang saya langsung terbangun dan pergi ke masjid untuk sholat syubuh. Seperti sebagian kita mendengar azan subuh, akan tetapi tidak semuanya bangun dari tempat tidur dan langsung sholat, karena itu belum menjadi kebiasaan. Karena rectangular activated systemnya belum terpasang. Sejak tahun ini saya memulai lagi kebiasaan baru, sholat di awal waktu setelah saya mengikuti pengajian pentingnya sholat di awal waktu di masjid Pondok Indah awal Januari lalu.Alhamdulillah itu juga sudah menjadi kebiasaan saya. Orang-orang yang tidak berhasil mereka tidak mempunyai kebiasaan yang baik termasuk dengan sholatnya. Kalau ada mertua dia baru sholat dan lain sebagainya. Kalau ada boss dia datang tepat waktu, kalau ada target baru dia bekerja lima kali. Orang seperti itu belum mempunyai kebiasan dan sulit untuk berhasil. 

Bagaimana caranya kita membangun kebiasan itu? Menurut hasil penelitian, perlu waktu Sembilan puluh hari. Lakukan kebiasan itu selama Sembilan puluh hari berturut dan jangan ada yang bolong. Kalau berhasil, itu sudah pasti menjadi kebiasaan untuk selamanya. Makanya masa percobaan di setiap kantor itu perlu waktu sembilan puluh hari untuk mengetahui kebiasaan karyawan dan kemampuannya dia untuk beradaptasi dengan kebiasaan di perusahaan. Pada saat saya jalan-jalan ke Norwegia dan Finlandia bulan lalu di rombongan itu ada orang sukses dari Pru namanya bu Indri. Saya kenal beliau karena pernah mengajar di Pru Desire Bintaro beberapa tahun lalu. Begitu bertemu dia langsung prospecting dan presentasi ke saya. Langsung saya kasih tahu bahwa saya juga orang Pru dan sudah pernah mendapat pelajaran dari dia. Padahal itu pada saat lagi jalan-jalan. Tapi karena itu sudah menjadi kebiasaannya, dia secara otomatis memprospek saya. Kebiasan buruk juga demikian, kalau ingin mempunyai kebiasaan buruk lakukan kebiasaan itu selama sembilan puluh hari berturut-turut, otamatis anda akan mempunyai kebiasaan buruk yang anda inginkan. By the way, ada yang ingin membangun kebiasaan buruk? He he he. Mempermanenkan kebiasaan itu perlu waktu Sembilan puluh hari. 

Kalau kita tidak mempunyai kebiasan baik dan tidak berusaha untuk memilikinya, itu menjadi hukuman seumur hidup. Itu akan memenjara diri anda, menyiksa diri anda dan mengantar anda ke jalan yang salah seumur hidup. Mengerikan sekali. Dengan umur saya yang sekarang sudah lima puluh dua tahun saya menyaksikan begitu banyak orang yang berhasil dan begitu banyak pula orang yang gagal dalam hidupnya. Penyebab utamanya adalah kebiasan. Mereka yang sukses mempunyai banyak kebiasaan yang baik sementara orang gagal mempunyai banyak kebiasaan yang buruk. Sayangnya tidak mudah untuk merubah kebiasaan buruk apalagi di  usia yang sudah lanjut. Banyak diantara mereka tidak menyadari bahwa mereka mempunyai kebiasaan buruk. Kalaupun mereka menyadarinya tapi tidak mudah untuk berubah. Akhirnya mereka tua dan mati akibat dari sikap mereka yang buruk itu. Sebagai contoh ibu mertua saya usianya 87 tahun. Saat ini kondisinya sudah sangat lemah, sudah tidak kuat bangun dan ingatannya juga sudah jauh berkurang. Akan tetapi soal sholat belum tidak pernah lupa, beliau selalu menjaga sholatnya meski dengan kondisi fisik yang lemah dan ingatkan yang jauh berkurang. Itulah bukti dari kebiasaan yang baik yang terus bertahan.  Coba misalnya kalau beliau tidak membiasakan sholat, tapi justru mempunyai kebiasan buruk misalnya marah-marah dengan kata-kata kotor, tentu kebiasaan buruk itulah yang akan keluar saat ini.
Mempunyai target dengan kelipatan lima itu adalah ciri-ciri orang berfikiran besar. Dia tidak hanya menginginkan hal yang kecil tapi besar. Tidak berfikir minimal tapi maksimal. Dalam pelakasanaanya, tidak ada bedanya antara punya target satu dengan lima. Sama-sama harus diperjuangkan. Kalau dengan target satu sering kita menganggap enteng karena terlihat mudah. Karena sikap seperti itu sering malah target yang kecil itupun tidak tercapai. Di lain pihak dengan target yang lebih besar membuat kita berfikir lebih kreatif dan mengeluarkan kemampuan dan keberanian yang maksimal. Ilustrasi yang pernah saya dapatkan dari guru saya dulu adalah seperti ini. Jika seseorang punyai target lulus SD maka kemungkinan maksimalnya dia lulus SD, tapi bisa juga dia tidak lulus. Kalau ia punya target lulus SMP maka dia bisa lulus SMP tapi pasti lulus SD. Kalau dia punya target lulus SMA maka ada kemungkinan dia lulus SMA tapi dia pasti lulus SD dan SMP. Kalau dia punya target jadi lulus jadi Sarjana S1 tapi pasti lulus SD, SMP dan SMA. Jadi orangyang  mempunyai target satu atau hanya lulus SD maksimal dia dapat satu atau lulus SD. Tapi bagi mereka yang punya target jadi sarjana S1 sudah pasti dia akan lulus SD, SMP dan SMA dan mungkin saja dia gagal jadi sarjanana S1. Tapi kan dia sudah lulus SMA? Bukan lulus SD. Mana yang lebih baik? 

Saya punya dream yang baru lagi sekarang. Dari  hasil audit usaha kita tahun 2015 lalu asset kita L&G sekarang sekitar 30 Milyar. Dream saya tahun depan itu harus menjadi 50 milyar. Kenapa? Karena dengan kondisi kita yang masih sangat biasa saja tahun lalu kita bisa meraih peningkatan asset seperti itu. Padahal kita baru tiga tahun mendapat izin sebagai broker. Sebelumnya kita hanya sebagai agen dengan modal no besar. Apalagi dengan kondisi kita sekarang ini. Ruang kantor yang lebih luas, lebih bagus, milik sendiri, kendaraan lengkap, anggota team lengkap, IT system kita sudah sangat canggih, dukungan dari rekan-rekan asuransi banyak dan lain. Modal 30 milyar itu sudah membuat kita sejajar dengan modal yang dmiliki oleh top 20 perusahaan broker asuransi nasional yang ada saat ini. Di Indonesia ada 145 perusahaan broker asuransi nasional dan dari segi asset kita di top 20, harusnya kita juga menghasilkan pendapatan sejajar dengan perusahaan top 20 itu, meskipun kita ini pendatang baru. Apa bedannya? Yang perlu kta lakukan adalah berfikir besar. Berfikir mungkin. Kalau kita berfikir bisa maka bagaimana caranya akan menyusul dan datang dengan sendirinya. Salah satunya kita akan memanfaatkan hasil riset yang baru saja saya selesaikan yang menunjukkan kita mempunyai kelebihan dan keahlian khusus di jenis asuransi tertentu. Bahkan untuk jenis asuransi itu kita menjadi top nomor tiga nasional! Kita akan focus di bidang itu. Karena untuk sukses kita harus bekerja berdasarkan kekuatan kita, di bidang yang kita kuasai bukan dengan kelemahan kita. Kita menggarap di bidang yang kita kuasai dan di pasar juga yang membutuhkan dan menghargai kita. Kita bekerja di wilayah yang persaingannya tidak terlalu ketat. Saya saat ini sedang mempersiapkan strategi yang komprhensif untuk itu. Targetinya di kwartal kedua ini sudah bisa direalisasikan. 

Jangan biarkan fikiran sempit membatasi mimpi kita. Misalnya “sudahlah Taufik kamu anak kampung, tukang angon kebo, ini kan juga sudah cukup, L&G kan dulu kantornya di garasi kita sudah di gedung sendiri, ngejar apa lagi” Atau mungkin bagi sebagian dari kita, sudahlah ini juga sudah lebih baik dulu ngontrak di rumah kecil sekarang sudah di rumah sendiri walau kecil”. Sementara di luar sana banyak peluang dan kesempatan yang terbuka menunggu kita. Tapi karena kita membatasi diri kita untuk berkembang lebih besar, kita berhenti berusaha meningkatkan kemampuan kita. Coba perhatikan sekarang perkembangan Jakarta seperti apa? Gedung tinggi dimana-mana, ada gedung percakar langit, mall besar, hotel berbintang, apartemen mewah, jalan tol, jalan layang. Itu siapa yang membangunnya? Kenapa bukan kita? Kenapa kita baru punya seperti ini sudah mengatakan bahwa kita sudah cukup. Sementara Tuhan menciptakan alam ini begitu besar. Allah tidak melarang kita menjadi besar, justru Allah menuntut kita supaya besar, kuat dan kaya agar kita bisa membantu saudara-saudara kita yang lemah. Kalau Allah sekarang memberikan kesempatan kepada kita untuk sukses, lakukanlah karena mungkin saudara kita tidak diberi kesempatan seperti ini. Untuk memperbesar visi kita perlu banyak belajar dan melihat perkembangan dunia ini. Salah satunya dengan pergi ke luar negeri seperti yang saya dan Iil lakukan bulan Februari lalu ke Norwegia dan Finlandia. Kami sekarang sudah mempunyai fikiran, paradigma baru dan pandangan seperti orang Eropah. Sudah sama dengan pemikiran orang-orang hebat dari Sinar Mas. Kami sekarang mempunyai keyakinan yang semakin besar untuk sukses dan membangun perusahana ini lebih sukses lagi. Kami ingin mengajak sebanyak mungkin dari tema-teman untuk merasakan seperti yang kami rasakan. Mempunyai visi dan keyakinan yang besar. Mari kita bekerja maksimal tahun ini sehingga tahun depan ada sepuluh bahkan lebih dari kita yang jalan-jalan ke luar negeri. Ada paket ke Capri Island di Italia, ada paket ke China dan ke Bali. Saya sudah tidak sabar melihat semangat dari teman-teman sekembalinya dari perjalanan itu. Kunci utama untuk ke luar negeri adalah masalah paspor saja. Bagi mereka yang belum keluar negeri sepertinya keluar negeri itu masalah besar sekali. 

Untuk mendorong saya berfikir besar dan bekerja lebih keras saya sekarang merubah persepsi saya. Mulai dari sekarang saya meyakinkan ke diri saya bahwa saya bukan lagi pemilik saham perusahaan ini. Saya adalah CE0 yang bekerja dan dibayar. Saham milik saya sekarang saya serahkan ke ayah saya yang mempunyai visi dan keinginan besar. Perusahaan ini akan menjadi perwujudan dari mimpi dan misi dari ayah saya. Tapi karena ayah saya sudah meninggal maka saya tetap menjadi pemilik saham realnya dan ayah saya menjadi intangible share holder atau yang tidak terlihat tapi mempunyai marwah yang sangat kuat yang mendorong saya untuk senatiasa berfikir dan bekerja keras. Anda tentu tahu bahwa selama ini ayah saya memberikan pengaruh yang sangat besar untuk kemajuan L&G. Pada saat perusahaan ini baru dimulai dan tertatih-tatih, dan saya kehilangan orang yang mendukung, ayah sayalah yang menjadi motivator dan mentor saya. Pada saat kita sudah mulai berkembang ayah saya yang mendorong agar kita segera mengganti mobil dengan yang lebih layak. Ayah saya juga yang mendorong agar kita segera pindah ke kantor baru ini walau kondisi ekonomi sedang tidak bagus. Karena beliau yakin bahwa kita pasti bisa melewatinya. Sebagai penghargaan atas jasa beliau maka beliau kita beri penghormatan sebagai penggunting pita kantor baru dan memberikan kata sambutan yang sangat berkesan. Masih ingatkan pesan-pesan beliau? Itulah kata-kata terakhir beliau untuk itu. Dua minggu setelah itu beliau meninggal dunia setelah menyaksikan kita berhasil melewati tahap pertama di bisnis kita. Tugas saya dan anda adalah membawa perusahaan ini ke tahap yang jauh lebih besar seperti yang beliau impikan.
Share on Google Plus

About Taufik Arifin

0 comments: