Ahli Pialang Asuransi Dari Desa – Terpuruk Semakin Dalam



Ketika saya memulai bisnis di garasi, kami berbagi tugas dengan isteri saya. My wife mengerjakan MLM  dan bisnis lain, sementara saya fokus seratus persen mengurus asuransi umum. My wife tahu, bahwa saya sudah berpengalaman dan pasti bisa mncapai sukses kembali. Sebagai wanita yang bertanggung jawab kepada keluarga, my wife mengambil inisiatif untuk membantu menyelamatkan ekonomi keluarga. Kami akhirnya menyadari bahwa bisnis MLM tidak akan pernah menghasilkan uang yang cukup. Kami sudah mencoba untuk fokus dan bertahan selama delapan tahun, tapi hasilnya masih jauh dari harapan. My wife mencoba menjalankan beberapa usaha lain. Dia pernah mencoba berbisnis barang-barang yang dibutuhkan oleh kantor lamanya, terutama barang-barang promosi atau gimik. Di perusahaan itu ia masih banyak kawan-kawannya yang tetap bekerja. Dia mencari informasi gimik apa yang diperlukan oleh perusahaan kemudian my wife mencari sumbernya dan kemudian menjualnya ke perusahaan. Tapi untuk bisa menjalankan bisnis ini diperlukan modal yang tidak sedikit. Dia sempat mendapatkan beberapa order dan mendapatkan penghasilan yang lumayan. Setelah beberapa kali, my wife menghadapi masalah, barang pesanan ternyata tidak kunjung selesai, padahal uang panjar sudah diberikan kepada pengarajin yang membuatnya. Yang lebih parah lagi ternyata uang yang diberikan sebagai panjar itu hasil pinjaman dari rekannya yang lain. Jumlahnya sangat besar. Akhirnya my wife harus menanggung hutang.


Selain mencoba untuk berusaha dengan kantor lamanya, my wife juga berusaha merubah cara kerjanya di MLM. Semula dia lebih fokus dengan membuat jaringan dengan merekruit anggota, kini dia juga mencoba untuk memperbanyak jualan langsung. Dia mendapatkan pesanan sekitar 10 buah saringan air minum dari anggotanya yang berada bernilai ratusan juta di Balikpapan. Dia sudah mendapatkan order, tapi dia tidak punya uang untuk membelinya ke perusahaan MLM. Dia yakin bahwa pembayaran akan dilakukan setelah barang diterima. Harganya boleh dijual dengan harga price list yaitu sekitar tiga puluh persen diatas harga distributor, selisihnya itu boleh diambil oleh isteri saya. Kalau dihitung, besar keuntungannya lebih dari 25 juta rupiah. My wife tertarik dengan penawaran itu, dia percaya bahwa anggota kami itu pasti akan membayarnya. Akhirnya my wife nekat meminjam uang dari temannya dengan syarat bahwa my wife harus membagi keuntungan sebesar 20% dari setiap keuntungan yang didapat. Karena jumlah uangnya sangat besar, maka dibuatkan surat perjanjian peminjaman uang antara my wife dengan temannya itu. My wife tidak keberatan, karena dengan pembagian sebesar itu dia masih mendapatkan keuntungan yang lumayan. Akhirnya dana itu dipinjamkan dan langsung di belikan sepuluh buah mesin water treatment dan dikirimkan ke Balikpapan. Tapi apa hendak dikata, sejak barang dikirimkan ke alamat yang diberikan, rekan bisnis itu tidak bisa dihubungi lagi. Dia menghilang berserta dengan barang-barang yang dikirimkan itu. Total nilai barang itu ratusan juta rupiah! 

Lengkap sudah penderitaan bisnis isteri saya, sudah tertipu oleh pengrajin gimik, kini giliran rekan bisnis MLM yang menipunya. Hanya dalam waktu kurang dari tiga bulan my wife berhutang ratusan juta rupiah. Celakanya lagi, isi dari perjanjian dalam surat perjanjian peminjam uang dengan rekannya telah disalah artikan oleh temannya. Di dalam perjanjian tertulis bagi hasil 20% sementara temannya itu mengartikan sebagai bunga 20% dari total pinjaman. Ini sudah seperti praktek rentenir. Perbedaannya jauh sekali, kalau bagi hasil, yang dibagi adalah hasil usaha berupa keutungan.Kalau ada untung baru dibagi Sementara kalau bunga dihitung dari pokok pinjaman, setiap bulan my wife harus membayar bunga 20% dari pokok pinjaman. Karena panik dan takut ketahuan oleh saya my wife terpaksa mengiyakan saja pendapat temannya. Alhasil dia setiap bulan harus membayar bunga pinjaman itu. Besarnya sekitar Rp. 40 juta setiap bulannya. Luar biasa. Karena my wife tidak mau ada keributan dengan temannya ini, dia setiap bulan dengan setia membayar bunga sebesar itu. Dari mana dia bisa membayar bunga sebanyak itu, padahal bisnisnya tidak ada yang menguntungkan? Dia tidak bisa menghindar karena rentenir itu setiap saat mengejarnya dengan berbagai cara, menelpon, mengancam, dan cara-cara yang membuat my wife ketakutan. Akhirnya my wife mulai kehilangan akal sehat. Dia mulai menggunakan uang tabungan kami, mengurangi cicilan rumah, dan segala pengeluaran lain untuk membayar kepada rentenir itu. Tidak hanya sampai disitu, atas saran dari rentenir itu my wife mulai berani meminjam uang kepada teman-temannya yang lain dengan berdalih untuk berbisnis. Karena selama ini ini my wife mempunyai hubungan baik, hampir semua mereka mau meminjamkan. Apalagi my wife memberitahu mereka bahwa yang akan mengelola bisnis itu adalah saya yang sudah berpengalaman. Sebagai pemanis my wife menjanjikan bagi hasil yang menarik kepada mereka. 

My wife tidak pernah menceritakan semua masalahnya ini kepada saya. Dia tidak ingin menggangu saya yang sedang fokus-fakusnya membangun bisnis. Tapi karena kondisinya sudah sangat parah, sekitar dua tahun kemudian informasi ini sampai juga kepada saya. Mungkin karena my wife sudah tidak bisa lagi berakrobat untuk menutupi semua masalahnya. Karena semakin lama masalah semakin besar, bunga semakin bertambah, pinjaman dari temannya sudah jatuh tempo apalagi ada janji untuk membagi keuntungan. Satu siang saya menerima telepon dari temannya yang bertindak sebagai rentenir itu. Ia memberitahu bahwa dia minta bantuan saya untuk mengingatkan my wife untuk membayar hutangnya. Awalnya saya kaget karena my wife tidak pernah memberi tahu kalau dia berhutang kepada orang ini. Tapi saya tidak begitu khawatir karena dalam fikiran saya ah paling my wife berhutang ratusan ribu atau jutaan rupiah saja. Tapi alangkah kagetnya saya ketika orang ini mengatakan bahwa hutang my wife ratusan juta! Saya tidak percaya dan tidak masuk akal bahwa my wife bisa mempunyai hutang sebanyak itu. Untuk apa? Saya tidak pernah melihat  my wife mempunyai uang sebanyak itu. Tidak ada satu barangpun di rumah kami maupun perhiasanya yang dimilikinya yang mungkin dia beli dari uang sebanyak itu. Yang saya lihat setiap hari isterinya sibuk pergi berbisnis, berangkat pagi pulang malam. Kami selalu berbagi cerita tentang bisnis, tapi tentang hutang ini my wife tidak pernah memberitahu saya. 

Malamnya saya tanya isteri saya. Dia mengakui bahwa dia punya hutang, tapi semua masih dalam kendali katanya. Dia masih berusaha menutupi masalah berat ini. Tapi dari reaksinya saya sudah curiga bahwa dia sedang menghadapi masalah yang sangat rumit. “Kalau papa, tidak suka, tinggalkan saja aku” katanya dengan penuh ketakutan. Saya berusaha untuk berfikir jernih dengan bersabar menghadapi masalah ini. Dalam hati saya katakan bahwa saya tidak akan meninggalkan dia, apalagi pada saat dia sedang menghadapi masalah seberat ini. Saya harus membantunya keluar dari semua masalah ini. Saya berfikir bahwa ini semua karena kesalahan dan kelemahaanya, bukan karena niat buruknya. Kami sudah berkeluarga selama tujuh belas tahun. Saya tahu persis betapa baik dan mulianya hati my wife ini. Dia seorang wanita mandiri dan tidak ingin bergantung kepada orang lain, meski itu kepada suaminya. Dia berprinsip lebih baik memberi dari pada meminta. Itulah salah satu keberatannya ketika dulu saya minta dia berhenti bekerja untuk mengurus rumah tangga saja. Dia tidak mau kehilangan penghasilnya sendiri, dia tidak terbiasa meminta uang kepada orang lain. Dia juga bukan tipe wanita yang suka berfoya-foya. Dia lebih suka membeli barang murah tapi bagus dari pada membeli barang mewah dan mahal. Dia melihat barang mewah di mall kemudian pergi ke pasar tradisional untuk membeli barang sejenis. Dia ringan tangan dan pemurah. Setiap orang saudara dan orang dekat hampir semua pernah mendakatkan “kasih-sayang”nya. Dia selalu mengingatkan saya untuk membantu keluarga. My wife tidak keberatan sama sekali ketika setiap bulan saya mengirimkan uang begitu banyak ke saudara-saudara saya. Dia royal dalam hal membantu orang orang. Saya sering marah kalau dia dengan begitu mudahnya memberikan bantuan dalam jumlah banyak untuk orang-orang yang seharusnya tidak perlu dibantu. Bahkan dia mempunyai beberapa orang dari kampung tetangga yang setiap bulan rutin datang ke rumah untuk mendapatkan bantuannya. 

Dia juga wanita yang bertanggung jawab kepada keluarganya. Ketika ayahnya meninggal sewaktu dia kelas dua SMA, dia putuskan bahwa dia tidak akan melanjutkan ke bangku kuliah. Dia ingin bekerja langsung karena tidak ingin membebani ibunya. Ketika tamat SMA dia langsung mencari kerja dan akhirnya dia mulai bekerja sebagai penjaga toko atau sekarang di sebut sebagai Sales Promotion Girl (SPG). Dia sangat senang ketika akhirnya dia terpilih menjadi SPG di Pekan Raya Jakarta atau Jakarta Fair acara tahunan itu. Selepas bekerja di toko, dia buru-buru berangkat ke arena PRJ. Pulang kerumah tengah malam, dan pagi-pagi besoknya dia berangkat lagi menjaga toko. Pekerjaan itu dijalaninya sebulan penuh. Semua gaji dan hasil honor dari PRJ diserahkannya kepada ibunya. Oleh ibunya uang itu digunakan untuk memperbaiki rumah dan membeli televisi mereka yang sudah tua. Dengan uang itu dia juga membantu adik perempuannya yang waktu itu masih bersekolah di SMA. Dia juga membiayai adiknya itu bersekolah di Bandung dan kemudian pindah ke Jakarta. Ibunya tetap mengharapkan agar dia melanjutkan ke bangku kuliah, karena ingin melihat anaknya ada yang menjadi sarjana. Tampa sepengetahuannya sang ibu mengumpulkan penghasilan yang diserahkan kepada ibunya itu sehingga cukup untuk membayar uang masuk kuliah di salah satu universitas swasta di Jakarta. Dengan berat hati dia akhirnya berkuliah juga di malam hari setelah pulang kerja. Walau sudah dicobanya dia hanya bisa bertahan selama dua semester. Kemudian dia mencoba menambah ilmu dengan mengikuti kursus saja. “Not to be but to get” demikian kata ibunya berkelakar beberapa tahun kemudian ketika menyadari bahwa anaknya akhirnya tidak jadi kuliah. Memang my wife tidak berhasil menjadi sarjana seperti yang ibunya harapkan ( to be) tapi ternyata dia berhasil mendapatkan seorang suami sarjana ( to get) dengan menikah dengan saya mantan teman kuliahnya. He he he.....

Malam itu saya minta my wife menjelaskan semua masalahnya, tapi dia masih belum terbuka dan yakin dia akan mampu mengatasi masalahnya sendiri tampa bantuan saya. Sejak malam itu saya mulai melibatkan diri membantu my wife saya. Ternyata my wife telah berhutang kepada begitu banyak orang. Tetangga, saudara, rekan kerja, koperasi, kartu kredit, bank dengan KTA dan entah apa lagi. Secara total lebih dari tiga puluh pemberi hutang dengan jumlah tagihan miliaran rupiah! Mana mungkin dia akan bisa mengatasi masalah ini sendiri. Kalau dihitung dengan gaji terakhir saya, jumlah hutang kami itu butuh waktu sekitar 25 tahun bekerja untuk menggantinya.
Saya sudah mengambil keputusan, seberapapun besarnya hutang isteri saya, saya akan berusaha membayarnya. Inilah tugas saya, ini tanggung jawab saya kepada orang yang telah merelakan dirinya menjadi isteri saya. Inilah saatnya saya untuk memberikan yang terbaik kepada keluarga saya. Lagi pula, dia melakukan semua ini karena dia berusaha membantu kehidupan keluarga pada saat saya belum mampu sepenuhnya. Ini demi masa depan kami dan masa depan anak kami. Ingatan saya menerawang ke delapan belas tahun sebelumnya. Sabtu sore hari selepas pulang bekerja awal tahun 2001 dimana pada malam harinya saya akan melamar My Wife. Sebagai layaknya seorang yang akan menikah, pasti ada kegalauan terbersit dalam hati, “apakah calon my wife ini adalah seorang isteri yang baik, akankah dia akan menjadi isteri sholehah yang bisa mendatangkan keluarga yang mawaddah wa rohmah”. Ketika berhenti di depan lampu merah di bundaran Senayan arah ke Blok M sambil memandang layar iklan besar, saya berdesis “saya menikahi dia karena Allah”. Desis itu membuat saya tenang dan mantap dengan pilihan saya. Ketika masalah ini datang, maka jawabannya adalah sama, bahwa saya menikahi my wife karena Allah dan karena Allah pulalah saya akan bekerja sekuat tenaga untuk membebaskan my wife dari masalah yang membebaninya. Saya yakin bahwa jika saya mau dan berhasil maka Allah akan mengganti dengan pahala yang berlipat ganda. Untuk membesarkan hati, saya katakan bahwa ini saatnya bagi saya memberikan nafkah terbesar kepada keluarga saya, miliaran rupiah. Dengan my wife terbebas dari beban hutangya anak saya akan mempunyai ibu yang bahagia yang punya waktu untuk merawatnya, mertua saya mempunyai anak yang bisa merawat di hari tuanya. 

Setelah masalah ini mengemuka, dalam sekejap semua masalah yang selama ini ditutupi oleh my wife muncul. Saya menerima laporan dan pengaduan dari orang-orang yang telah meminjamkan uangnya kepada isteri saya. Saya akhirnya tahu bahwa orang mengarahkan saya isteri untuk berhutang kemana-mana itu adalah si rentenir itu. Dia yang memberitahu bahwa dia bisa meminjam uang ke koperasi tertentu, miminjam kepada orang-orang tertentu, cara mendapatkan persetujuan KTP dan kredit card dan lain-lain. Yang penting bagi rentenir itu setiap bulan my wife harus menyetor bunga pinjamanya.  Langkah awal saya adalah dengan menemui para peminjam uang itu dan menjelaskan masalah yang terjadi. Minta maaf dan memberikan pernyataan bahwa saya akan bertanggung jawab membayarnya. Berbagai macam reaksi mereka, ada yang bersimpati dan sedih melihat musibah ini karena mereka tahu bahwa my wife jika dalam keadaan baik-baik tidak mungkin melakukan itu. Ada yang sinis dan ketus karena merasa telah dibohongi dan dijanjikan keuntungan besar. Ada yang langsung bertindak dan mencap buruk isteri saya. Ada yang mengancam akan mengambil  jalur hukum dan mengadukan my wife kepada polisi dan menunjuk pengacara. Ada yang langsung memproses dan menyita  harta kami yang masih ada sebagai jaminan. 

Disinilah saya membuktikan sinyalemen yang mengatakan teman tertawa banyak tapi teman menangis sangat sedikit. Hanya sedikit teman yang benar-benar teman, saudara yang benar-benar saudara. Ada yang melihat bahwa kami ini sudah “habis”, sudah mau mati. Mereka satu-persatu menjauh sambil melihat-melihat apa yang mungkin masih bernilai sepeninggal kami. Kami benar-benar kehilangan teman baik dan saudara baik, kami memang harus berdua saja menanggung beban sebesar ini. Tidak ada lagi teman berbagi cerita, saudara tempat bercengkarama. Isteri saya,  satu malam mengatakan “hanya papa, ibu dan Bobi saja sekarang yang mau memperhatikan aku” katanya lirih. Padahal my wife punya begitu banyak teman yang selama ini selalu berbagai dengannya. Tetanggu juga demikian, mereka sepertinya sedang menghitung hari kapan kami akan pergi dari komplek yang sudah hampir dua puluh tahun kami tinggali.
Sementara saya sibuk nengurus urusan My Wife, bisnis asuransi umum saya juga masih dalam tekanan karena kondisi ekonomi pada tahun itu juga masih buruk. Tapi walaupun demikian secara perlahan-lahan sudah terlihat ada pertumbuhuan. Saya berharap bisnis saya inilah yang akan saya handalkan untuk melunasi semua hutang-hutang my wife ini. 

lngrisk.co.id
Share on Google Plus

About Taufik Arifin

0 comments: