Tentang Penulis:
Kami berencana untuk menjadikan hari kedua
sebagai puncak dari Tour de Bali 2013 ini. Kami ingin menghabiskan satu hari
itu untuk berkeliling pulau Bali. Untuk berkeliling Kuta dan daerah sekitarnya
sudah cukup dengan kami blusukan di kawasan Kuta di hari pertama. Kami sudah
mengatur dengan baik di hari sebelumnya. Kami mencari mobil sewaan atau mobil
rental melalui petugas hotel. Kami minta disediakan Toyota Avanza tapi ternyata
yang ada cuma Daihatsu Xenia. Harga sewa yang disepakati Rp. 200 ribu untuk
satu hari. Lumayan murah, kalau di Jakarta sewa mobil seperti itu minimal Rp
350 ribu. Mobil akan diantar jam 9 pagi.
Meski di Kuta jumlah mesjid tidak terlalu
banyak tapi suara azan subuh cukup nyaring terdengar dari kamar hotel kami.
Saya bangun dan sholat subuh dan berzikir. Beberapa saat kemudian saya
membangunkan my son untuk sholat. Setelah itu kami bersantai-santai di tempat
tidur sebentar sembari mengutak-atik smartfone masing-masing. Jam 6.15 kami
turun ke lantai dasar untuk menikmati sarapan di restoran hotel. Ketika kami sampai, masih belum
banyak tamu-tamu yang menikmati sarapannya. Saya langsung mengambil menu
paforit saya. Susu dicampur dengan corn flake, dan biji-bijian. Saya mulai
menyukai menu ini sejak pertama kami mencicipinya di hotel Perth Ambassador di
Australia 20 tahun silam. Eh my son rupanya juga menyukai menu ini. Sepertinya
di hotel ini hanya ada makanan halal, namun demikian kami tetap
berhati-hati. Setelah menikmati secangkir teh manis saya mengambil
pecel khas bali, bubur ayam dan buah-buahan. Buah paforit saya adalah salak,
apalagi salak Bali. Semakin siang kantin semakin ramai. Sebagian besar tamu adalah orang Korea dan orang Asia Timur lainnya. Banyak
juga tamu orang Bule dan tentu saja tamu dari negeri sendiri.
Sekitar jam tujuh kami sudah selesai sarapan.
Untuk mengisi waktu kami berkeliling hotel. Hotel Haris Kuta Riverview sangat
besar. Ada 4 menara dengan lima lantai. Ada lantai basement tempat parkir
kendaraan. Dari luar memang terlihat hotel ini terlihat tidak begitu besar. Di Bali memang bangunan tidak dibuat terlalu tinggi,
konon menurut kepercayaan orang Bali bangunan tidak boleh lebih tinggi
dari pohon kelapa. Kami masuk keruangan gym tempat kegiatan olahraga dalam
ruangan. Kami memanfaatkan fasilitas ini. Ini pengalaman pertama buat my son
memainkan semua sarana ini. Mengangkat barbell, memainkan sepeda static dan
lain-lain. Lumayan setelah setengah jam keringat mengucur dari tubuh kami.
Karena waktu sudah mendekat jam delapan kami naik ke kamar di lantai satu untuk
mandi dan bersiap-siap untuk menikmati hari kedua yang sudah kami rencanakan
dengan baik ini.
Kami turun ke lobby sekitar jam setengah sembilan dan langsung menanyakan mengenai keberadaan mobil Xenia yang sudah kami pesan. “Wah bapak kemarin pesan sama siapa?” tanya petugas hotel. “Dengan Jaksa” kata saya. Untung saya masih mengingat nama petugas itu. Kemudian dia menghubungi si Jaksa melalui HP. Rupanya hari itu Jaksa giliran libur. Beberapa saat kemudian petugas mengatakan bahwa mobil yang kami pesan sedang diantar dan kami diminta untuk menunggu. Setelah mendekati jam 9 saya coba menanyakan kembali posisi mobil, kembali sang petugas mengatakan sudah dalam perjalan, minta saya untuk menunggu kembali. Akhirnya jam setengah sepuluh si Xenia itu belum datang juga. My son sudah mulai kehilangan kesabarannya. Akhiirnya saya desak petugas untuk kepastiannya, atau mencari mobil pengganti saja. Dia setuju untuk mencari mobil penganti, untuk itu kami harus menunggu. Menjelang jam 10 pagi saya mendengar ada deru suara mesin mobil yang cukup keras, saya kira itu adalah bus besar. Ternyata mobil yang datang adalah Suzuki Karimun tua. Kemudian petugas memberi tahu bahwa itulah mobil yang bisa saya gunakan sebagai pengganti. Daripada tidak jadi berangkat akhirnya saya setuju saja. My son juga setuju. Setelah saya duduk di belakang kemudi saya baru tahu apa yang membuat suara mesin terlalu keras ternyata mesin A/C disetel sengat tinggi, setelah saya kecilkan bunyinya lumayan berkurang.
Jam 10 lewat akhirnya kami bisa meninggalkan
hotel. Kami langsung menuju pompa bensin yang berjarak kira-kira 200 meter dari
hotel. Saya isi Rp. 100 ribu. Menurut perkiraan saya jumlah segitu pasti cukup karena kalau di Jakarta
saya seharian keliling paling habis hanya Rp. 50 rupiah. Kami langsung menuju
ke jalan raya By Pass yang hanya berjarak sekitar 500 meter dari hotel kemudian
menuju ke jalan tol yang baru. Kami menggunakan jasa Samsung Galaxy s4 dengan
memanfaatkan fasilitas Navigator. Ternyata fasilitas ini berjalan dengan baik.
Dia bisa menjelaskan letak, arah dan jarak lokasi yang dituju dengan baik. My
son di samping saya menjadi navigator. Yah kami bak orang yang sedang
mengadakan rally saja. Beberapa saat kemudian kami sudah berada di depan pintu
gerbang jalan tol Ngurah Rai yang belum satu bulan dioperasikan setelah
diresmikan oleh presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono. Jalan tol itu memang
sengaja dikebut pembangunannya untuk kesuksesan pertemuan APEC 2013 (ASIA
PACIFIC ECONOMIC CONERENCE) yang dihadiri oleh hampir seluruh kepala negara dan
pemerintahan dari negara-negara yang berada di kawasan Asia dan Pacific. Mulai
dari Canada di belahan dunia bagian utara sampai New Zealand di belahan selatan dunia ini. Ada
37 kepala negara. Satu-satunya kepala negara yang tidak hadir adalah presiden
Amerika Serikat Barack Obama. Dia terpaksa membatalkan karena adalah masalah
“shutdown” di dalam negerinya. Jalan tol ini unik dan sangat istimewa. Inilah
jalan tol pertama di Indonesia yang berada di atas laut. Yang membangun proyek
ini 100 persen oleh kontraktor dalam negeri. Pemiliknya juga berupa konsorsiun
perusahaan BUMN. Ini model pertama dari konsorsium BUMN dan sukses. Atas
keberhasilan ini MENEG BUMN Dahlian Iskan mempunyai ide untuk melanjutkan model
konsorsun BUMN ini untuk pembangunan pembangkit listrik.
Pintu Gerbang Kawasan Nusa Dua |
Jl. Tol Ngurah Rai |
Jl. Tol Ngurah Rai |
Begitu kami memasuki gerbang tol ini saya
melihat proyek ini sangat luar biasa. Terlihat jalan tol yang kokoh, panjang
mengular membelah laut yang terlihat tidak begitu dalam. Suasana jalannya
relatif masih sepi. Tapi yang menarik bahwa di jalan tol ini bukan hanya
kendaraan roda empat atau lebih saja yang lewat. Ada kendaraan roda dua yang
berjalan di jalur khusus. Tarif jalan tol ini relatif mahal yaitu Rp. 10 ribu
untuk kendaraan roda empat dan Rp. 4 ribu untuk kendaraan roda dua. Saya bisa
memacu kendaraan diatas 100 km/jam. Kurang dari 10 menit saya sudah sampai di
ujung tol arah ke Nusa Dua. Tujuan kami kami memang ke Kuta bagian selatan
yaitu Nusa Dua dan Uluwatu. Kami berbelok ke kiri ke kawasan Nusa Dua atau yang
dikenal dengan kawasan NDTDC (Nusa Dua Tourism Development). Di kawasan ini
berdiri hotel-hotel berbintang lima plus seperti Grand Hyatt, JW Mariott dan
lain-lain. Disini pulalah tempat bertemunya para kepala negara APEC. Pun disini pula ajang MISS WORLD 2013 yang sempat menggemparkan dunia itu diadakan seminggu sebelum pertemuan APEC. Saya mengajak my son keliling sambil memperhatikan hotel itu
persatu. “Kok hotelnya tidak terlihat megah seperti di Jakarta ya pa” tanya my son.
Saya bilang konsep hotel disini adalah resort, tempat orang istirahat. Suasananya
santai tempat orang bersantai sambil menikmati indahnya pasir putih dan birunya
laut serta angin segar yang berembus dari samudara. Beda dengan hotel berbintang di Jakarta atau di kota besar, itu hotel bisnis tempat para pebisnis mengingat dan mengadakan pertemuan. Setelah selesai berkeliling
kami ke luar dari kawasan NDTDC mengarah ke Uluwatu. Sesuai dengan penunjuk
arah dan arahan dari navigator, setelah keluar dari kawasan Nusa Dua kira-kira
500 meter kami berbelok ke kiri memasuki jalan menanjak. Kemudian berbelok lagi
ke kanan dan kekiri lagi sampai kami menemukan jalan yang khusus hanya mengarah
ke kawasan Ulu Watu. Jalannya sangat mulus dan relatif sepi. Maklumlah ini memang
bukan bukan musim liburan. Di sepanjang jalan kami sering melihat banyak turis
bule mengendarai sepeda motor dengan tampa mengenakan baju tapi tetap memakai helm
sambil membonceng papan selancar. Jalannya berkelok-kelok mendaki dan menurun.
Saya menikmati sekali mengendarai mobil Karimun ini. Meski badannya kecil tapi
tenaganya cukup kuat. Sesekali saya mulai mendengar ada suara aneh ketika kaki
saya menginjak pedal kopling, ada suara mengdengking, tapi kalau saya angkat
kaki saya dari pedal kopling suara itu hilang. Tapi begitu saya menginjak kopling
untuk memindahkan gigi suara itu terdengar lagi. Saya tidak punya rasa khawatir
karena saya kira biasa mobil tua dengan transmisi manual seperti itu.
Mejelang jam 11 siang kami sudah sampai di
kawasan Pura Uluwatu yang dibangun di bibir tebing yang begitu terjal yang terkenal dengan Bali Cliff. Tidak
begitu banyak turis yang ada di lokasi ini siang itu, mungkin karena cuaca yang begitu panas. Ada beberapa orang Korea, Italia
dan beberapa turis lokal. Sebelum memasuki kawasan pura semua pengunjung harus
mengenakan ikat pinggang berwarna kuning yang disediakan di pintu masuk. Ikat
pinggang ini disewa dengan harga Rp. 15 ribu rupiah/orang. Kami membeli seikat
pisang untuk memberi makan monyet yang banyak berkeliaran di kawasan
pura. Kacamata kami lepas takut “dipinjam”oleh monyet. Saya sudah punya
pengalaman buruk ketika berkunjung ke sini tiga tahun lalu. Tiba-tiba saja salah satu monyet
menyambar kaca mata saya. Kemudian dibawanya lari sambil berdiri di pinggir
tebing seolah-olah dia ingin mencampakkannya ke dalam laut. Untung ada seorang
ibu-ibu pembersih pura yang berhasil menjinakkan si monyet nakal itu, akhirnya
dia mau memberikan kaca mata saya kembali. Alhamdulillah saya bisa melihat
dunia ini dengan sempurna kembali. Kami tidak tahan berlama-lama di pura ini
karena panas begitu terik. Sekitar jam dua belas kurang kami pergi meninggalkann
kawasan itu setelah membeli minuman dan makanan kecil sebagai pengganjal perut
kami yang sudah mulai lapar. Kami menuruni bukit menelusuri jalan
berkelok-kelok yang relatif sepi.
My son sudah mengeluarkan sinyal pertanda perutnya sudah mulai lapar. Ketika sudah mendekati lokasi yang ramai saya melihat ada restoran Padang yang relatif besar dan bersih. Saya ajak my son menikmati makan siang direstoran ini. Menunya sangat khas Minang. Nama resoranya PUTI INTAN dengan logo Rumah Gadang. Ruangananya ada A/C dan bersih. Ada mushola. Kami memesan makan kesukaan kami masing-masing. Sementara kami menikmati makan siang banyak turis-turis asing baik Bule maupun Asia Timur yang duduk dan memesan makanan. Rupanya mereka penggemar masakan padang juga. Rasa makanannya sudah disesuaikan dengan selera lokal dan orang asing, jadi bagi anda penggemar rasa minang asli anda mungkin agak sedikit kecewa. Saya sempat ngobrol dan berkenalan dengan pemilik restoran. Namanya uda Mardison. Ternyata beliau ini berasal dari Birugo Bukittinggi. Mereka masih bersaudara dengan pemilik restoran Khas Minang/Melayu GARUDA yang banyak terdapat di Medan, Jakarta dan Aceh. Uda Mardison ini masih mengelola beberapa lokasi di Medan dan Aceh. Jadi beliau sering bolak-balik Denpasar, Medan dan Lhoksemawe. Yang lebih menarik bagi saya ternyata si uda ini mengenal dengan baik kampung halaman saya Sariek Laweh. Ini surprise besar karena menurut saya jarang sekali orang yang kenal dengan nama kampung saya itu. Meski lokasi desa saya bersebelahan dengan desa Batu Hampar tempat asal ayah dari proklamator RI Bung Hatta, tapi masih sedikit orang yang kenal dengan Sariek Laweh. Saya termasuk orang getol mempromosikan Sariek Laweh ini. Saya sering sekali menulis di blog ini atau di email dan lain-lain agar nama Sariek Laweh masuk di dalam search engine dan mudah dikenal orang. Saya sangat mencintai tempat lahir saya itu, saya banyak berhutang budi dengan seluruh masyarakatnya yang telah menyelamatkan hidup saya setelah saya ditinggal mati oleh ibunda saya pada saat saya berusia 10 tahun. Menurut si uda dia dulu sering berkunjung ke Sariek Laweh untuk menyalurkan hobinya menangkap burung ruak-ruak yang memang banyak hidup di daerah kami. Saya juga masih ingat banyak orang dari desa lain yang memasang jaring ditengah-tengah sawah untuk menangkap burung ini. Jangan-jangan orang itu adalah si uda ini, he he he. Harga makanan di restoran ini sekitar Rp. 50/orang lumayan tinggi tapi jika dibandingkan dengan kwalitas makan dan tempatnya harga itu tidak seberapa besar.
My son sudah mengeluarkan sinyal pertanda perutnya sudah mulai lapar. Ketika sudah mendekati lokasi yang ramai saya melihat ada restoran Padang yang relatif besar dan bersih. Saya ajak my son menikmati makan siang direstoran ini. Menunya sangat khas Minang. Nama resoranya PUTI INTAN dengan logo Rumah Gadang. Ruangananya ada A/C dan bersih. Ada mushola. Kami memesan makan kesukaan kami masing-masing. Sementara kami menikmati makan siang banyak turis-turis asing baik Bule maupun Asia Timur yang duduk dan memesan makanan. Rupanya mereka penggemar masakan padang juga. Rasa makanannya sudah disesuaikan dengan selera lokal dan orang asing, jadi bagi anda penggemar rasa minang asli anda mungkin agak sedikit kecewa. Saya sempat ngobrol dan berkenalan dengan pemilik restoran. Namanya uda Mardison. Ternyata beliau ini berasal dari Birugo Bukittinggi. Mereka masih bersaudara dengan pemilik restoran Khas Minang/Melayu GARUDA yang banyak terdapat di Medan, Jakarta dan Aceh. Uda Mardison ini masih mengelola beberapa lokasi di Medan dan Aceh. Jadi beliau sering bolak-balik Denpasar, Medan dan Lhoksemawe. Yang lebih menarik bagi saya ternyata si uda ini mengenal dengan baik kampung halaman saya Sariek Laweh. Ini surprise besar karena menurut saya jarang sekali orang yang kenal dengan nama kampung saya itu. Meski lokasi desa saya bersebelahan dengan desa Batu Hampar tempat asal ayah dari proklamator RI Bung Hatta, tapi masih sedikit orang yang kenal dengan Sariek Laweh. Saya termasuk orang getol mempromosikan Sariek Laweh ini. Saya sering sekali menulis di blog ini atau di email dan lain-lain agar nama Sariek Laweh masuk di dalam search engine dan mudah dikenal orang. Saya sangat mencintai tempat lahir saya itu, saya banyak berhutang budi dengan seluruh masyarakatnya yang telah menyelamatkan hidup saya setelah saya ditinggal mati oleh ibunda saya pada saat saya berusia 10 tahun. Menurut si uda dia dulu sering berkunjung ke Sariek Laweh untuk menyalurkan hobinya menangkap burung ruak-ruak yang memang banyak hidup di daerah kami. Saya juga masih ingat banyak orang dari desa lain yang memasang jaring ditengah-tengah sawah untuk menangkap burung ini. Jangan-jangan orang itu adalah si uda ini, he he he. Harga makanan di restoran ini sekitar Rp. 50/orang lumayan tinggi tapi jika dibandingkan dengan kwalitas makan dan tempatnya harga itu tidak seberapa besar.
Selepas sholat jamak kodo zuhur dan ashar di
resotran ini kami melajutkan perjalanan. Tujuan kami adalah ke kawasan
utara dari pulau Bali, Singaraja. Navigator membeli tahu bahwa jaraknya sekitar
120 km dari Uluwatu dapat ditempuh dalam waktu 3 sampai 4 jam. Meski mungkin kami tidak keburu sampai di Singaraja tapi kami paling tidak bisa melewati kawasan Ubud, Kintamani
dan lain-lain sebelum kembali ke hotel tengah malam. Setelah menurun dan
mencapai jalan yang berada di pinggir pantai kami berbelok ke kiri masuk ke jalan by
Pass yang tidak terlalu macet. Setelah berjalan beberapa kilometer
saya merasakan mulai ada keanehan dengan kopling mobil. Saya mulai mengalami
kesulitan untuk memindahkan gigi. Makin lama makin susah. Mobil masih bisa berjalan
melewati kawasan bandara, melewati underpass, jalan Sunset Road dan berbelok ke
kanan ke dalam kawasan kota Denpasar. Jalanan disini semakin macet dan saya
merasakan semakin sulit untuk meindahkan gigi. Saya yakin mobil ini memang sudah
bermasalah berat dengan kopling. Sampai akhirnya saya putuskan untuk berhenti. Dengan salah satu gigi yang masih bisa digunakan
saya belokkan mobil ke kiri ke jalan Tengku Umar Denpasar dekat pertigaan Marlboro. Saya
parkirkan di halaman sebuah toko obat. Saya telepon ke hotel untuk memberitahu
kondisi mobil. Kemudian dengan menumpang taxi saya kembali ke hotel. My son
kecewa dengan kondisi ini. Dia ingin sekali menyaksikan kawasan pedesaan
di Bali. Sawah-sawah yang dibuat bertingkat-tingkat, rumah-rumah desa, pura
serta kehidupan monyet di kawasan Ubud.
Kami harus merubah jadwal kami yang sudah kami
susun dengan baik. Setelah beristirahat di hotel sebentar kami putuskan untuk
kembali blusukan di kawasan Kuta dengan berjalan kaki. Kira-kira 500 meter dari
hotel saya melihat ada tempat cukur rambut. Saya mampir kesitu karena seharusnya
sebelum berangkat saya sudah potong rambut.
My son menunggu sambil bermain smartphone. Sambil mendengarkan desingan bunyi
mesin potong rambut saya mendengar ada pembicaraan dari orang-orang dalam bahasa Minang. “hm, ada orang Minang lagi disini” bisik saya dalam
hati. Saya coba bertanya kepada si tukang cukur “ hai bli, itu yang lagi
ngobrol orang minang saya” tanya saya. Si bli (panggilan mas untuk orang Bali)
gelagapan menjawab. Lama baru akhirnya dia menjawab. Kemudian si bli saya tembak
“ bli juga orang Minang ya” dai menjawab iya. Langsung saya tanya lagi
Minangnya dimana, dia jawab dari dari Baso. “Hoi lai basabalahan kampuang wak tuma,
ambo dari Sariek Laweh, kampung wak di baliak bukik di bawah Baso tu bana” kata
saya. Ternyata kampungnya di Sumarasok kampung yang berada di kaki bukit yang
persis besebelahan dengan kampung saya. Desa kami dipisahkan oleh pegunungan
bukit barisan. Di salah satu desa di Sariek Laweh yaitu jorong Koto Malintang
banyak yang warganya berasal dari Sumarasok ini. Salah satunya adalah keluarga
dari datuak saya (ayah dari ayah saya) Haji Arifin. Saya dulu masih sempat
diajak ayah ke desa Sungai Janiah ke rumah dari salah satu keluarga kakek saya.
Wah ternyata banyak sekali orang minang di Bali. Ini bisa terlihat dari betapa
banyaknya restoran Padang/Minang di sekitar Kuta dan di Bali ini. Mulai dari restoran besar NATRABU
dan perusahan travel PACTO yang dimiliki oleh keluarga bapak Rahimi Sutan asal Taeh, Kabupaten 50 Kota
(almarhum) yang merupakan salah satu perintis industri pariwisata di Bali. Mereka
sudah ada di Bali sejak tahun 70an, bahkan alharmhum meninggal dunia di Bali. Ada pula
restoran SEDERHANA dan puluhan atau mungkinan ratusan restoran padang dalam
ukuran kecil. Selesai sholat jumat di hari pertama kunjungan saya juga mendengarkan
sekelompak anak muda bercanda gurau dalam bahasa Minang. Saya juga mendengar di
beberapa toko-toko kecil di sekitar Kuta banyak orang-orang bercakap-cakap dalam bahasa minang.
Kami mulai mencari-cari oleh-oleh yang akan di bawa pulang di toko dan kedai di sekitar pantai Kuta. Banyak pilihan tapi sulit untuk menentukan harga. Kita harus pandai menawar kalau tidak kita akan rugi. Saya membeli sebuah tas kain. Harga yang diwarkan oleh penjual Rp. 75 ribu, saya tawar Rp. 25 ribu akhirnya dia lepas Rp. 30 ribu. Dari pada setiap membeli harus menawar, saya putuskan untuk berbelanja di pusat oleh-oleh khas bali di kawasan jalan by pass. Setelah makan malam di restoran KFC sekitar jam tujuh malam kami menuju ke toko pusat oleh-oleh di jalan By Pass dengan menumpang taxi. Disana kami memilih baju-baju khas Bali yang lucu-lucu dengan bertuliskan kata-kata nyeleneh dan kocak. Kami prioritaskan untuk membeli oleh-oleh untuk keluarga dekat dan rekan kerja di L&G. Lebih kurang satu jam lamanya kami di toko itu kemudian baru kembali ke hotel. Sesuai dengan nasehat sopir taxi, lebih baik kami meminta taxi itu menunggu kami sampai selesai berbelanja dari pada harus mencari taxi lagi disini, paling tambahannya sekitar Rp. 20 ribu. Akhirnya ketika kami kembali ke taxi argonya sudah lebih dari Rp. 100 ribu padahal pada saat kami sampai masih Rp. 30 ribu. Awalnya kami ingin melanjutkan dengan makan malam di kawasan Jimbaran, tapi melihat ongkos taxi sudah sebesar itu kami batalkan. Sudah gitu sopir taxinya belaga bego, seolah-olah dia tidak tahu lokasi hotel kami. Dari tempat belanja itu, hotel kami berjarak hanya sekitar 1 km. Tapi oleh si supir taxi kami dibawanya ke Bandara, berputar-putar di kawasan Legian. "Hei bli, sini biar saya aja yang bawa mobil, saya tahu jalan ke hotel" kata saya sangking kesalnya. Kemudian saya minta my son memberitahu arah ke hotel dengan fasilitas navigator. Alhasil untuk jarak yang lebih kurang 4 km saya harus membayar taxi hampir Rp. 200 ribu. Alamaak parah kali, sewa mobil sehari cuma Rp. 200 ribu. Di Bali ada dua perusahaan taxi. Ada Blue Bird dan taxi lokal. Yang saya naiki adalah taxi lokal yang warnanya sama dengan Blue Bird. Kalau Blue Bird kita semua sudah tahu kwalitas pelayanannya, tidak perlu diragukan lagi. Gordon Ho salah seorang trainer asuransi jiwa ternama asal Singapura yang hampir setiap minggu berkeliling di kawasan Asia mengatakan, bahwa Blue Bird adalah taxi terbaik di Asia, bahkan perusahaan taxi Singapura saja kalah. Jadi next time, kalau mau aman dan nyaman pilih Blue Bird saja.
Kami mulai mencari-cari oleh-oleh yang akan di bawa pulang di toko dan kedai di sekitar pantai Kuta. Banyak pilihan tapi sulit untuk menentukan harga. Kita harus pandai menawar kalau tidak kita akan rugi. Saya membeli sebuah tas kain. Harga yang diwarkan oleh penjual Rp. 75 ribu, saya tawar Rp. 25 ribu akhirnya dia lepas Rp. 30 ribu. Dari pada setiap membeli harus menawar, saya putuskan untuk berbelanja di pusat oleh-oleh khas bali di kawasan jalan by pass. Setelah makan malam di restoran KFC sekitar jam tujuh malam kami menuju ke toko pusat oleh-oleh di jalan By Pass dengan menumpang taxi. Disana kami memilih baju-baju khas Bali yang lucu-lucu dengan bertuliskan kata-kata nyeleneh dan kocak. Kami prioritaskan untuk membeli oleh-oleh untuk keluarga dekat dan rekan kerja di L&G. Lebih kurang satu jam lamanya kami di toko itu kemudian baru kembali ke hotel. Sesuai dengan nasehat sopir taxi, lebih baik kami meminta taxi itu menunggu kami sampai selesai berbelanja dari pada harus mencari taxi lagi disini, paling tambahannya sekitar Rp. 20 ribu. Akhirnya ketika kami kembali ke taxi argonya sudah lebih dari Rp. 100 ribu padahal pada saat kami sampai masih Rp. 30 ribu. Awalnya kami ingin melanjutkan dengan makan malam di kawasan Jimbaran, tapi melihat ongkos taxi sudah sebesar itu kami batalkan. Sudah gitu sopir taxinya belaga bego, seolah-olah dia tidak tahu lokasi hotel kami. Dari tempat belanja itu, hotel kami berjarak hanya sekitar 1 km. Tapi oleh si supir taxi kami dibawanya ke Bandara, berputar-putar di kawasan Legian. "Hei bli, sini biar saya aja yang bawa mobil, saya tahu jalan ke hotel" kata saya sangking kesalnya. Kemudian saya minta my son memberitahu arah ke hotel dengan fasilitas navigator. Alhasil untuk jarak yang lebih kurang 4 km saya harus membayar taxi hampir Rp. 200 ribu. Alamaak parah kali, sewa mobil sehari cuma Rp. 200 ribu. Di Bali ada dua perusahaan taxi. Ada Blue Bird dan taxi lokal. Yang saya naiki adalah taxi lokal yang warnanya sama dengan Blue Bird. Kalau Blue Bird kita semua sudah tahu kwalitas pelayanannya, tidak perlu diragukan lagi. Gordon Ho salah seorang trainer asuransi jiwa ternama asal Singapura yang hampir setiap minggu berkeliling di kawasan Asia mengatakan, bahwa Blue Bird adalah taxi terbaik di Asia, bahkan perusahaan taxi Singapura saja kalah. Jadi next time, kalau mau aman dan nyaman pilih Blue Bird saja.
0 comments:
Post a Comment