Tour De Java 2013 Part 2

Tentang Penulis:
Setelah melewati jalan berliku di tengah-tengah persawahan, sekitar jam tiga sore kami memasuki kawasan Randu Belatung di wilayah Cepu. Setelah berjalan sekitar satu jam akhirnya sampai jualah kami di lokasi proyek. Ini adalah Gas Processing Plant (Pabrik pengolahan gas) milik PERTAMINA. Proyeknya terletak di tengah-tengah persawahan berjarak sekitar 2 km dari pinggir jalan umum. Karena kami sudah datang terlambat saya langsung mengadakan survey dengan mengidentifikasi mesin-mesin dan peralatan serta lingkungan di sekitar proyek. Setelah mengadakan sedikit wawancara dengan petugas yang ada di sana saya segera pamit karena ingin mengejar waktu untuk segera sampai di Tulungagung.

Ada dua pilihan jalan untuk sampai ke Tulungagung dari Cepu. Pertama lewat Solo dengan berbalik melewati Purwodadi. Kedua lewat Bojonegoro terus ke Ngawi. Karena sudah tahu bahwa jalan lewat Purwodadi rusak dan sangat lama saya putuskan lewat Bojonegoro. 
Dari lokasi proyek saya langsung mengarah ke kota Cepu berjarak kira-kira 10 km. Ada pemandangan yang agak aneh ketika saya berjalan di tengah kota. Ada banyak potongan kayu, perabot bekas bahkan pohon pisang yang ditaruh ditengah-tengah jalan. Sepertinya ada protes dari warga. Tapi masih untung tidak menghalangi kendaraan. Wah, ternyata orang Jawa yang terkenal santun bisa juga melakukan protes seperti ini. Setelah melewati beberapa jalan dan lagi-lagi dengan mengikuti pengarahan dari Navigation dari Galaxy S4 saya menyeberangi Bengawan Solo yang  memisahkan propinsi Jawa Tengah dengan Jawa Timur. Saya memasuki wilayah Bojonegoro di wilayah Jawa Timur. Wah, rasanya seperti memasuki negara lain. Nyata sekali beda suasana antara Cepu dan Bojonegoro. Bojonegoro terlihat jauh lebih hidup dan bagus. Daerah ini sepertinya berkembang pesat terlihat dengan begitu banyaknya bangunan baru, rumah dan kantor-kantor. 
Pada saat saya memasuki wilayah Jawa Timur tampak suasana Pilgub Jatim begitu meriah.  Banyak terlihat spanduk dan banner calon gubernur Jatim terpajang di beberapa sudut. Ada foto pak De Karwo dan gus Ipul, ada foto Kofifah dan pasangannya dan juga yang lain-lain. Sepertinya pak de Karwo dan gus Ipul yang terpilih menjadi gubernur Jatim untuk yang kedua kalinya. Dari Bojonegoro kami menuju ke arah selatan ke Ngawi. Saat itu sedang ada pembangunan jalan beton dalam ukuran yang sangat lebar sedang dikerjakan sehingga membuat perjalan saya terganggu. Barulah sekitar 15 km dari Bojonegero pekerjaan pembuatan jalan sudah berhenti dan dilanjutkan dengan jalan lama yang masih mulus dan cukup lapang. Semakin ke selatan jalannya semakin mendaki dan berkelok-kelok hingga sampai di jalan raya nusantara Ngawi-Madiun. Pas waktu magrib kami baru sampai di kota Ngawi. Kami berhenti di sebuah pompa bensin sembari menambah bensin dan sholat magrib. 

Dengan bantuan Navigator saya kembali melihat rute yang bisa dilalui untuk mencapai Tulungagung dari Ngawi. Rute pertama lewat Jombang, Kediri dengan waktu tempuh sekitar 2 jam. Kedua lewat Madiun terus ke Ponorogo dengan waktu tempuh sekitar 3 jam. Karena waktu sudah malam dan saya khawatir akan sulit mendapatkan hotel, saya memutuskan lewat Kediri. Jam sembilan malam kami baru sampai di kota Kediri dan langsung mencari hotel. Sekali lagi saya memanfaatkan jasa Galaxy S4 saya. Saya search hotel yang ada di Kediri dan muncul beberapa nama hotel lengkap dengan dengan nomor telepon yang siap untuk dial (tidak perlu masukkan lagi nomornya). Akhirnya saya putuskan untuk menginap di hotel Merdeka Kediri. Hotel bagus dengan harga sangat terjangkau. Sebelum sampai di Kediri kami sudah menikmati makan malam yang luar biasa. Jadi jadwal saya berubah. Kalau semula saya jadwalkan di hari kedua kami sudah sampai di Solo, tapi kami harus menerima kenyataan bahwa kami harus terdampar dulu malam itu di Kediri. Karena ayah saya termasuk orang yang "pemilih" soal makanan, menu makanan kami selama berada di wilayah Jawa Timur adalah Pecel Madiun yang begitu banyak di jual di rumah makan.
Malam itu kam tidur nyenyak sekali setelah 12 jam berjalan dari Semarang di pantai utara pulau Jawa ke Kediri di sebelah selatan pulau Jawa. Saya capek bukan karena menyetir tapi karena kejenuhan berjalan di wilayah yang saya tidak tahu persis dimana dan akan kemana.

Taman di tengah-tengah hotel Merdeka Kediri

Harga kamar hotel Merdeka Kediri
Discount harga kamar bagi pengguna kartu kredit

Selepas sarapan enak di restoran hotel Merdeka Kediri, jam tujuh pagi kami sudah bergerak meninggalkan hotel menuju ke Tulungagung di sebelah selatan. Menurut Navigator jarak antara Kediri dan Tulungagung adalah 40 km bisa ditempuh dalam waktu satu jam. Benar, setelah melewati suasana damai pagi hari di sepanjang jalan negara Kediri - Tulungagung jam delapan pagi kami sudah sampai di pusat kota Tulungagung. Kota kecil yang tertata rapi. Ternyata lokasi tempat pusat pengarajin batu di desa Gamping  masih sekitar 15 km lagi. Letaknya tidak jauh dari pantai Popoh yang terkenal itu.
Suasana di pinggir kota Tulungagung mirip dengan suasana pedesaan di pulau Bali. Rumah-rumah tertata dengan rapi, ada gapura gerbang jalan berdiri di beberapa tempat. Bedanya kalau di Bali kita menemukan Pura tapi kalau di Tulungagung anda menemukan mesjid yang bagus-bagus.

Desa Gamping, Tulungagung

Jam sepuluh pagi akhirnya sampai jualah kami di desa Gamping. Kami langsung menemui mas Anang contact person yang mempunyai mesin pengolah batu. Setelah ngobrol sebentar kami diajak untuk melihat proses pengolahan batu. Mulai dari batu gelondongan diolah menjadi marmer atau bentuk lain. Desa gamping memang sudah terkenal sebagai pusat pengrajin batu di seluruh nusantara. Hasil karya mereka beredar hampir di seluruh kota di nusantara ini bahkan banyak yang dieksport ke luar negeri. Konon menurut mas Anang keahlian mengolah batu ini bermula dari orang tuanya sendiri yang pada tahun tujuhpuluhan bekerja di pabrik pembuatan marmer di kota Tulungagung. Ayahnya pernah dikirim ke Taiwan untuk memperdalam ilmu pengolahan batu-batuan. Setelah kembali dan berhenti dari pabrik marmer beliau bersama beberapa orang rekannya mulai membuat usaha sendiri yang kemudian diikuti oleh hampir seluruh penduduk desa Gamping. Di sepanjang jalan banyak ditemukan show room dan pusat pengolahan batu. Setelah mendapatkan informasi mengenai detail mesin dan harganya, jam sebelas kami meninggalkan desa Gamping untuk kembali ke Jakarta. Kami kembali melalui pusat kota Tulungagung kemudian berbelok ke kiri menuju Trenggalek berjarak kira-kira satu jam. Di Trenggalek kami beristirahat sambil kembali mengisi perut kami yang sudah mulai lapar. Awalnya ayah saya enggan untuk makan tapi karena saya sedikit "ancam" karena tidak mungkin ada lagi restoran di luar kota Trenggalek akhirnya beliau mau makan. Tentu saja kembali dengan menu pecal madiun itu.

mas Anang, mas Kuswanto and my dad
Proses pengolahan marmer
Dari Trenggalek kami menuju ke Ponorogo melewati jalan berliku-liku melewati berbukitan di kaki gunung Ngliman. Pada saat melewati jalan berliku dan berbukit ini saya begitu menikmati mengendarai Altis. Tenaganya yang besar membuat setiap tanjakan tidak begitu terasa berat. Ketika menikung mengikuti jalan yang berliku-liku dia bergerak dengan sangat lincah dan tidak ada bantingan sama sekali. Tanjakan jalannya cukup tajam mungkin mirip dengan dengan kondisi jalan di Sitinjau Lauik di dekat kota Padang. Ada pengalaman yang menarik, ketika saya asyik meliuk-liuk tiba-tiba di belakang saya muncul Avanza yang mencoba mengikuti saya. Kemudian kami seperti sedang raly, nah ketika di tanjakan tajam dan didepannya ada bis yang berjalan pelan, saya manfaatkan extra power. Altis seperti meloncat mendahului bis di tikungan sementara Avanza yang mencoba mengikuti tidak lolos. Sejak itu Avanza jauh tertinggal karena saya tancap gas terus sampai memasuki kota Ponorogo.

Kami meninggalkan pusat kota Ponorogo sekitar jam dua siang menuju arah ke Solo melewati Wonogiri. Kondisi jalan tidak sebagus jalan antara Trenggalek-Ponorogo. Sesuai dengan namanya daerah Wonogiri terbanyak banyak perbukitan dan hutan. Hampir selama perjalan satu jam kami berjalan di perbukitan dengan begitu banyak tanjakan  panjang dan penurunan curam. Sementara Wana (hutan) hampir tidak kelihatan lagi. Hampir semua perbukitan disini gundul. Tidak ada pohon-pohon besar, yang ada cuma semak-semak dan beberapa tanaman yang sengaja ditanam. Melihat ini hati saya tersentuh karena hampir tidak ada lagi terlihat hutan alam di pulau Jawa ini. Ini sangat berbeda dengan di Sumatera dimana hampir di setiap perbukitan dan lembah ditumbuhi oleh hutan lebat.

Sekitar jam empat sore kami sudah meninggalkan kawasan Wonogiri dan mulai memasuki kawasan Sukoharjo. Disini perjalanan kami terhalang karena ada kegiatan karnaval. Akhirnya berkat bantuan si Navigator Galaxy S4 saya menemukan jalan alternatif menuju Solo. Menjelang magrib kami sudah sampai di tengah-tengah kota Solo tepatnya di pasar Klewer. Saya menghubungi sahabat saya Nenek Tekong lewat HP. Dia kaget karena sebelumnya saya sudah memberi tahu bahwa kemungkinan kami tidak jadi singgah di Solo karena jadwal kami sudah berantakan dan ingin cepat-cepat kembali ke Jakarta. Tapi entahlah, ketika ada petunjuk jalan memotong ke arah Klaten hati saya memutuskan untuk tetap menuju Solo. Akhirnya mobil saya arahkan masuk ke dalam kawasan pasar Klewer tempat sahabat saya berdagang. Setelah berputar-putar akhirnya saya menemukan "sarang" sahabat saya ini. Begitu bertemu pecahlah tawanya yang khas itu. "onde-onde lai tibo juo pak oji yo, nyo awak kok indak ka jadi ka iko" katanya dengan mimik khasnya. Hatinya bertambah gembira begitu melihat ayah saya. Almarhum ayahnya bersaudara satu suku dengan ayah saya. Dia memperkenalkan isterinya kepada kami. Ini adalah isterinya yang ketiga ( ya ini yang ketiga....). Kami bertemu di rumah makan Embun Pagi salah satu restoran terbesar di pasar Klewer. Restoran ini milik sahabatnya yang asli dari Mungka masih satu daerah dengan kami di Kabupaten 50 Kota. Konon kata sahabat saya,orangnya masih muda, tapi dia sudah memiliki tujuh cabang restoran di wilayah Solo ini. Dia juga terpilih menjadi anggota DPRD di daerah ini. Hebat sekali.

Resoran Embun Pagi Pasar Klewer, Milik sahabat Nenek Tekong
Nenek Nurazan dan isterinya and my dad
Ingin rasanya melanjutkan canda-gurau dengan sahabat ini sampai malam tapi karena waktu yang sangat terbatas, sekitar jam tujuh malam saya mohon pamit. Sebelumnya saya minta diantar ke toko baju batik khas solo untuk mencari oleh-oleh yang akan saya bawa pulang ke Jakarta. Ia mengajak saya ke toko sahabatnnya di dalam pasar Klewer. Tokonya cukup besar, pemiliknya perantau asal Solok Sumbar. Jam setengah sembilan malam saya meninggalkan pasar Klewer untuk kembali ke Jakarta. Pas pada saat bergerak meninggalkan Solo listrik padam, lampu lalulintas tidak bekerja dan penunjuk jalan tidak bisa terlihat. Kembali saya dibantu oleh Navigator. Awalnya saya berencana untuk kembali melewati Semarang. Tapi yang terjadi setelah saya menemukan jalan by pass saya malah mengarah ke Yogyakarta. Saya baru sadar ketika sampai di Klaten. Akhirnya saya putuskan pulang lewat jalur selatan saja. Dari Yogya lewat Kebumen, Cilacap, Ciamis, Tasikmalaya dan Bandung.

Ketika berada di Solo saya mencoba menghubungi sahabat saya Cun, tapi sayang seribu sayang HPnya tidak aktif. Sebelumnya ketika berada di Semarang dan Kediri saya sudah memberitahu mengenai perubahaan jadwal saya, tapi tidak ada tanggapan darinya. Memang sebelumnya dia sudah memberitahu bahwa pada hari itu mungkin dia tidak berada di Solo, dia berada di daerah Gunung Kidul Yogyakarta karena ada proyek disana. Yah, apa boleh buat gagallah rencana saya untuk berjumpa dengan salah seorang sahabat terbaik saya semanjang masa ini.

Setelah melewati kawasan Malioboro sebentar untuk sekedar melepas rindu dengan Yogya, saya kembali memasuki jalan bypass menuju exit ke daerah Wates. Kira-kira beberapa ratus meter setelah memasuki jalan raya Wates kami berhenti di sebuah pom besin yang lengkap dengan tempat toko oleh-oleh, mesjid dan tempat istirahat. Kami sholat isya disana dan membeli tambahan oleh-oleh. Sebenarnya ada rasa enggan untuk melanjutkan perjalanan dan ingin beristirahat malam itu di Yogya. Tapi rasa itu saya buang karena kalau kami bermalam di Yogya, itu berarti kami akan sampai di Jakarta Ahad malam, padahal hari Senin saya sudah harus bekerja seperti biasa. Menurut Navigator Jarak antara Yogya dengan Jakarta sejauh 580 km bisa ditempuh lewat jalur selatan via Cilacap dalam waktu 10 jam. Sementara via Purwokerto bisa ditempuh dalam waktu 9 jam. Saya putuskan untuk pulang lewat jalur selatan. Jalur itu belum pernah saya lalui. Sementara lewat Purwokerto saya sudah pernah dan saya tidak  tertarik karena jalannya yang berbelok-belok dan relatif sempit dan melalui pusat keramaian. Lagi pula tidak ada lagi gunanya kami lewat jalur ini, karena kami sudah putuskan tidak akan singgah di Tonjong untuk ziarah ke kubur paman saya. Apa boleh buat karena waktu kami sudah habis. Semoga setiap doa yang yang saya panjatkan selepas sholat untuk keselamatan almarhum paman saya  di alam kubur diijabah oleh Allah.

Meski sudah jauh dari libur lebaran, jalur Yogya -Wates hingga Kebumen masih relatif ramai di tengah malam itu. Kondisi jalan yang ketika saya lewat di sini tiga tahun lalu sudah banyak berubah. Jalannya sekarang sangat mulus dan lebar. Rata-rata kendaraan bisa dipacu dengan kecepatan 80 km/jam. Karena sudah larut malam, praktis tidak ada ganggungan dari pejalan kaki dan sepeda motor di kiri kanan. Sepanjang jalan masih banyak iring-iringan kendaraan dari dua arah yang mampu menghilangkan rasa takut di kesunyian malam. Sekitar jam setengah empat subuh saya mendapat serangan kantuk yang luar biasa. Akhirnya saya menemukan tempat istirahat di sebuah pompa bensin yang cukup luas di daerah Wangon. Banyak mobil sedan, truk dan bus yang menepi di sini. Hampir semuanya terlelap tidur. Saya tertidur sekitar setengah jam, saya dibangunkan ayah untuk melanjutkan perjalanan. Lumayan, saya bisa beristirahat.

Saya memang ingin segera melanjutkan perjalanan di waktu subuh untuk menghindari keramaian di siang hari. Pengalaman saya setahun yang lalu ketika bekendara ke Pengandaran berjalan disiang hari sangat ramai karena banyak bis dan truk lewat di jalan yang relatif sempit itu. Jam setengah lima saya sudah melewati pertigaan Banjar arah ke Pangandaran. Kami sudah memasuki wilayah Jawa Barat. Kembali saya kebut si Altis. Rata-rata dengan kecepatan 80 km/jam karena jalan relatif mulus karena baru saja diperbaiki menjelang lebaran. Jam setengah enam kami sudah sampai di tengah-tengah kota Tasikmalaya untuk sholat subuh. Satu jam kemudian saya terpaksa menepikan si Altis karena rasa kantuk yang luar biasa. Jam tujuh saya sudah merasakan kemacetan di kawasan Nagrek karena ada beberapa truk besar berjalan pelan dan sulit untuk didahului. Jam delapan pagi kami sudah sampai di Ranca Ekek tak jauh dari pintu tol Cileunyi, Bandung. Sebelum melanjutkan perjalanan ke Jakarta kami beristirahat dan sarapan dulu di restoran Ampera, resotoran khas masakan Sunda yang sangat terkenal itu. 

Jam sebelas kurang hari Ahad tanggal 25 Agustus 2013 Alhamdulliah  kami sudah sampai kembali di rumah kami Karya Indah II, Pondok Aren Tangerang dengan selamat tanpa ada halangan yang berarti.
Posisi Odo meter setelah sampai kembali di rumah


Dari perjalan empat hari ini ada beberapa hal yang menarik sebagai catatan:
  1. Kadang kita harus mengambil keputusan yang tidak lazim tapi bermanfaat. Berkendara sendiri untuk bertugas ke luar kota bagi saya tidak lazim. Meski ke Semarang saja, biasanya saya naik pesawat. Tapi saya berfikir kreatif dan sedikit nekat. Bisa dibayangkan betapa repotnya saya kalau harus menggunakan pesawat dan angkutan umum untuk melakoni tugas seperti ini. Terbang ke Surabaya. Dari bandara Juanda saya harus mencari angkutan umum menuju ke Cepu. Berapa lama menunggu bis di terminal untuk berangkat ke Cepu, satu atau dua jam? Berapa lama perjalanan ke Cepu? Bagaimana mendapatkan kendaraan ke proyek yang jauh dari terminal bis. Sewa ojek atau rental? Bagaimana caranya melanjutkan ke Semarang, naik bis atau kereta? Jam berapa sampai di Semarang dan bagaimana cara mencari hotel di tengah malam? Semua itu terlesaikan dengan dengan baik dengan keputusan saya mengendarai kendaraan.
  2. Secara total saya hanya mengeluarkan uang sebesar Rp. 900,000 untuk bensin selama perjalanan sejauh 1,750 km selama empat hari. Uang sebesar itu belum cukup untuk beli tiket pesawat pulang pergi. Belum lagi airport tax dan ongkos taksi dari rumah ke Bandara dan sebaliknya. Belum lagi ongkos bis dari Surabaya Cepu, sewa ojek atau mobil rental di Cepu dan Semarang serta ongkos lain-lain. Pada hal dengan uang Rp. 900,000 itu saya sudah bisa antar ayah saya ke Tulungagung mampir ke Solo bertemu teman. 
  3. Ketika saya ceritakan perjalanan saya bersama ayah ini kepada Deslison sahabat SMA saya, dia bergitu tercenung "hah, angku pai jalan-jalan baduo sajo jo ayah angku?" katanya sambil terheran-heran. "Nde, ambo iyo taragak bano maajak rang gaek ambo jalan-jalan sarupo tu, tapi baalah ambo indak pernah sempat doh, kini ayah ambo lah maningga" ujarnya lirih. Ini perjalan sangat istimewa bersama ayah saya. Sepanjang jalan ayah saya tak putus-putusnya bercerita. Awalnya beliau bercerita tentang keluarga kami, masa lalu beliau dan harapan-harapan beliau. Kamudian beliau juga bercerita tentang sejarah bangsa Jawa. Beliau bisa menjelaskan dengan tepat setiap kota dan budaya orang di kota-kota yang kami lewati. Ayah seorang sarjana Sastra dan Filsafat dari Universitas Indonesia (UI). Beliau menjelaskan kenapa banyak tokoh-tokoh nasional berasal dari daerah Jawa Timur terutama dari wilayah bagian selatan seperti Bung Karno dari Blitar, SBY dari Pacitan dan banyak tokoh-tokoh yang lain berasal dari Kediri dan wilayah sekitarnya. Menurut ayah ini disebabkan karena rasa percaya diri mereka yang jauh lebih tinggi karena mereka berasal dari kejayaan masa lalu dari kepemimpinan raja dan pemerintahan di Jawa. Saya melihat betapa ayah saya begitu menikmati perjalanan ini. Terutama ketika kami berkunjung ke tempat-tempat yang beliau belum pernah datang sebelumnya. Ayah saya juga merasa misinya telah sukses ketika saya hantar ke tempat yang ia tuju Tulungagung. Saya buatkan foto album sebagai kenang-kenangan beliau sudah sampai di desa Gamping.
  4. Klien saya menghargai inisiatif saya yang secara langsung mau mengadakan survey ke proyek mereka. Mereka tidak menyangka jika saya sendiri yang akan melakukan survey. CEO gitu loh... Bagi saya survey adalah tugas yang menyenangkan. Saya merasa tertantang untuk membuat survey report apalagi untuk jenis resiko Oil and Gas seperti ini. Meski saya bukan seorang engineer dan nilai ilmu kimia saya cuma lima di ijazah SMA tapi saya ingin menjelaskan proses kimia dari proyek ini.
  5. Mengendarai mobil sedan ke luar kota ternyata sangat menyenangkan. Selama ini kebanyakan orang berfikir bahwa kendaraan yang cocok untuk ke luar kota adalah type van tau jeep karena kondisi jalan di luar kota yang dianggap tidak bagus. Ternyata keliru, hampir seluruh jalan di luar kota  dalam keadaan mulus dan mobil sedan memberikan kenyamanan yang luar biasa. Saya tidak pernah merasa capek berkendara. Apalagi di ruang kemudi yang lega dan dengan gigi penggerak otomatis. Rasayanya seperti saya sedang berada di ruang kantor saja. Selain itu ternyata ongkosnya lebih irit dan flexible. 
  6. Menggunakan smartphone pada saat tour menjadi sangat penting. Bisa menelpon, membaca email, mendengarkan radio, membuat foto, merekan data, menonton tv dan tentu saja menjadi penunjuk jalan. 
Dengan keberhasilan Tour de Java 2013 ini, saya ingin menuntaskan cita-cita saya yang sudah lebih dari sepuluh tahun tertanam dihati ini untuk melakoni Tour De Sumatera bersama ayah, anak dan kakak saya. Tour ini dimulai dari Lampung dengan bersilaturahmi dengan semua keluarga, sahabat di setiap kota dan propinsi mulai dari Lampung, Sumatera Selatan, Bengkulu, Jambi, Sumbar, Riau, Sumut dan puncaknya pulang kampung ke tanah leluhur nenek moyang kami  di Lamno Aceh. Semoga Allah SWT memudahkan jalan ini... Amiin.

lngrisk.co.id



Share on Google Plus

About Taufik Arifin

0 comments: