Tour De Celebes 2012

Sungguh Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. Satu tahun lalu belum terbayangkan bahwa saya akan pernah menginjakkan kaki di bumi Palu, ibu kota Sulawesi Tengah. Tapi Allah telah mengatur semuanya dengan baik. Pertama karena atas iziNya kami mempunyai nasabah baru yang mempunyai asset di dekat pantai Talise Palu. Kedua, karena kepindahan dari Ibnu menantu pak  Irvan dari kepala perwakilan Asuransi Jasindo Dumai ke kepala Jasindo kantor perwakilan Tolitoli. Ketiga atas izinnya saya dipertemukan dengan Pebri Debok teman lama yang sudah hampir 10 tahun tidak bertemu. Padahal Pebri adalah kepala cabang asuransi Ramayana Makassar. Hari Kamis tanggal 6 September 2012 beliau terbang dari Makassar ke Palu karena wilayah ini termasuk bagian dari wilayah tugasnya. Perjalanan tugas  kali ini saya berangkat bersama dengan pak Irvan Komisaris saya. Terus terang saya tidak punya banyak teman asal Palu. Saya hanya kenal keluarga Himna Ramang teman saya waktu bekerja di Imcor Nusantara milik ibu Dewi Soekarno tahun 86 silam. Kemudian ada Taty Pasau teman kerjasa saya di IBS tahun 90an.

Pantai Talise, Palu



Kami terbang meninggalkan bandara Cengkareng Jakarta jam 6 sore kurang sedikit pada tanggal 5 September 2012. Pesawat Lion Air yang kami tumpangi terlambat berangkat selama 45 menit dari jadwal. Hari sudah mulai gelap, nyaris yang terlihat hanyalah lampu-lampu bandar Jakarta yang terang-benderang menyinari bandara. Selepas take off, setelah berbincang-bincang sebentar kemudian kami berdua tertidur. Dua setengah jam kemudian awak kabin memberitahu bahwa beberapa saat lagi pesawat akan mendarat di bandara Mutiara di kota Palu. Terdapat perbedaan satu jam antara Jakarta dan Palu. Tepat jam setengah sepuluh waktu Palu kami ke luar dari bandara. Di luar kami sudah disambut hangat oleh Ibnu dan juga dengan pak Haris salah satu staff PT Pertani cabang Palu. PT Pertani adalah tempat pak Irvan sempat mengabdikan diri sebagai Direktur selama 5 tahun. Rupanya pegawai Pertani tetap mengharmati pak Irvan yang sempat memberikan warna baru bagi perusahaan itu.  Ibnu juga baru datang dari Tolitoli sore sebelum kami sampai.
Irvan, Taufik dan Ibnu di Palu
Setelah berbincang-bincang sebentar kami langsung naik ke mobil Isuzu Panther menuju ke dalam kota ke hotel Rama tempat kami menginap. Suasana kota sudah terlihat sepi. Maklumlah Palu meskipun ibu kota propinsi tapi tingkat keramaiannya tidak terlalu tinggi. Sebagai perbandingan keramaian kota ini seperti kota Bengkulu ibu kota propinsi Bengkulu atau kota Serang ibu kota propinsi Banten. Sebelum menuju ke hotel kami diajak mampir ke sebuah restoran seafood yang masih ramai walau sudah menjelang tengah malam. Ini memang ide yang sangat bagus, kami memang sudah lapar. Apalagi pak Irvan yang baru pertama kali naik Lion Air dan baru tahu kalau di penerbangan ini tidak disediakan makanan. Menurut pak Haris, restoran ini adalah tempat berkumpulnya para politisi dan pejabat lokal untuk lobi-lobi politik. Kami memesan ikan bakar, cumi goreng, udang goreng dan sayur. Wah rasanya nikmat sekali. Sampai saya lupa dengan diet. Mendekati jam 12 malam barulah kami masuk ke kamar hotel untuk beristirahat agar besok pagi kami bisa bangun untuk melanjutkan perjalanan.
Terminal Bandara Mutiara
Selepas sarapan ala kadarnya di hotel, jam 9 pagi kami sudah meninggalkan hotel. Kami sudah dijemput kembali oleh pak Haris. Pertama kami dibawa berkunjung ke kantornya tak jauh dari hotel. Jam setengah 10 kami berangkat lagi menuju tempat keberangkatan bis travel menuju Tolitoli yang akan mengantar pak Irvan dan Ibnu. Ya, pak Irvan akan melanjutkan cruise nya ke Tolitoli berjarak sekitar 12 jam dari Palu. Setelah berpisah dengan pak Irvan saya minta di antar ke Bandara untuk menunggu sahabat saya pak Pebri yang akan terbang dari Makassar ke Palu. Ini benar-benar pertemuan yang diatur oleh Allah. Saya dan pak Pebri tidak pernah sudah lebih dari 10 tahun. Saya di Jakarta sementara pak Pebri di Makassar, karena “Kun Fa Yakun” kata Allah, maka jadilah kami bertemu di Palu.
Setelah 1 jam menunggu, muncullah pak Pebri di pintu kedatangan bandara bersama satu orang staffnya. Saya kira dia lupa dengan saya, saya pura-pura tidak melihatnya.  Tapi tiba-tiba dia tersenyum dan kamipun berangkulan. “Urang Padang, reuni di Palu” kata saya. Dia tertawa terbahak- bahak. Ya Pebri memang orang minang asal Painan. Kami pertama kali bertemu di Pekanbaru tahun 2001 silam ketika ia menjadi kepala cabang Ramayana. Setelah itu kami sempat beberapa kali bertemu. 
Pebri Debok - duduk
Setelah berbincang-bincang kami langsung naik mobil Avanza, mobil dinas kepala kantor Ramayana di Palu. Langkah, pertama saya minta diantar ke Talise sekitar 10 km dari bandara. Saya langsung mengadakan survey dan wanwancara sementara pak Pebri dan rombongan menunggu. Sekitar 15 menit saya sudah selesai. Waktu sudah menunjukkan jam 12 siang, saatnya untuk mengisi perut. “Mau makan nasi padang, disini banyak warung padang” kata pak Pebri menawarkan. “Wah jauh-jauh ke Palu jangan makan padang lagi, makanan khas Palu saja” jawab saya. Kemudian kami mengarah ke timur kemudian berbelok ke kiri ke tepi pantai Nelayan. Kami berhenti di sebuah restoran seafood yang besar. Suasananya khas Palu. Kami memesan ikan bakar, sayur dan kelapa muda. Makan saya begitu lezat menikmati ikan bakar sambil memandang ke laut dan perbukitan tinggi di seberangnya. Suasana ini tidak akan ada di tempat lain. Mungkin hanya mirip dengan suasana di pantai Kuta di Lombok. 
Restoran di Pantai Nelayan, Palu
Special Menu

Selepas makan siang saya minta diantar kembali ke bandara karena jam 3 sore saya sudah harus terbang ke Makassar. Saya diantar mengelilingi kota Palu oleh Egar staff perwakilan asuransi Ramayana di Palu. Ketika asik bercerita, saya dengan Pebri sesekali kami menggunakan bahasa minang. Eh tiba-tiba si Egar menimpali dengan bahasa Minang. “Awak urang minang pulo, ibu awak asli Koto Gadang, ayah urang Makassar, 2 tahun lalu awak lai pulang ka Koto Gadang” katanya.Wah ini luar biasa, ditempat yang jaraknya hampir 3,000 km dari ranah minang ada 3 orang minang berkumpul dalam 1 mobil secara kebetulan. “Di kota Palu ini sekitar 35% penduduknya orang minang, lihat saja betapa banyaknya restoran minang disini” lanjutnya sambil menunjuk ke beberapa restoran padang, pertokoan dan hotel milik orang minang yang kami lewati. Bahkan di Palu ada cabang restoran Sederhana (asli) dari Jakarta. Antara percaya dan tidak saya dengan informasi yang disampaikan si Egar. “Kalau bapak tidak percaya saya ajak bapak mampir ke rumah gadang tempat pertemuan warga minang di Palu” imbuhnya meyakinkan saya. Setelah melihat gedung pertemuan berupa banguna Rumah Gadang khas Minang baru saya semakin yakin dengan informasi si Egar. Masih menurut Egar, banyak penjabat kota palu adalah orang minang. Orang minang juga termasuk pembayar pajak terbesar disana, wallahu alam.
Sederhana Restoran, Padang di Palu
Jembatan, Icon kota Palu

Hampir saja saya ketinggalan pesawat. Saya sampai hanya beberapa menit sebelum check in ditutup. Saya bergegas memasuki ruang tunggu bandara Mutiara yang sudah terlihat sangat usang. Tidak banyak lagi bandara di negeri ini yang kondisinya seperti ini. Hanya bangku tempat duduknya saja yang lumayan bagus, sementara fasilitas lain sudah kuno dan rusak. Tapi ini hanya untuk sementara waktu saja. Saat ini sudah berdiri bangunan terminal bandara yang baru yang lebih besar lebih bangus di depan bangunan ini. Kondisinya sudah 75% selesai. Mungikin awal tahun depan sudah bisa digunakan. Modelnya bagus, mirip dengan terminal Sutan Syarif Kasim (SSK) Pakanbaru yang juga baru selesai. 

Teluk Palu dari udara

Pesawat Lion Air kali ini terbanganya tepat waktu. Jam 15.00 pesawat sudah mulai begerak menuju landasan pacu untuk terbang ke arah selatan. Pada saat pesawat membubung ke udara di sore hari nan cerah itu, saya beruntung bisa memandangi keindahan alam kota Palu. Terletak di sebuah teluk yang dipagari oleh perbukitan tinggi yang mirip gunung melingkar dari selatan, timur dan utara. Teluk berwarna biru dan perbukitan hijau kebiru-biruan dengan ombak kecil-kecil mengejar pantai. Pemukiman penduduk berada disepanjang pinggir pantai. Terlihat jembatan ….. salah icon kota Palu.
Setelah terbang menelusuri bagian barat dari pulau Sulawesi sekitar yang empat sore pesawat saya sudah mendekati bandara Sultan Hasanuddin di Maros sebelah barat kota Makassar. Dari atas terlihat sebagian besar daratan bumi Sulawesi Selatan begitu gersang. Tidak tampak areal pesawahan yang biasanya berwarna hijau dan kuning emas. 

Begitu keluar dari pesawat hp saya berdering, ada telepon masuk dari Nandar Kepala Pemasaran Asuransi Ramayana Makassar. “pak Taufik saya Nandar dari Ramayana, saya sudah di luar menunggu bapak” katanya. Setelah menjawab telepon saya minta waktu sebentar untuk sholat ashar. Saya sholat di mushola Bandara di ground floor di bawah ruang tunggu keberangkatan. Saya sudah sering sholat di sini. Tempatnya rapi dan bersih walau tidak terlalu besar. Jam setengah lima sore saya dan Nandar berserta salah seorang staff pak Pebri meninggalkan bandara menuju hotel di daerah pantai Losari. Kndaraan yang saya tumpangi adalah kendaraan dinasnya pak Pebri, Toyota Altis yang bagus dan nyaman. Perjalanan keluar kawasan bandara cukup macet, tak banyak beda dengan di Cengkareng Jakarta. Kami menghabiskian waktu sekitar 20 menit sebelum kami mencapai pintu tol Bosowa menuju ke kawasan Losasri. Setelah magrib barulah kami sampai di hotel Makassar Golden. Hotel dengan gaya cottage berada di atas laut dengan suasana Bali. Lengkap dengan payung dan kain kotak-kota yang terikat di beberapa tiang dan pohon. Setelah saya turun dari kendaraan, Nandar memberi tahu saya. “Bapak istirahat dulu, saya ke kantor sebentar sholat magrib nanti jam 8 saya datang kembali, kita cari makan malam” katanya. Wow, sebuah tawarwan yang tidak ingin saya tolak. Di samping karena perut memang sudah mulai berontak tapi saya juga sudah tak sabar menikmati hidangan khas Losari yaitu ikan bakar dengan berbagai jenis ikan dan citra-rasa. 
Teluk Makassar di Pagi Hari
Selepas sholat magrib saya ke luar hotel sebentar untuk membeli oleh-oleh. Ada toko oleh-oleh khas Makassar dan Bugis tepat di depan hotel. Setelah memilih-milih akhirnya saya belanja untuk di rumah dan kantor. Oleh penjual langsung dibungkus dengan kardus, diikat dengan rapi sehingga begitu mudah untuk dibawa. Sebuah pelayanan dengan member nilai tambah yang memudahkan konsumen. Ini perlu dicontoh.
Sesuai rencana, jam 8 malam Nandar kembali datang bersama salah seorang teman. Kami langsung menuju ke salah satu restoran seafood terbaik di Makassar Restoran Bahari di kawasan Losari. Saya memesan ikan kerapu bakar dengan bumbu rica-rica yang pedas..hm.hm. 

Jam 10 malam saya sudah berada di kamar hotel, sholat isya dan langsung tidur karena besok perjuangan masih harus dilanjutkan. Sesuai rencana besok saya akan dijemput kembali oleh Nandar jam 8.30 untuk berangkat ke Talassa di Takalar sekitar 75 km di luar kota Makassar. Kami harus sampai disana sekitar 10 agar survey selesai sebelum waktu sholat jumat.
Seperti biasa jam 5 kurang saya sudah bangun. Selesai sholat shubuh saya coba berjalan-jalan ke sekitar hotel. Suasana yang baru yang jarang saya nikmati. Suasana kehidupan di tepi pantai. Air laut teluk Makassar yang begitu teduh dengan riak yang kecil di pagi yang masih terlihat gelap. Namun kehidupan sudah dimulai. Ada beberapa peruahu kecil yang berlayar hiir mudik. Ada kesibukan di dermaga kecil. Ada pedagang yang menunggu perahu. Ada anak-anak sekolah dengan seragam turun dari perahu. Sementera di ufuk timur temaran cahaya mentari berwarna jingga pertanda sebentar lagi dia akan muncul menerangi bumi Makassar. Saya begitu terpesona dengan kesyahduan pagi di sini. Begitu tenang, dengan hamparan laut luas, angin sejuk berembus lembut, suara gemericik air laut yang menerpa dinding hotel. Saya sungguh berharap satu saat saya akan kembali ke sini bersama keluarga.

Setelah menikmati sarapan di restoran yang terletak di atas kapal. Rangka kapal bekas yang sudah dirobah seperti hotel terapung. Sarapannya cukup lengkap. Seperti biasa saya mencari menu kesukaan saya. Coco crunch dengan susu dan sereal sebagai pembuka. Makanan ini selalu menjadi top mind saya setiap menginap di hotel berbintang. Kebiasan ini berawal ketika saya pertama kali menginap di hotel berbintang di Perth Australia 20 tahun lalu.
Kehidupan pagi di Teluk Makassar, Teduh dan bersahaja
Selepas kerkemas dan mengurus check out di front office dan ketika saya ingin membayar sewa kamar tiba-tiba sang kasir mengatakan “pak, kamar sudah dibayarkan oleh pak Pebri”. Waduh, ternyata pak Pebri ikut pula membayarkan hotel saya. Sungguh satu kemudahan dan kehormatan yang diberikan oleh pak Pebri kepada saya. Sudah diantar-jemput dan ditraktir di Palu, di sambut di bandara di Makasaar, ditraktir makan malam eh sekarang hotel dibayarkan pula. Sebentar lagi staff, sopir dan mobilnya akan mengantar saya ke Talassa di Takalar. Subhannallah, sungguh begitu besar jasa dan perhatian sahabat saya ini kepada saya. Semoga Allah membalas dengan yang lebih banyak dan saya berharap satu saat saya juga dapat membalas kebaikanya. Amin.

Sekitar jam 10 sampailah kami di Talassa. Ini adalah kunjungan saya yang kelima kali dalam 2 tahun ini. Begitu sampai klien saya begitu agar terkejut melihat saya datang dengan mobil bagus. Selama ini saya naik mobil rental yang saya pesan di Bandara. “Wah pak, sekarang sudah buka cabang di Makassar ya” katanya setelah kami bertemu di ruang kantornya.
Setelah mengadakan interview dan survey lokasi di dua pembangkit listrik dengan total kapasitas terpasang hampir 200 MW. Jam 11.15 saya sudah meninggalkan lokasi untuk bergegas menunaikan sholat jumat di kota Takalar sekitar 30 menit dari lokasi. Kami sholat jumat di mesjik jamik, mesjid terbesar di Takalar. Suasana sholat dan tatacaranya tak beda dengan yang dilaksanakan di Jakarta.
Hampir jam 2 siang kami sudah sampai di tengah-tengah kota Makassar. Kami mengisi perut di sebuah restoran coto Makassar yang terbaik di sini di daerah Bawakarraeng. Yah rasanya begitu lezat tak ada duanya. Saya lupa persis lokasinya. 
Mesjid Jamik, Takalar
Jam 4 sore saya sudah berada di dalam pesawat Lion Air tujuan Jakarta. Tiba-tiba hp saya bordering dan saya lihat ada nama pak Pebri. “Pak Taufik posisi ada dimana” tanya saya “ Saya sudah boarding di pesawat pak, bapak sudah mendarat yah?” kata saya. Ternyata pak Pebri baru saja mendarat dari Palu, sementara saya siap-siap untuk terbang ke Jakarta. Jadi kami tak sempat bertemu muka lagi di bandara. Kemudian dengan bercanda saya katakana “ a iko yo la sabana sero bana ko pak, apak turun awak naik, apak tibo wak pai” Dia tertawa sambil mengucapkan salam.

Perjalanan saya kali ini begitu unik dan penuh makna. Begitu terasa sekali bahwa perjalanan ini seizin Allah. Allah yang mengatur segalanya dengan sebaik-baiknya. Saya juga bersyukur bahwa saya mempunyai sahabat dan rekan yang begitu baik yang rela memberikan kemudahan dan kesenangan selama perjalanan ini. Saya begitu berterima kasih kepada bapak Jiwa Anggara (Bp. Angga) salah seorang pimpinan asuransi Ramayana di Jakarta yang telah berbaik hati mengizinkan saya menggunakan fasilitas Ramayana. Ini bukan yang pertama, akhir Juli lalu ketika saya mengadakan Tour de Sumatera (Sumut, Sumbar dan Riau). Di medan saya dilayani dengan baik oleh bapak Hermansyah kepada cabang Ramayana Medan. Saya ditraktir makan enak di restoran Sop Ikan Batam di daerah Kampung Keling. Kemudian diantar pula ke Belawan sampai kembali ke hotel. Luar biasa. “Pokoknya anywhere in Indonesia pak” kata pak Angga satu hari. Dan sudah terbukti. Saya berharap kerjasama kami dengan Ramayana akan terus berkembang dengan jauh lebih besar lagi dimasa yang akan datang.

Share on Google Plus

About Taufik Arifin

2 comments:

edi said...

sekarang pak pebri tugas dimana?

edi said...

sekarang pak pebri tugas dimana?