Ahli Asuransi Dari Desa - Langkah Awal Karir di Asuransi

Bersama dengan Bp. Indra Wijaya, CEO Financial Services Division Sinar Mas Group

Di kalangan orang asuransi ada istilah yang sering dikatakan bahwa “bekerja di industri asuransi itu adalah kecelakaan”. Hal ini  benar adanya, karena hampir tidak ada orang yang sejak mudanya bercita-cita bekerja di industri ini. Sebagian besar orang-orang yang berkarir di bidang asuransi hingga saat ini adalah “korban kecelakaan”. Mereka masuk ke industri ini tanpa sengaja, mungkin karena terjebak terutama para agen asuransi he he he. Atau hanya karena terdesak ingin segera bekerja sehingga asal melamar saja dan akhirnya diterima. Ada pula yang hanya karena ikut teman atau saudara yang telah terlebih dahulu bekerja di bidang asuransi. 

Hal itupulah yang terjadi pada saya. Saya mendarat di Jakarta pada tanggal 25 May 1983. dua minggu kemudian saya sudah berada di ruang training Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912 Rayon Menteng tepatnya di jalan HOS Cokrominoto Jakarta Pusat. Saya tak pernah membayangkan bahwa saya akan secepat itu berada di tempat itu. Jenis pekerjaan yang dulu pernah terlintas di benak saya ketika meninggalkan kampung halaman saya di Sariek Laweh, Kabupaten 50 Kota, Sumatera Barat adalah menjadi pelaut alias anak buah kapal. Saya terinspirasi dengan anak majikan pemilik tempat kos saya di Payakumbuh yang sukses menjadi pelaut setamat  STM. Setelah beberapa tahun, ketika pulangnya ia membawa duit begitu banyak hingga berhasil membangun perusahaan. Mengenai asuransi yang pernah saya dengar oleh saya sebelumnya hanyalah ketika mendengar pembicaraan orang tentang kebakaran besar yang sering melanda pasar-pasar seperti pasar ateh Bukittinggi, pasar Padang atau pasar Padang Panjang. Secara samar-samar banyak orang mengatakan  bahwa ada asuransi yang mengganti biaya akibat kebakaran itu. Itu saja yang yang pernah saya tahu tentang asuransi dulu.


Awal Juni tahun 1983 setelah dua minggu saya merasakan panasnya hawa Jakarta, saya diberitahu bahwa kantor pusat di AJB Bumiputera 1912 yang waktu itu berada di kawasan Menteng Jakarta Pusat ada lowongan untuk tenaga administrasi di bagian komputerisasi. Informasi ini diberikan oleh om Sunarto adik ipar paman saya yang bekerja disana. Tak membuang-buang waktu, saya segera membuat surat lamaran dan mengantarkannya sendiri meski saya belum tahun jalan-jalan di Jakarta. Ketika saya sampai di depan pintu kantor itu, saya dicegat petugas satpam. “Saya mau mengantarkan surat lamaran kerja” kata saya dengan penuh ketakutan. Setelah melihat surat lamaran saya, dia memberi tahu bahwa yang ada lowongan ada di lantai dasar dari gedung berlantai 10 itu. Kemudian saya diantarkannya ke dalam. Saya dipertemukan dengan seseorang. Dengan ramah dan penuh senyum orang itu menyalami saya dan mengajak saya duduk di depan mejanya. Ruang kantornya  besar bisa memuat kira-kira dua puluh orang. “Oh jadi saudara mau bekerja ya” kata orang yang berkumis tipis ini dengan tetap tersenyum. Saya begitu kikuk. Ini benar-benar pengalaman yang luar biasa bagi saya. Baru pertama kali ke Jakarta dari desa, belum tahu jalan, belum kenal siapa-siapa, belum pernah masuk gedung kantor apapun. Tapi sekarang saya berada di dalam ruangan besar, mewah dan rapi serta berhadapan dengan seseorang yang begitu ramah, berpakain rapi dan berdasi pula. Saya hanya bisa menganggukkan kepala sambil melihat ke wajah orang ini sebagai tanda setuju. “bagus, kapan anda bisa mulai bekerja” katanya sambil menyenderkan badannya di kursi. Belum sempat saya menjawab, orang itu melanjutkan kembali “minggu depan ada training selama 1 minggu, anda bisa ikut training bersama-sama yang lain”. Wah, saya begitu riangnya karena tidak menyangka bahwa ternyata begitu mudahnya mendapat pekerjaan di Jakarta. Belum ada sebulan setelah berhasil lulus SMA, eh sekarang sudah diterima bekerja. Di kantor perusahaan besar lagi. Dada saya penuh dengan rasa haru. Sepanjang jalan ke rumah saya membayangkan kehidupan baru yang luar biasa sudah menunggu saya. Saya sudah tidak sabar ingin segera memberitau keluarga terutama paman saya yang telah begitu banyak memberi dorongan dan motivasi agar saya bisa sukses hidup di Jakarta. Saya tinggal bersama keluarga paman saya Abdul Hamid Arifin adik ayah saya di daerah Kebon Kelapa, Utan Kayu Jakarta Timur berjarak kira-kira setengah jam naik bis dari kantor AJB Bumiputera di Menteng. Ketika sampai di rumah dengan penuh semangat saya beritahu paman  bahwa saya sudah diterima bekerja dan minggu depan akan mengikuti training. Beliau sangat senang, kemudian paman saya menanyakan beberapa hal dan akhirnya beliau  tahu bahwa saya salah alamat. Ternyata saya tidak sampai ke bagian komputerisasi seperti yang diarahkan oleh om Sunarto. “Kamu diterima dibagian sales” kata paman saya dengan wajah tenang. Bagi saya waktu itu tidak tahu apa bedanya antara pekerjaan sebagai sales dan bagian komputer, sama-sama bekerja juga fikir saya. Paman saya yang sudah kaya pengalaman asam-garam dunia berbisnis memberikan motivasi kepada saya. “Justru bagian sales itu yang lebih baik, nanti kamu bisa jadi orang kaya kalau kamu sukses sebagai orang sales, walau kamu tidak dapat gaji tetap" kata paman saya. Selanjutnya beliau bercerita panjang-lebar tentang kehidupan seorang salesmen yang penuh dengan perjuangan. Diperlukan mental yang kuat, kreatifitas, sikap, keberanian dan dan daya juang yang tinggi. Salah satu nasihat beliau yang masih terus tengiang-ngiang ditelinga saya hingga saat ini adalah cerita beliau tentang pengalaman seorang sales “kadangkala kamu sebagai orang sales terpaksa harus minum air keran di wastafel saking hausnya  karena kamu tidak punya uang untuk beli ari minum” kata paman saya menggambarkan betapa beratnya perjuangan yang akan saya lakoni. Kemudian beliau juga menceritakan latihan-latihan dasar para selesman di Jepang dimana mereka disuruh untuk berbicara dan berteriak sekeras-kerasnya di tengah keramaian untuk melatih keberanian dan artikulasi suara. 
Karir saya di asuransi dimulai dengan mengikuti traninig. Ada sekitar sepuluh orang yang mengikuti traninig ini. Ruanganya  berada di tengah-tengah lantai dasar. Untuk menuju kesana saya harus melalui beberapa meja dan orang-orang yang sedang bekerja. Pada hari pertama  training saya mengenakan celana warna abu-abu SMA dan baju kemeja putih lengan pendek milik ayah saya. Sementara sepatu saya masih mengenakan sepatu kats putih merek Shanghai yang biasa saya kenakan ke sekolah, itu adalah satu-satunya sepatu yang saya miliki. Diantara teman-teman saya ada Aba Bakar, Suharsono, Idris Latuconsina, Sopingi, Mansyur, Duma Sari Sara, Herdin Lase dan ada beberapa orang lain yang saya sudah lupa namanya. Aba Abu Bakar adalah pemuda asal pulau Lomlen di Flores. Suharsono asal Magetan Madiun, Idris Latuconsina asal Ambon, Mansur asal Palembang, Duma asal Batak serta Sopingi asal Madura dan Herdin asal Nias. Para pengajar adalah para Kepala Unit (KU) antara lain pak Suparno, pak Edwar Morel, pak Aswin, pak Ashari dan lain-lain. Pada hari pertama itu saya ditegor oleh pengajar karena saya cara berpakaian saya yang tidak rapi terutama karena sepatu saya harusnya sepatu kulit warna hitam. Esoknya saya datang dengan mengenakan sepatu kulit warna hitam yang saya pinjam dari kakak sepupu saya Iryadi Arifin. Tapi karena nomor sepatunya dua tingkat di bawah ukuran kaki saya, alhasil saya harus berjalan sambil menjijit kaki karena jari-jari saya saling bedempetan serta tumit saya terjepit. “Taufik, pakai sepatu adiknya ya” kata salah satu pengajar melihat saya berjalan tertatih-tatih. 
Selama satu minggu mengikuti traninig saya diajari berbagai prinsip-prinsip dasar asuransi, tujuan asuransi, sejarah Bumiputera 1912 dan hal-hal lain yang berkaitan dengan asuransi. Selama mengikuti kelas itu saya sering terusik dengan bunyi dering telepon yang silih berganti. Suara itu  hanya saya dengar di dalam film televisi. Ingin rasanya saya melihat suasananya tapi saya tidak bisa, karena dari pagi sampai sore saya harus berada di ruang training. Makan siang dan minum disediakan sehingga saya tak perlu keluar. Rasa ingin tahu tentang dering telepon terpaksa saya tahan dulu. Di hari terakhir masing-masing peserta mendapat uang lima ribu rupiah. Selanjutnya setiap bulan akan diberi uang transport lima ribu rupiah. Lima ribu rupiah pada tahun 1983 kira-kira setara dengan dua ratus lima puluh ribu sekarang. Lumayan cukup untuk ongkos bis yang waktu itu bisa lima puluh rupiah saja bagi orang yang tampangnya seperti anak sekolah.
Minggu ketiga bulan Juni tahun 1983 saya resmin menjadi Petugas Dinas Luar (PDL) Asuransi Jiwa Bersama Bumitputera 1912 (AJB 1912) Rayon Menteng, Jakarta Pusat. Ini tepat dua minggu sebelum saya berulang tahun ke sembilan belas. Saya mendapatkan kartu anggota  PDL dengan sisa pas foto saya waktu pembuatan ijazah SMA. Sebagai modal dasar untuk bekerja, ayah saya membelikan sepasang sepatu kulit warna hitam di toko Bata di pasar Bendungan Hilir. Kemudian dua buah celana panjang warna coklat dan warna krem yang dijahit di tempat penjahit milik saudara saya di kawasan Slipi. Sementara baju saya pakain baju ayah, baju sepupu saya Iryadi dan sepupu saya yang lain Rumsas Arifin.


Door to Door
“Dari pintu ke pintu ku coba tawarkan nama” itulah sepenggal syair dari lagu karya Ebiet G Ade yang terkenal pada tahun 80an. Itu pulalah pekerjaan yang saya lakukan untuk menawarkan asuransi jiwa. Belum tahu seluk-beluk Jakarta, belum kenal siapa-siapa, belum lancar berbahasa Indonesia, tidak punya pengalaman kerja dan tidak tahu apa-apa tentang asuransi. Dengan kondisi seburuk itulah saya memulai karir saya di dunia asuransi. Hasilnya tentu bisa diduga, setelah hampir enam bulan saya hanya mendapat 2 nasabah itupun karyawan dari perusahaan saudara sepupu saya.
Untuk mencari nasabah saya harus menjalankan sales door to door atau istilah sekarang disebut sebagai cold calling. Setiap pagi saya berkomunikasi dengan Agen Koordinator (AK) seorang yang merekrut agen dan bertanggung jawab kepada agen-agen baru. AK saya adalah kakanda Darlis Chan beliau adalah orang yang pertama sekali saya temui ketika saya mengantarkan surat lamaran. Orangnya bertubuh agak pendek, berbadan kecil, berkulit putih dan berkumis tipis. Usianya sekitar 24 tahun waktu itu. Orangnya gesit, dinamis dan ramah. Karena kakanda Darlis berasal dari Minang meski lahir dan besar di Lahat Sumatera Selatan, saya memanggilnya dengan panggilan uda, panggilan akrab untuk seorang kakanda. Da Darlislah mengajari saya segala ilmu yang dasar tentang pekerjaan sebagai seorang agen asuransi. Cara berpenampilan yang menarik dengan mengenakan kemeja, berdasi dan celana kerja yang rapi. Terus terang saya sangat tidak menginginkan tampil seperti itu. Saya masih ingin berpenampilan seperti anak muda biasa. Mengenakan celana jeans, baju kaos, sepatu kats dan sangat kasual. Saya berlatih mengikatkan dasi dari da Darlis.
Sebagai langkah awal saya diminta untuk membuat daftar nama-nama prospek yang akan saya datangi dan presentasikan asuransi. Saya hanya punya 10 nama orang di Jakarta yang saya kenal, itupun sebagian besar saudara-saudara saya. Untuk menambahkan daftar nama saya mendapatkannya dari buku kuning milik Telkom. Saya pilih beberapa nama yang saya kenal. Mereka adalah orang-orang terkenal pada masa itu antara lain penyanyi terkenal asal minang Elly Kasim yang waktu tinggal di daerah Cempaka Putih. Camelia Malik yang tinggal di Pondok Indah. Tak satupun dari nama-nama itu yang berhasil saya dapatkan menjadi nasabah.Bahkan bertemu pun tidak pernah.
Untuk mendapatkan nasabah, saya mau-tidak mau harus menempuh cara lain yaitu door to door. Cara yang menjadi momok bagi hampir setiap salesman pemula. Bagaimana tidak, kita harus menemui orang yang tidak kita kenal tanpa ada janji sebelumnya. “Selamat pagi pak, saya dari AJB 1912 Cabang Menteng, boleh minta waktunya sebentar?” Begitulah kata pembuka yang sering saya gunakan. Tapi untuk bisa menyampaikan kata-kata seperti itu memerlukan perjuangan berat. Saya harus berjalan kaki menulusuri jalan-jalan yang panjang di kawasan pertokoan dan perkantoran. Wilayah kerja saya adalah Jakarta Pusat dan Jakarta Selatan. Dari ujung jalan Sudirman di selatan, menelusuri jalan Thamrin, Mardeka Selatan, Harmoni, Hayan Muruk, Glodok, Pintu Besar, Kota Tua. Stasiun Beos, Berbelok ke timur ke jalan Pangeran Jayakarta. Jl Gunung Sahari, Senen Raya, Kwitang, Krawat, Menteng Raya, Cikini, Jl Sabang. Hampir seluruh jalan kecil serta gang-gang yang ada di wilayah ini sudah pernah saya jelajahi bahkan berkali-kali. Perjuangan berat bukan hanya harus berjalan di bawah terik matahari dan guyuran hujan tapi menghadapi beban mental karena di tolak dan dilecehkan oleh calon nasabah. Sering terjadi, baru saja saya melangkah memasuki tokonya, mereka sudah melambaikan tangan dan membuang muka untuk menolak kehadiran saya. Atau begitu melihat saya datang dengan tampang seorang agen asuransi mereka langsung mengabaikan dan tidak mau melayani. Sekali-sekali saya sempat juga melakukan presentasi tapi mereka tidak tertarik, mungkin karena presentasi saya yang tidak jelas. Apalagi bahasa saya sering tercampur antara bahasa Indonesia dengan bahasa Minang. Mungkin karena sering didatangi oleh agen asuransi ada yang memasang tulisan di depan toko mereka “tidak menerima peminta sumbangan dan agen asuransi”. Luar biasa.

Kisah Jalan Pangerang Jayakarta
Dari sekian pengalaman pahit sebagai agen asuransi pemula saya mempunyai pengalaman yang sangat berkesan dan tak terlupakan hingga saat ini. Kisah ini sudah lama saya janjikan akan saya tulis dan kirimkan kepada sahabat saya serperjuangan mas Harsono.
Seperti biasa sekitar jam 9 pagi kami para PDL sudah berangkat meninggalkan markas kami di kawasan Menteng. Masing-masing pergi menuju ke tempat sasaran yang sudah ditentukan. Saya dan mas Harsono memutuskan untuk berjalan kaki  ke jalan Thamrin melalui jalan Sutan Shahrir, jarak-jaraknya kira-kira 700 m. Saya merasa nyaman berjalan bersama dengan mas Harsono karena dia lebih pede dan gigih. Kalau saya berjalan sendirian maka saya sering takut dan melewati begitu saja toko-toko. Beda dengan mas Harsono, dia konsisten. Setiap ada pintu toko yang terbuka dia pasti masuk dan menawarkan. Mas Harsono tipikal orang Jawa yang ramah dan rendah hati. Yang paling istimewa dari dirinya adalah bibirnya yang selalu tersenyum.
Setelah sampai di Wisma Nusantara persis di depan Bundaran Hotel Indonesia, kami berhenti sebentar untuk memantapkan jadwal kerja kami hari itu. Akhirnya kami putuskan bahwa kami akan berjalan kaki saja ke daerah kota tua berjarak kira-kira 10 km karena ongkos kami sangat terbatas dan tidak cukup untuk sewa bis. Setelah mampir di gedung Citibank dimana ada salah satu prospek mas Harsono yang kami follow up. Perjalanan kami lanjutkan melewati jalan Thamrin arah ke utara sampai memasuki jalan Merdeka Barat. Dari situ kami langsung menuju kawasan Harmoni. Kira-kira jam sebelas siang kami sudah memasuki kawasan jalan Gajahmada tempat begitu banyak toko-toko besar milik toke keturunan Cina. Kamipun mulai beraksi dengan keluar-masuk toko. Sekitar jam 12.00 kami sudah sampai di kawasan Glodok tanpa ada satupun hasil. Panas mentari begitu menyengat hari itu. Perut kami sudah mulai keroncongan minta untuk segera diisi. Tapi mau diisi dengan apa? Hari itu kami tak punya uang cukup. Itulah alasan kami tadi memilih berjalan kaki  dari kantor tadi pagi. Untuk menahan rasa lapar kami hanya membeli sebuah goreng singkong untuk masing-masing. Setelah beristirahat sebentar perjuangan kami lanjutkan kembali. Dari Glodok kami terus memasuki jalan Kali Besar, jalan Cengkeh sambil terus beraksi keluar masuk toko dan kantor. Waktu di kawasan Kota Tua masih banyak kantor perusahaan dan toko-toko peralatan dan mesin. Kaki saya sudah mulai terasa lemas, telapak kaki dan jari-jari saya sudah terasa ngilu dan bau. Perjalanan terus kami lanjutkan menuju kantor BNI dekat Stasiun Beos tempat salah satu prospek mas Harsono berkantor. Hasilnya juga nihil. Perjalanan kami lanjutkan menuju jalan Pangeran Jayakarta. Hari sudah semakin siang ketika kami berjalan di depan gereja tua Portugis. Sinar matahari terus membakar membuat kerongkongan kami terasa begitu kering. Di tengah-tengah jalan Pangeran Jayakarta selepas perlintasan rel kereta api kami benar-benar kehausan sehingga kami terpaksa membelanjakan uang kami yang tersisa yang kami rencanakan untuk ongkos pulang. Uang itupun hanya cukup untuk membeli sebotol tehbotol. Kami minum secara bergantian. Lumayan cukup untuk membasahai kerongkongan. Karena uang kami sudah habis, kami harus memutar otak untuk mendapatkan ongkos pulang ke rumah masing-masing. Solusinya kami harus segera kembali ke kantor kami di Menteng untuk bisa bertemu dengan pimpinan kami para AK dan KU atau siapapun yang bisa memberi kami ongkos untuk pulang. Ingat ini kejadian 30 tahun lalu. Ketika sarana telekomunikasi belum secanggih sekarang. Tidak bisa telepon apa lagi sms. Siang itu kami tidak lagi melakukan prospek door to door. Kami langsung berjalan kaki  ke Menteng berjarak kira-kira 6 km dari jalan Pangeran Jayakarta. Menulusuri kawasan Mangga Besar, Krekot, Pecenongan, Gambir, Mardeka Selatan dan jalan Sabang. Akhirnya kami sampai jua di kantor  jam 4 lewat. Ah ternyata para AK dan KU kami sudah pada pulang semua. Pupuslah harapan kami untuk mendapatkan pinjaman uang. Bukan itu saja, kami tadinya juga berharap agar bisa mendapatkan sedikit makanan untuk menambah isi perut yang tadi hanya diisi sepotong goreng singkong. Nah, kalau kami ingin mendapatkan ongkos berarti kami harus berjalan kaki lagi ke rumah pak Edwar Morel, KU kami yang tinggal di kawasan Setia Budi berjarak kira-kira 3 km dari Menteng. Kami tidak punya pilihan. Dengan tenaga yang tersisa kami lanjutkan perjalanan kami dengan kaki yang sudah sangat berat itu ke rumah pak Edwar. Alhamdulilah beliau ada di rumah dan mau memberikan ongkos kepada kami untuk pulang dan sekaligus untuk makan dan minum pelegas dahaga. 
Setiap kali saya bertemu mas Harsono, kisah ini selalu menjadi cerita menarik. Mas Harsono kini sudah menjadi seorang pengusaha property yang sukses. Dia mempunyai perusahaan agen property yang mempunyai beberapa kantor cabang di Jakarta dan Tangerang. Selain itu mas Harsono juga menjadi developer dengan membangun beberapa kawasan perumahan, pertokoan dan bahkan apartemen. Rumahnya di di Podok Indah, kawasan elit di Jakarta Selatan. Meski sudah sangat sukses, mas Harsono masih seperti yang dulu. Ramah, rendah hati dan  tentu selalu dengan senyuman khasnya. Pengalaman menjadi agen asuransi telah menjadi bekal yang tidak ternilai harganya. Dari sinilah mas Harsono mengerti cara berbisnis, melakukan prospek, bergaul dengan banyak orang.

Kalau anda yang menjadi Agen Koordinator saya pada saat saya memulai menjadi agen 30 tahun lalu, saya sangat yakin bahwa anda pasti tidak akan mau menerima saya. Ya, karena tampang saya begitu culun, masih kecil, tak tahu apa-apa dan ndeso pula lagi. Tapi tidak demikian halnya dengan da Darlis Chan, beliau begitu memperhatikan saya dan manaruh harapan pada saya. Atau barangkali karena beliau kasihan melihat saya. Karena seharusnya orang seusia saya duduk manis di bangku kuliah dan bercengkarama dengan sesama teman mahasiswa. Da Darlis dengan penuh perhatian mau membimbing saya. Mengajarkan saya menelusuri jalan-jalan di Jakarta. Belajar bertemu dengan calon nasabah, melakukan presentasi. Beliau pula yang mengajari saya naik lift untuk pertama kalinya di gedung Pertamina pusat ketika saya menemani beliau menemui prospeknya disana.
Di minggu ketiga setelah saya menjadi agen, saya curhat dengan da Darlis mengenai kondisi tempat tinggal saya. Bukan saya tidak betah tinggal bersama dengan keluarga paman saya, tapi karena saya menyadari bahwa kehadiran saya membuat beban keluarga beliau menjadi bertambah berat. Beliau tinggal  dengan lima orang adik-adik sepupu saya. Bisnis paman saya sedang tidak bagus waktu itu. Selain itu di rumah itu tinggal pula ayah dan kakak saya sehingga di rumah itu ada delapan. Sebagai alternatif saya pernah ingin tinggal bersama dengan saudara supupu ayah saya yang perempuan yang tinggal di kawasan Bendungan Hilir. Tapi beliau keberatan kalau saya tinggal bersama beliau. Ketika saya ceritakan hal ini, da Darlis sangat terharu dan akhirnya mengajak saya tinggal bersama keluarganya. Mereka tinggal di kawasan Kebon Melati, Tanah Abang. Da Darlis tinggal bersama isterinya yang sedang hamil di sebuah rumah kontrakan yang sangat kecil. Kontrakannya terdiri dari  satu ruangan saja. Tempat tidur dan dapur dalam satu ruangan. Sementara kamar mandi berada di luar dan dipakai bersama-sama dengan penghuni yang lain. Tidak ada peralatan eletronik dan lain-lain. Yang ada hanya sebuah tempat tidur dan piring-piring, panci dan keranjang baju. Ketika malam tiba da Darlis tidur bersama isterinya di atas dipan sementera saya tidur di lantai di bawahnya. Saya sempat beberapa hari tinggal bersama mereka sebelum akhirnya saya putuskan untuk kembali tinggal ke rumah paman saya. Ini setelah saya mengalami pingsan di dalam bis kota di daerah Tanjung Priok sepulang saya melakuan prospek di daerah kawasan itu. Saya pingsan karena sudah beberapa hari saya kurang makan, mungkin saya kurang gizi.

Cita-cita
Setelah hampir enam bulan menjalani profesi sebagai agen saya mulai putus asa. Begitu banyak penolakan dan kegagalan yang saya rasakan. Tapi di lain pihak saya mulai menikmati peran saya sebagai seorang agen asuransi. Saya sudah mulai terbiasa dengan penampilan yang rapi, gaya bicara yang educated, pergaulan dengan teman-teman sesama agen dan para leader. Saya juga sudah mulai mempunyai beberapa kenalan yang membuat saya punya harapan. Tapi satu hal yang membuat saya ingin terus bertahan adalah cita-cita. Sebagai agen kami diajarkan agar mempunyai cita-cita yang ingin diraih jika berhasil mendapatkan nasabah. Salah satu cita-cita saya adalah ingin memiliki sepeda motor Vespa seperti yang dimiliki oleh KU saya pak Edwar Morel. Wah, beliau terlihat begitu gagah dengan vespanya itu.
Meski sudah saya coba untuk bertahan lebih lama tapi karena penghasilan saya dari komisi inkaso tidak mencukupi sementara saya tidak mau terus-menerus membebani keluarga paman saya, saya mulai mencari pekerjaan lain. Saya ingin pekerjaan yang langsung ada uangnya berupa gaji. Akhirnya saya melamar di perusahaan sepupu saya yang bergerak di bidang interior, design dan furniture. Sepupu saya sebenarnya keberatan kalau saya bekerja di perusahaannya. Setelah mendengarkan  beberapa wejangan akhirnya saya diterima juga bekerja di bengkelnya di daerah Ciputat. Awalnya saya kira saya  akan dipekerjakan dibagian administrasi atau kantor. Tapi saya keliru, saya ternyata ditempatkan di bengkel. Tugas saya menjadi tukang amplas, tukang politur, pemasangan meja kursi. Kadang saya juga ikut mengantarkan perabot naik mobil pick up bak terbuka ke kantor-kantor. Ini kontras benar dengan pekerjaan saya sebelumnya sebagai agen. Sebagai agen saya datang ke kantor-kantor mengenkan pakaian rapi dan berdasi. Kini saya datang mengenakan pakaian kotor dan kumal sambil mengangkat perabotan. Kalau sebagai agen saya diperlukan dengan santun. Sebagai tukang antar barang saya diperlakukan sebagai seorang abang-abang. “mas tolong mejanya ditarok di pojok sana” kata orang kantor sambil menunjuk-nunjuk. Saya sedih. Saya rindu perlakuan orang kepada saya ketika menjadi agen asuransi. Saya sekarang merasakan bedanya antara bekerja berdasarkan cita-cita sendiri dengan bekerja atas perintah orang lain. Jauh lebih menyenangkan menjadi agen yang meski ditolak oleh calon nasabah tapi mempunyai kebebasan untuk mengejar cita-cita sendiri. 

lngrisk.co.id
Share on Google Plus

About Taufik Arifin

0 comments: