Setelah hampir 1 tahun tidak pulang ke Padang, Alhamdullilah dari tanggal 3 sampai dengan 5 November 2009 lalu akhirnya sampai jualah saya di sana. Sebenarnya sejak terjadinya gempa besar berskala 7,6 skala richter yang mengguncang kota Padang pada tanggal 30 September 2009 lalu rasanya saya ingin sekali terbang ke sana untuk bertemu kedua orang tua saya yang tinggal di Wisma Indah 5 Tabing. Hati ini rasanya cemas sekali membayangkan kondisi kedua orang tua kami yang sudah lanjut usia menghadapi musibah yang sedahsyat itu. Tapi syukurnya papa dan mama kami baik-baik saja. Hanya lantai rumah yang sedikit agak retak yang itu juga menyebabkan kaki papa terluka parah karena menginjaknya di malam hari yang gelap karena listrik padam.
Kami bersyukur meskipun kami tidak bisa pulang menjenguk papa dan mama di saat-saat musibah itu tapi kami tetap bisa menghubungi mereka melalui telepon rumah. Kami dapat mengikuti kondisi mereka dari jam ke jam. “Listrik padam, air pam juga mati, yang susah air minum karena air bak tidak bisa diminum, untunglah ada tetangga yang punya warung aqua yang setiap sore membawakan kami satu gallon air minum” kata mereka saat itu. Dengan cara seperti itulah mereka bertahan selama masa darurat itu. Mereka tidak bisa mendapatkan kebutuhan mereka dari warung ataupun pergi ke pasar karena semua orang panik dan kehidupan belum normal. Tapi syukur Alhamdullilah keadaan kritis ini dapat mereka lalui dengan selamat hingga akhirnya listrik kembali menyala di hari ke 4 sementara air mulai menetes kembali melalui pipa pam.
Ketika saya sampai di Padang sekitar jam 8 malam, saya perhatikan bangunan sepanjang jalan dari bandara ke Tabing, saya tidak melihat banyak kerusakan yang terjadi, mungkin karena gelap. Besoknya saya berjalan menuju pusat kota melalui Jl. Khatib Sulaiman dari sanalah saya mulai melihat banyak gedung-gedung yang remuk, miring, compang-camping, tiarap ataupun yang tertidur. Melihat kondisi seperti itu hati ini mulai miris dan membayangkan bagaimana rasanya mereka-mereka yang pernah terperangkap di dalam gedung –gedung ini.
Salah satu tujuan saya ke Padang kali ini adalah untuk mengadakan survey property milik klien saya yang mengalami kerusakan akibat gempa. Pertama, rumah tinggal mewah terletak di Alai, Jati dan yang kedua sebuah ruko yang terletak di jalan Thamrin. Kedua-keduanya dalam kondisi rusak berat atau istilah asuransinya total loss.
Saya juga sempat mendatangi kantor Tim Building Assessment dari Universitas Andalah Padang yang ditunjuk oleh pemerintah sebagai lembaga independent yang mengevaluasi kondisi gedung/banguan pasca gempa apakah masih layak huni atau tidak. Dari informasi yang saya dapatkan bahwa ada 4 kriteria gedung-gedung yang rusak akibat gempa kemarin ini;
Gedung Tua yang kondisnya memang sudah rapuh
Gedung yang dibangun secara massal atau kodian yang tidak memenuhi standard
Gedung dan rumah yang dibangun tambal sulam dan dikembangkan tanpa rancangan yang baik
Gedung-gedung pemerintah!
Khusus yang nomor 4 ini sungguh sangat ironis, bukankah seharusnya gedung ini kuat dan tahan gempa karena dibangun dengan dana yang cukup, rancangan yang baik serta dengan kwalitas bangunan yang kokoh. Yang paling ironisi adalah gedung kantor Dinas Pekerjaan Umum yang teronggok bak kerbau tidur. Bukankah orang PU adalah ahlinya bangunan? Tapi kenapa gedung sendiri justru rapuh seperti itu. Belum lagi gedung milik PEMDA. Menurut rekan saya kepala cabang perusahaan asuransi di Padang, klaim asuransi terbesar yang dialami oleh perusahaan asuransi adalah yang menjamin asset milik Pemda.
Kejadian ini mungkin membuktikan sinyalemen selama ini bahwa sering kali terjadi penyelewengan anggaran, pembelian bahan, nilai proyek serta banyaknya orang yang “makan semen”, “menelan besi” atau apapun istilah negative lainnya untuk para penyeleweng di proyek-proyek pemerintah. Akibatnya ya seperti ini, gedung-gedung pemerintah ambruk sementara di sebelahnya gedung swasta dan milik pribadi berdiri gagah walau diguncang dengan gempa yang sama dahsyatnya.
Saya lihat setelah lebih dari 1 bulan terjadinya gempa dahsyat itu, kehidupan kota Padang sudah berjalan normal, tidak ada terlihat trauma penduduk atas gempa itu. Bahkan banyak diantara mereka yang meneruskan kegiatan usaha mereka di gedung-gedung mereka yang miring ataupun yang setengah roboh tanpa khawatir akan terjadinya gempa lagi. Demikian juga dengan tetangga orang tua kami, sikap mereka biasa-biasa saja bahkan pada saat gempa merekapun tidak panik dan tidak meninggalkan rumah karena takut akan terjadinya tsunami karena komplek mereka hanya berjarak 500 m dari pinggir pantai. Kalau boleh menggunakan isitilah orang asing, “business as usual” di Padang. Ya, semoga demikian seterusnya dan tidak ada lagi gempa susulan, amin.
Kami bersyukur meskipun kami tidak bisa pulang menjenguk papa dan mama di saat-saat musibah itu tapi kami tetap bisa menghubungi mereka melalui telepon rumah. Kami dapat mengikuti kondisi mereka dari jam ke jam. “Listrik padam, air pam juga mati, yang susah air minum karena air bak tidak bisa diminum, untunglah ada tetangga yang punya warung aqua yang setiap sore membawakan kami satu gallon air minum” kata mereka saat itu. Dengan cara seperti itulah mereka bertahan selama masa darurat itu. Mereka tidak bisa mendapatkan kebutuhan mereka dari warung ataupun pergi ke pasar karena semua orang panik dan kehidupan belum normal. Tapi syukur Alhamdullilah keadaan kritis ini dapat mereka lalui dengan selamat hingga akhirnya listrik kembali menyala di hari ke 4 sementara air mulai menetes kembali melalui pipa pam.
Ketika saya sampai di Padang sekitar jam 8 malam, saya perhatikan bangunan sepanjang jalan dari bandara ke Tabing, saya tidak melihat banyak kerusakan yang terjadi, mungkin karena gelap. Besoknya saya berjalan menuju pusat kota melalui Jl. Khatib Sulaiman dari sanalah saya mulai melihat banyak gedung-gedung yang remuk, miring, compang-camping, tiarap ataupun yang tertidur. Melihat kondisi seperti itu hati ini mulai miris dan membayangkan bagaimana rasanya mereka-mereka yang pernah terperangkap di dalam gedung –gedung ini.
Salah satu tujuan saya ke Padang kali ini adalah untuk mengadakan survey property milik klien saya yang mengalami kerusakan akibat gempa. Pertama, rumah tinggal mewah terletak di Alai, Jati dan yang kedua sebuah ruko yang terletak di jalan Thamrin. Kedua-keduanya dalam kondisi rusak berat atau istilah asuransinya total loss.
Saya juga sempat mendatangi kantor Tim Building Assessment dari Universitas Andalah Padang yang ditunjuk oleh pemerintah sebagai lembaga independent yang mengevaluasi kondisi gedung/banguan pasca gempa apakah masih layak huni atau tidak. Dari informasi yang saya dapatkan bahwa ada 4 kriteria gedung-gedung yang rusak akibat gempa kemarin ini;
Gedung Tua yang kondisnya memang sudah rapuh
Gedung yang dibangun secara massal atau kodian yang tidak memenuhi standard
Gedung dan rumah yang dibangun tambal sulam dan dikembangkan tanpa rancangan yang baik
Gedung-gedung pemerintah!
Khusus yang nomor 4 ini sungguh sangat ironis, bukankah seharusnya gedung ini kuat dan tahan gempa karena dibangun dengan dana yang cukup, rancangan yang baik serta dengan kwalitas bangunan yang kokoh. Yang paling ironisi adalah gedung kantor Dinas Pekerjaan Umum yang teronggok bak kerbau tidur. Bukankah orang PU adalah ahlinya bangunan? Tapi kenapa gedung sendiri justru rapuh seperti itu. Belum lagi gedung milik PEMDA. Menurut rekan saya kepala cabang perusahaan asuransi di Padang, klaim asuransi terbesar yang dialami oleh perusahaan asuransi adalah yang menjamin asset milik Pemda.
Kejadian ini mungkin membuktikan sinyalemen selama ini bahwa sering kali terjadi penyelewengan anggaran, pembelian bahan, nilai proyek serta banyaknya orang yang “makan semen”, “menelan besi” atau apapun istilah negative lainnya untuk para penyeleweng di proyek-proyek pemerintah. Akibatnya ya seperti ini, gedung-gedung pemerintah ambruk sementara di sebelahnya gedung swasta dan milik pribadi berdiri gagah walau diguncang dengan gempa yang sama dahsyatnya.
Saya lihat setelah lebih dari 1 bulan terjadinya gempa dahsyat itu, kehidupan kota Padang sudah berjalan normal, tidak ada terlihat trauma penduduk atas gempa itu. Bahkan banyak diantara mereka yang meneruskan kegiatan usaha mereka di gedung-gedung mereka yang miring ataupun yang setengah roboh tanpa khawatir akan terjadinya gempa lagi. Demikian juga dengan tetangga orang tua kami, sikap mereka biasa-biasa saja bahkan pada saat gempa merekapun tidak panik dan tidak meninggalkan rumah karena takut akan terjadinya tsunami karena komplek mereka hanya berjarak 500 m dari pinggir pantai. Kalau boleh menggunakan isitilah orang asing, “business as usual” di Padang. Ya, semoga demikian seterusnya dan tidak ada lagi gempa susulan, amin.
0 comments:
Post a Comment