Fikiran melayang-layang. Berdiri tapi
tidak menginjak bumi. Tidur tapi tidak lelap. Berbicara dengan orang tapi
fikiran terbang entah kemana. Tidak
boleh marah, tidak bisa protes karena itu kenyataan yang tidak bisa dibantah
lagi. Mengeluh, marah dan mengamuk juga tidak bisa. Karena itu adalah takdir yang
nyata. Sudah suratan nasib. Hal itu harus dilalui tanpa menyalahkan orang lain. Bisul
tumbuh di kepala, mungkin empat atau lima biji yang terasa begitu ngilu. Itulah
derita yang berkecamuk dalam diri saya selepas menerima kenyataan bahwa saya
ditendang dari perusahaan yang saya dirikan dari nol dengan susah payah. Saya hanya bisa berharap untuk menerima gaji
terakhir saya di bulan Agustus 2006. Bodohnya saya, sebenarnya saya masih punya
hak minimal 1 bulan gaji untuk mendapatkan hak kompensasi saya karena saya sudah bekerja
lebih dari satu tahun. Tapi saya lupa untuk menuntut hak saya itu. Dan tentu
saja mereka tidak akan pernah memberikan hak saya itu jika saya tidak meminta.
Di hari pertama hidup tanpa pegangan itu saya
menghadiri undangan sunatan anak tetangga. Acara pestanya begitu ramai. Canda
dan tawa antara tatangga dan kerabat tampak begitu meriah. Saya, meskipun ikut
tertawa tapi di dalam hati saya terasa begitu ciut. Tak tahu apa harus saya perbuat. Jika anda
seorang wanita dan seorang isteri anda pasti bisa merasakan perasaan isteri saya.
Menghadapi kenyataan bahwa suami sebagai satu-satunya sumber penghasilan
keluarga tiba-tiba kehilangan pendapatan alias kena PHK. Tidak ada tabungan,
tidak ada saudara dan tidak ada siapa-siapa yang bisa diharapkan untuk
menolong. Tabungan kami sudah kami tanamkan semuanya di perusahaan itu. Kami selama ini selalu memposisikan diri sebagai "Tangan Diatas". Kami
tidak pernah mengharapkan uluran tangan dari orang-orang terdekat kami jika
kami memerlukan sesuatu. Kami selalu berusaha sendiri dan Alhamdulillah selama ini
kami selau bisa menemukan jalan keluarnya. Bukan berarti kami sombong tapi karena kami
memahami kondisi mereka. Sementara kami mempunyai banyak alternative yang bisa
kami usahakan. “Pa, sebaiknya papa kerja lagi seperti dulu” kata isteri saya.
Saya iyakan permintaan isteri saya itu walau di dalam hati saya menolak. Sudah
sepuluh tahun saya menikmati kebebasan hidup sebagai seorang business owner.
Tapi apa boleh buat jika hal itu bisa menjadi solusi bagi saya dan keluarga,
saya akan lakukan. Saya mulai mendekati beberapa rekan dan sahabat saya untuk
mendapatkan pekerjaan. Alternatif
pertama saya datang menemui rekan-rekan dan bekas boss saya di IBS. Saya ingin
memanfaatkan fasilitas “green card” yang pernah diberikan oleh Brian Dallamore
waktu itu. Dia pernah mengatakan “jika kamu gagal dengan usahamu silakan
kembali ke sini, pintu selalu terbuka untuk mu”. Saya bertemu dengan Tom Tan dan pak Jacob
Kosasih technical adviser dan President Director IBS waktu itu. Mereka kaget dengan hal yang terjadi pada saya. Sore itu juga saya
dipertemukan dengan Brian dan dia setuju saja untuk menerima kembali tapi
tentunya jika ada lowongan dan kesempatan. Beberapa hari kemudian pak Jacob
menelpon saya agar saya bertemu dengan salah satu direktur dibagian employee
benefits. Kemudian kami bertemu makan siang di sebuah hotel di kawasan Senayan.
Saya diminta untuk menunggu kembali mengenai kepastian tempat untuk saya.
Selain ke IBS saya juga mencoba peruntungan
dengan melamar ke perusahaan broker asuransi yang lain Marsh Indonesia. Saya
punya sahabat baik yang sejak dari beberapa tahun lalu mengajak saya untuk
bergabung dengannya di Marsh. Dia memegang divisi Oil and Gas yang waktu itu
masih sedikit orang lokal yang mengerti resiko dari industri ini. Namanya
Justin Baker seorang mualaf asal Inggris. Dia sangat kaget dan sekaligus senang
begitu saya kasih tahu mengenai musibah yang sedang saya hadapi. “You are the founder of that company, right?”
katanya dengan penuh keheranan karena menurut dia tidak mungkin saya akan
diperlakukan seperti itu karena saya adalah pendiri dari perusahaan saya itu.
Justin sangat responsive. Dia lalu mempertemukan saya dengan pimpinan Marsh
waktu itu namanya Peter Phillips. Bagi saya orang ini tidak asing sama sekali.
Dia adalah bekas boss saya dulu di IBS. Hubungan kami tidak hanya dekat dalam
urusan pekerjaan tapi juga di luar itu. Rumah kami terbilang berdekatan di
kawasan Bintaro. Kami secara rutin bermain tennis minimal sekali seminggu.
Sejak beberapa tahun sebelumnya Peter keluar dari IBS dan bergabung dengan
Marsh di Singapura sebelum ditunjuk untuk memimpin Marsh Indonesia. Kami
bertiga bertemu di sebuah restoran di Plaza Senayan. Setelah berbicara santai,
Justin membahas mengenai lamaran saya. Peter mengatakan bahwa dia setuju dan
tidak ada masalah jika saya ingin melamar di Marsh. Tapi sebagai perusahaan
multinasional dia harus mendapat persetujuan dari kantor regional mereka. Saya
diminta untuk menunggu.
Saya juga mencoba melamar ke AON perusahaan
broker asuransi asal Amerika. Senior saya ex IBS bapak Junaedy Gani menjadi
pimpinannya waktu itu. Saya menemui beliau, tapi sayang saat itu tidak ada
lowongan untuk posisi senior untuk orang seperti saya. Beliau menyarankan saya
untuk melamar ke perusahaan asuransi. Ada beberapa perusahaan asuransi yang sedang
mencari tenaga senior. Saran itu tidak pernah saya jalankan karena saya memang
tidak pernah tertarik untuk bekerja di perusahaan asuransi. Saya juga mencoba
untuk melamar ke Willis salah satu perusahaan broker asuransi multinasional
yang lain. Tapi hanya sekedar untuk mencoba tapi tidak benar-benar saya follow
up.
Sementara menunggu panggilan dari lamaran yang
sudah saya coba itu, saya mulai langkah kecil dengan menjadi agen asuransi.
Cita-cita saya adalah ingin mendirikan perusahaan broker sendiri. Benar-benar
perusahaan yang saya dirikian, saya modali dan saya jalankan dan kendalikan
sendiri. Sebagai langkah awal saya coba-coba untuk memilih nama-nama perusahaan
yang akan saya gunakan. Saya mempunyai cara khas yang selalu saya gunakan untuk
mengambil keputusan. Saya tuliskan minimal sepuluh nama alternative lalu saya
pilih satu yang paling cocok. Diantara nama-nama yang muncul adalah MTA
Insurance Brokers (Muhammad Taufik Arifin). Nama ini saya munculkan untuk
menunjukkan kepada mereka yang mengkudeta saya dulu bahwa sayalah yang
sebenarnya yang memberikan kontribusi terbesar kepada perusahaan itu. Akhirnya
saya memilih dan memutuskan nama Life and General Risk Services. Nama ini saya
pilih karena saya mulai fokus mengerjakan asuransi jiwa bersama isteri saya
sementera saya fokus mengerjakan asuransi umum. Saya sendiri mempunyai latar
belakang sebagai agen asuransi jiwa. Saya memahami bisnis ini dengan baik.
Peluang asuransi jiwa sekarang ini begitu besar. Saya ingin menggabungkan
pemasaran asuransi jiwa dengan asuransi umum. Itu merupakan terobosan baru di
industry asuransi waktu itu.
Saya mendaftar menjadi agen asuransi di MAA
(Malaysian Assurance Alliance) Indonesia. Tidak ada alasan khusus kenapa saya
memilih menjadi agen di MAA. Kebetulan MAA adalah perusahaan asuransi terakhir yang saya
berhubungan di hari-hari terakhir saya di perusahaan lama. Saat itu disana ada
dua orang yang dulu sangat mendukung saya ketika saya memulai perusahaan pertama saya. Mereka adalah Sonny Cheah dan mba Sri Hartati, mereka berdua dulu bekerja di
Zurich Insurance Indonesia sebelum pindah ke MAA.
Selain menjadi agen dari MAA saya juga mengikat
kerjasama dengan perusahaan sahabat saya Freddy Pieoloor PT Antara Insurance
Brokers. Saya bertindak sebagai partner dalam melakukan penjualan dengan sistim
commission sharing. Saya di beri kartu nama dengan jabatan Technical Advisor. Saya tidak perlu datang ke kantornya setiap hari. Cukup
seminggu sekali. Ternyata Freddy tidak hanya memberikan kesempatan ini kepada
saya sendiri tapi juga kepada beberapa orangsenior ex broker yang lain. Sekali-kali
kami bertemu di kantor. Saya sangat berterima kasih dengan kesempatan yang
diberikan oleh rekan saya ini. Dengan demikian saya masih boleh mengaku sebagai
seorang broker asuransi walau dengan status sebagai partner. Posisi ini cukup ampuh untuk
menangkis serangan terhadap saya yang dilancarkan oleh competitor. “Pak Taufik itu sekarang bukan broker lagi
ya, kami maunya deal dengan broker” kata salah satu prospek saya. Saya tahu
persis siapa yang memberikan informasi ini kepada calon nasabah saya ini.
Dengan saya mengikat kerjasama dengan Antara saya bisa menunjukkan kepada mereka
bahwa saya tetap sebagai broker.
Memulai hidup sebagai agent asuransi di usia
lanjut tidaklah muda. Apalagi jika harus mencari klien yang sama sekali baru.
Saya tidak bisa lagi menggarap klien-klien lama saya karena saya harus menjaga
hubungan baik dengan pemegang. Saya harus menjaga perasaan
mereka agar mereka mau membeli seluruh saham saya yang ada. Saya harus mencari
klien-klien baru. Saya mencoba menyusun daftar calon klien. Menghubungi
teman-teman lama atau bekas klien yang sudah bertahun-tahun tidak saya hubungi.
Berat juga rasanya menghubungi mereka setelah bertahun-tahun tidak ada kabar
berita , sekarang tiba-tiba saya menghubungi mereka. Tapia pa boleh buat semua
itu harus dilakukan. Tidak ada pilihan lain kalau masih mau hidup. Di hari
kedua setelah saya melakukan menelpon ke beberapa teman akhirnya saya
mendapatkan teman lama Dremo Madyo dari Trakindo Group yang menginformasikan
bahwa salah satu kliennya dia akan mengirimkan alat berat. Saya diminta
menghubungi kliennya tersebut PT Duta Graha. Saya hubungi orang mereka, mereka
meminta saya untuk menghubungi perusahaan forwarder yang akan mengurus
pengangkutan barang-barang tersebut. Akhirnya saya dapat berbicara dengan
mereka dan setuju untuk menutup asuransinya melalui saya. Ada beberapa unit
alat berat yang dikirimkan oleh perusahaan ini. Dari transaksi pertama ini saya
mendapatkan komisi sekitar 2 juta rupiah. Belum terlalu banyak tapi ini
membuktikan bahwa saya bisa mendapatkan bisnis. Perusahaan forwarder itu
bernama PT LAPACA. Waktu itu kantornya di daerah jalan Gunung Sahari Jakarta.
Setelah pengeriman pertama ada lagi pengiriman kedua dan seterusnya. Setelah
itu saya mendapat order kedua dari sebuah perusahaan alat berat. Ada puluhan
alat berat yang ingin diasuransikan. Lumayan dari transaksi ini saya
mendapatkan komisi sekitar dua ribu dollar. Semakin hari semakin kuat keyakinan
saya untuk berhasil membagun perusahaan broker asuransi milik sendiri.
Untuk bisa mewujudkan cita-cita saya mendirikan
perusahaan broker asuransi baru saya mencoba untuk mewarkan kerjasama kepada
beberapa orang yang yang saya yakin mereka akan tertarik. Orang pertama yang
saya tawarkan adalah saudara sepupu saya Iryadi Arifin. Saya tidak mau lagi
mengulangi kesalahan saya dulu ketika saya takut untuk menawarkan kesempatan
pertama kepada beliau yang berakhir dengan nasib buruk yang saya alami. Saya
yakin ide saya akan menarik buat beliau. Beliau sudah menyaksikan kemampuan
saya dalam membangun perusahaan broker asuransi mulai dari nol sampai mencapai
puncaknya. Di dalam perusahaan ini nanti tidak akan banyak pemegang sahamnya. Hal itu yang pernah beliau keluhkan dengan perusahaan lama saya, terlalu banyak pemegang sahamnya. Di perusahaan ini nanti hanya saya dan beliau saja pemegang sahamnya. Dari
segi modal saya yakin beliau tidak akan ada masalah, belau pasti punya, apalagi waktu
itu untuk pendirian perusahaan broker asuransi tidak disyaratkan oleh pemerintah untuk mempunyai
modal minimal dalam jumlah tertentu. Yang diwajibkan hanyalah bahwa setiap perusahaan
broker asuransi harus mempunyai polis asuransi professional liability dan tenaga ahli. Tenaga
ahli sudah ada, saya sendiri sudah mempunyai sertifikat CIIB dan
APAI (Certified Indonesian Insurance Broker dan Ahli Pialang Asuransi
Indonesia). Sementara untuk kantor bisa menggunakan salah satu lantai dari
gedung milik beliau di kawasan Menteng berseberangan dengan gedung Puri
Imperium Kuningan Jakarta. Cukup strategis dan bergengsi. Setelah saya sampaikan proposal saya, saya
lihat beliau agak keberatan dengan anggaran biaya terutama tentang besarnya
gaji. “Gajinya ngga kebasaran tuh Fik” kata beliau. Gaji yang saya masukkan
di dalam anggaran sebenarnya sudah lebih rendah dari gaji saya terakhir. Gaji sebesar
itu belum cukup untuk menutupi pengeluaran saya yang pasti akan
lebih besar karena semua pengeluarna harus saya bayar sendiri. Saya terus
terang tidak berani untuk berargumen dengan beliau. Saya berharap beliau bisa memahami
bahwa gaji sebesar itu tidaklah terlalu besar. Dengan gaji itu saya bisa
bekerja dan menghasilkan jauh lebih besar. Selain dengan keberatan beliau
soal gaji, beliau juga memberitahu saya bahwa akan mengajak salah satu teman beliau. Nah mulai di titik ini saya kehilangan semangat. Saya sudah patah arang jika harus
bekerjasama lagi dengan orang lain. Saya hanya akan bekerjasama dengan orang
yang saya sudah benar-benar kenal dengan baik dan tahu
persis karakternya. Selain itu saya punya kesan yang kurang baik dengan orang ini. Dulu sewaktu saya masih menjadi direktur di perusahaan lama,
kakak saya meminta saya agar mau menerima keponakan dari beliau ini untuk
bekerja di tempat saya. Saat itu sebenarnya tidak ada lowongan dan tidak ada meja untuk karyawan baru. Tapi demi menghormati kakak saya, saya tetap menerimanya dengan status magang dan dengan rela saya ajak anak itu duduk di meja
tamu di dalam ruang kantor pribadi saya selama hampir dua bulan. Setelah terlihat kemampuannya kemudian
saya tawarkan kepada salah satu unit manager untuk bisa menerima orang ini di
dalam group mereka. Akhirnya dia secara resmi bergabung di salah satu group. Kira-kira
dua tahun kemudian orang ini bersama dengan teman-teman satu groupnya itu
keluar dari perusahaan dan pindah ke perusahaan lain dengan membawa hampir semua klien yang
ada. Anak itu pergi tampa permisi dam tampa ba bi bu kepada saya. Saya waktu itu berfikir
bahwa mungkin pamannya yang akan menelpon saya atau memberitahu saya mengenai hal ini. Tapi ternyata tidak pernah
ada.
Menginat masalah seperti itu,
saya mulai kehilangan minat untuk melanjutkan kerja sama dengan beliau. Saya benar-benar
sudah trauma untuk bekerjasama dengan orang lain. Saya mau bekerja dengan
mereka, tapi tidak dalam bentuk perusahaan. Mungkin dalam bentuk profit sharing atau commission sharing. Ternyata saya masih belum bisa menghilangkan
tabiat buruk saya ketika berhadapan dengan kakak saya ini. Saya tidak pernah
berani membantah, mengajukan keberatan atau beragumentasi dengan baliau. Tindakan yang saya bisa lakukan adalah
MUNTABER dan HIPERTENSI. Yaitu mundur tampa berita dan Hilang tampa permisi. He
he he. Sejak saat itu saya tidak pernah lagi membicarakan bisnis ini dengan
beliau.
Orang kedua yang saya tawarkan kerjasama adalah
kepada bekas boss saya di IBS dulu. Pak Irvan Rahardjo yang waktu itu menjabat
sebagai salah satu direktur di PT PERTANI. Setelah membuat janji akhirnya
beliau bersedia menemui saya. Setelah saya jelaskan proposal saya beliau langsung
tertarik. Beliau yakin bahwa saya akan bisa menjalankan bisnis ini. Beliau
termasuk salah seorang senior saya yang kagum dengan keberhasilan saya
membangun perusahaan saya yang dulu. “Waduh Fik, ini idenya bagus sekali, saya
yakin kamu bisa menjalankannya, tapi saat ini saya tidak bisa ikut
berpartisiapasi karena saya sedang mengumpulkan uang untuk pernikahan puteri
saya dalam waktu dekat ini” kata pak Irvan. Saya dapat memahami kondisi beliau.
Walaupun demikian saya sangat menghargai sikap positif beliau terhadap
kemampuan saya. Pak Irvan adalah guru saya di industry broker asuransi. Beliau
lah mentor saya sehingga saya bisa menjalankan bisnis ini.
Orang ketiga yang saya tawarkan proposal ini
adalah salah seorang tetangga saya. Beliau ini terkenal sebagai investor di
komplek kami. Beliau telah membantu memodali beberapa bisnis dari tetangga
kami. Dari puluhan juta sampai miliaran rupiah. Karena beliau bukan berlatar belakang
di bidang asuransi saya perlu kerja extra untuk menjelaskannya kepada beliau.
“Wah profitnya kecil sekali pak” katanya ketika melihat tingkat
tingkat keutungan yang saya buat. “Saya maunya keuntungan minimal 10% dalam
satu bulan” katanya lagi. Sudah barang tentu bisnis broker ini tidak bisa
memberikan keuntungan secepat itu. Perlu waktu lebih lama. Akhirnya beliau
tidak jadi bergabung di bisnis saya.
Orang terakhir yang saya tawarkan adalah teman
dari teman SMA saya. Beliau ini seorang pengusaha kapal. Keluarganya sudah
menekuni bisnis perkapalan dari ayahnya. Dia pribadi saat itu juga sudah
memiliki beberapa buah kapal. Saya hanya memerlukan modal sebesar Rp. 250 juta
untuk bisa memulai bisnis ini dengan baik. Setelah kami berdiskusi tampaknya
dia tidak begitu berminat mungkin karena potensi penghasilan bisnis broker
asuransi sangat kecil dibandingkan dengan bisnis kapal.
Setelah saya menawarkan ke empat calon partner
dan ternyata tidak ada satupun yang jadi kenyataan. Akhirnya saya putuskan untuk berjalan sendiri.
Apapun yang terjadi saya harus berani menghadapi perjuangan ini sendiri. Take
risk, atau risk taker itu istilah yang disampaikan oleh salah seorang teman
saya. Secara pekerjaan, ini pasti berat tapi secara mental dan perasaan lebih
ringan karena tidak harus menimbang-nimbang perasaan orang lain. Saya tidak
bisa membayangkan jika partner saya menegur saya karena biaya terus keluar
sementera hasil belum maksimal. Apalagi kalau mereka bukan seorang agent atau
broker asuansi. Mereka tidak akan pernah tahu dan tidak akan pernah sabar untuk
menunggu hasilnya. Mereka juga tidak bisa memahami biaya pengeluaran yang harus
dihabiskan. Sebalikanya ketika perusahaan sudah mulai menghasilkan mereka dengan penuh curiga akan memata-matai saya. Dari pada konsentrasi saya terganggung demi hanya untuk menenangkan
hati mereka, lebih baik saya jalan sendiri. Saya siap menghadapi segala
resikonya.
Saya memulai karir sebagai agen asuransi
kembali dari dasar. Back to basic. Saya melalukan penjualan door to door, menelpon teman-teman lama prospecting dan lain-lain.
Karena mobil saya hanya satu dan harus berbagi dengan isteri saya. Saya sering
bepergian naik kendaraan umum. Bis kota, metro mini, angkot, ojek kereta api
dan semua angkutan umum saya rasakan semuanya. Penurunan yang sangat drastis. Dari
naik-turun mobil pribadi selama lima belas tahun tanpa henti sekarang mendadak
turun kelas. Pengalaman yang paling berkesan ketika naik bis patas. Saya sering
berangkat dari rumah naik angkot ke jalan Cileduk Raya di Kreo sekitar jam
sembilan atau jam sepuluh pagi. Di Kreo sudah ada bis Patas AC Mayasari Bhakti
jurusan Senin yang sedang menunggu penumpang. Karena masih kosong bis itu berhanti cukup
lama. Begitu masuk ke dalam bis di setiap kursi ada amplop dan barang-barang
kecil. Semua itu tarok oleh anak-anak kecil dan para pedagang asongan. Begitu bis
sudah mulai penuh mereka akan datang mengambil barang-barang itu sambil
merengek meminta penumpang mengisi amplop dan membeli semua barang-barangnya.
Beberapa saat sebelum bis berjalan naik lagi pengamen dengan gitarnya. Kadang
seorang tapi juga bisa tiga orang. Lagu-lagu yang dinyanyikan lumayan bagus dan
cukup menghibur. Dari Kreo sampai Senayan paling tidak ada tiga kali
penggantian pengamen. Setelah yang satu turun kemudian naik lagi yang lainnya.
Nah, tantangan saya ketika berada di dalam bis selain udaranya yang pengap adalah ketika telepon saya
berdering dan ada panggilan yang harus saya terima. Kalau saya terima mereka
pasti akan mendengarkan nyanyian pengamen dan mereka pasti tahu saya sedang
berada di dalam bis. Itu bisa menjatuhkan kredibilitas saya, he he he. Hampir satu tahun
saya mengalami situasi seperti ini. Saya jarang sekali membawa mobil kalau
bepergian sehingga saya pun sempat kehilangan keahlian menyetir sampai beberapa lama.
Setelah lama menunggu kabar dari IBS, kira-kira di bulan ketiga saya mendapat kabar bahwa mereka keberatan saya kembali. Mereka tahu bahwa jiwa saya adalah businessmen dan satu saat pasti akan kembali berbisnis. Selain itu mereka juga khawatir karena saya sudah mendaftar menjadi agent di salah satu asuransi jiwa yang satu saat pasti akan tejadi konflik.
Peluang di Marsh juga tidak kunjung tiba. Apalagi setelah sahabat baik saya Justin Baker meninggal dunia karena serangan jantung kira-kira satu bulan setelah kami bertemu. Saya juga tidak ingin menindak lanjuti lagi dengan Peter Phillips karena saya sudah merasa lebih nyaman dengan business saya.
Setelah lama menunggu kabar dari IBS, kira-kira di bulan ketiga saya mendapat kabar bahwa mereka keberatan saya kembali. Mereka tahu bahwa jiwa saya adalah businessmen dan satu saat pasti akan kembali berbisnis. Selain itu mereka juga khawatir karena saya sudah mendaftar menjadi agent di salah satu asuransi jiwa yang satu saat pasti akan tejadi konflik.
Peluang di Marsh juga tidak kunjung tiba. Apalagi setelah sahabat baik saya Justin Baker meninggal dunia karena serangan jantung kira-kira satu bulan setelah kami bertemu. Saya juga tidak ingin menindak lanjuti lagi dengan Peter Phillips karena saya sudah merasa lebih nyaman dengan business saya.
0 comments:
Post a Comment