“Eee, baa pulo ajaknya dek
indak jadi ka
pulang?, kan di muko uda bona sari tu mengecekan ka panitia baaso
bolek tomat
kaji kadiadokan dua ari sudah rayo. Itu la nan diiyokan urang kini, iyo bongi urang beko tu kok indak jadi
pulang”.
Demikian kata saudara saya kkd Syarifuddin (uda Ipu) dengan nada
yang agak tinggi, ketika saya bertemu beliau seminggu sebelum lebaran indul Fitri 1436H
lalu. “Bagaimana kok tidak jadi mau pulang, bukannya situ yang mengatakan bahwa acara khatam
Al Quran sebaiknya diadakan dua hari setelah lebaran, biar para perantau bisa
menghadiri acara tersebut, sekarang mereka sudah bekerja mempersiapkannya, mereka bakal marah”. Saya tersentak. Saya
memang sedang ragu
dan cenderung untuk membatalkan pulang kampung lebaran kali ini karena keluarga besar
kami berencana untuk berlebaran di Jakarta. Kakak saya sekeluarga sudah sejak
awal puasa mulai berdatangan dari dari kampung. Adik saya yang di Kuala
Lumpur juga memutuskan untuk berlebaran di Jakarta bukan ke Medan. Apalagi saya juga belum memesan
tiket karena harga tiket sudah selangit saat itu. Kkd Ipu benar, sayalah yang
menyarankan agar acara diadakan dua hari setelah lebaran. Rupanya usul saya
langsung diiyakan oleh masyarakat di kampung halaman saya di jorong Koto Baru,
Sariak Laweh, Kecamatan Akabiluru, Kabupaten Lima Puluh Kota, Propinsi Sumatera
Barat.
Desa kami akan mengadakan hajatan
besar yaitu Khatam Quran yang diikuti oleh 119 orang anak.
Pesta Khatam Quran adalah pesta rakyat paling besar dan ditunggu-tunggu. Belum
tentu diadakan setiap tahun. Khusus yang kali ini diadakan berkat kerjasama
antara masyarakat jorong dengan perantau. Nah, saya termasuk penggagasnya.
Jadi, rasanya memang kurang lengkap kalau saya tidak pulang. Bagi saya sekarang
pulang kampung tidak lagi menjadi program utama setiap lebaran seperti 10-20
tahun lalu. Saya mulai kehilangan magnet yang menarik-narik saya. Apalagi sejak 2
tahun ini saya sudah tidak punya saudara dekat lagi tempat saya berlabuh. Semenjak etek
saya (adik ibu) ikut juga pindah ke Jakarta. Setahun lalu mama (ibu) saya yang di kota Padang juga meninggal dunia. Kini kedua rumah itu kosong.
Yah itulah kenyataan yang harus saya terima. Saya kehilangan “tempat mengadu”
di tanah kelahiran saya.
Tapi mulai hari ini saya sudah rubah pola
fikiran saya. Meski saya sudah tidak punya lagi kerabat dekat, tapi saya tetap
harus pulang ke kampung. Toh masih banyak saudara yang lain yang harus saya
temui untuk menjalin silaturahmi. Mereka telah banyak berjasa secara langsung
atau tidak dalam kehidupan saya. Mereka adalah bagian dari hidup saya selama
sekitar 18 tahun saya melewati hari-hari hingga saya tamat SMA. Saya juga sempat terkejut
ketika beberapa orang menyebutkan kekecewaanya kepada orang-orang sukses asal desa kami
tapi mereka tidak pernah pulang atau sepertinya sudah lupa dengan hal-hal
penting dimasa lalu. Mereka pernah ditolong, dibantu, diselamatkan dan lain-lain. Saya sudah
merubah mind set saya bahwa pulang kampung itu seperti program Corporate Social
Responsibility (CSR). Menjadi tanggung jawab social. Betul, setelah saya pulang
dan berbincang-bincang serta melihat sendiri kondisi kehidupan di desa saya,
banyak hal yang harus dan bisa dilakukan untuk meningkatkan kwalitas kehidupan disana. Memberikan makna
lebih dalam kehidupan mereka. Baik dari segi agama, ilmu pengetahuan, kehidupan social dan
fasilitas umum. Kalau bukan saya (kita), lalu siapa lagi? Jangan sampai
terbalik. Bak pepatah lama “gajah di pelupuk mata tidak kelihatan, semut di
seberang lautan tampak”. Sibuk memperhatikan kesulitan orang lain, tapi saudara
sendiri dibiarkan merana”. Kita juga
tidak bisa mengharapkan orang lain untuk membantu saudara kita sendiri.
Akhirnya Saya putuskan untuk tetap pulang
kampung. Saya tetap bisa berlebaran di Jakarta mesti adik saya yang dari Kuala Lumpur
batal mudik. Saya pulang naik kendaraan pribadi karena tidak sanggup beli tiket
pesawat karena sudah terlalu mahal. Saya berangkat setelah sholat ied. Saya memilih
menggunakan Toyota Camry 2,5 G 2014. Mesti saya mempunyai beberapa alternatif
kendaraan. Banyak yang mengerinyitkan dahi ketika mereka tahu saya akan membawa Camry. Macam-macam pendapat mereka. “Jalan
ke sana kan jelek, ga kasian mobil bagus kayak gitu nanti rusak”. “itukan mobil
untuk bisnis, sayang dipakai untuk ke luar kota” dan banyak lagi komentar lain.
Bagi saya sekarang “car is just a car, I just diffrenciate a car by it’s color”.
Lebih sayang lagi jika meninggalkan mobil selama 10 hari diparkir begitu saja
di garasi. Bukankah mobil itu ada faktor penyusutannya? Dipakai atau tidak
mobil itu harganya pasti semakin turun. Jadi daripada dibiarkan duit menguap di
dalam garasi kan lebih baik dipakai untuk pulang kampung. Lebih bertenaga,
lebih nyaman, lebih aman dan sedikit gaya... he he he.
Setelah sholat ied kami berkumpul di
rumah. Ayah, kakak, adik, ponakan semua datang karena memang kami sudah
beritahu bahwa kami akan berangkat pagi-pagi sekali. Setelah makan ketupat dan
bersalam-salaman kami pun pamit. Rombangan kami terdiri dari saya sebagai team
leader dan sekaligus driver, kakak saya Julmasril sebagai codriver, kakak ipar
saya Nang Suarni sebagai penumpang dan bagian konsumsi dan my son sebagai
navigator dan manager. Ponakan saya Kaesy sebagai penumpang murni. Isteri saya
Yuni tidak bisa ikut karena menjaga ibu yang sudah tidak bisa lagi ditinggal
lama-lama. Ayah saya dan ponakan saya Hanifa mereka pulang naik pesawat empat
hari setelah kami berangkat. Kami akan menjemput mereka di bandara Padang.
Tepat jam 9.30 pagi kendaraan kami mulai
bergerak meninggalkan rumah kami di Karya Indah Village II Blok B No.2
Jurangmangu Timur, Pondok Aren, Tangerang Selatan Banten menuju pelabuhan Merak
dengan angka pada km 22155. Kami ingin berangkat sepagi mungkin untuk
menghindari kemacetan di sekitar Jakarta. Kami bergerak menuju pintu tol di
Ulujami sekitar 10 km dari rumah. Begitu sampai di Kreo terlihat sudah ada
kemecetan. Jam 10 kami sudah masuk tol JORR. Setelah itu kendaraan saya pacu
untuk mengejar kapal ferry. Jam 11.30 kami sudah antri untuk naik ke kepal
Ferry di Merak. Jam 12.15 kapal sudah bergerak meninggalkan dermaga menuju
pelabuhan Bakauheni di Lampung. Walau matahari bersinar terik tapi langit tidak
begitu cerah. Kami memilih tempat duduk yang ber a/c di deck 2. Perut kami sudah
mulai lapar. Nang sebagai seksi komsumsi mulai mengeluarkan nasi dan makanan
yang sudah disiapkan sebelumnya. Kami menikmati makan siang nan lezat dengan
rendang, goreng ayam dan sambal tentu saja. Selepas makan kami mengisi waktu
dengan sholat zuhur. Setelah itu kami asik memandangi indahnya laut dan pulau-palau
di selat Sunda. Jam 14.15 kapal telah sandar di pelabuhan Bakauheni di Lampung.
“Selamat datang di Lampung” Jam tiga kurang ban mobil sudah menginjak tanah
Sumatera. Kembali saya yang menyetir. Karena saya ingin memastikan bahwa kami
tidak terperangkap dalam iring-ringanvpanjang mobil, bis dan truk selepas
keluar dari pelabuhan agar tidak terbuang banyak waktu. Begitu keluar ke jalan
umum saya langsung tancap gas. Mendahului banyak sekali kendaraan yang
kewalahan mendaki jalan yang menanjak tajam. Beberapa iring-iringan berhasil
saya susul. Setengah jam kemudian kami sudah bebas dari gerombolan kendaraan
dan memasuki kawasan Kalianda. Selepas itu kami bisa memacu kendaraan walau
tidak bisa terlalu kencang. Memasuki kota Tanjung Karang dan Bandar Lampung
kondisi jalan masih relatif sepi. Tapi karena banyak perempatan dan lampu merah
tetap kami tidak bisa berlari kencang. Kondisi ini seperti itu berlangsung
sampai di Terbanggi Besar. Pas azan magrib berkumandang kami sudah memasuki
kawasan Kotabumi. Kami berhenti di restoran Taruko 3 di Tegineneng. Kami sholat
magrib dan makan malam. Kembali kami menikmati nasi bungkus dan lauk-pauknya.
Saya coba mencari makanan tambahan di restoran yang khas, ada ikan dan gulai
paru ditambah dengan karupuak jangek kesukaan my son. Disana kami bertemu
dengan convoy 4 kendaraan yang juga menuju Padang. Mereka penjual bumbu dapur
di pasar Induk Kramat Jati yang baru saja menutup puncak perdagangan di hari
terakhir Ramadhan. Jam 7.30 kami bergerak meninggalkan halaman parkir Restoran
Taruko 3. Kali ini giliran kakak saya yang menyetir. Ini pertama kalinya dia
mengendarai si Camry ini. Dia sudah cukup familiar dengan mobil sebesar ini karena
biasanya dia menyetir Altis milik adik saya.
Kami menuju Baturaja digelapan melewati
jalan bagus, licin, lebar dan mulai sepi. Deru mesin Camry nyaris tak terdengar
walau dipacu dengan kecepatan diatas 100 km/jam. Yang terdengar hanyalah bunyi
gesekan ban diatas aspal ketika ada belokan. Lampunya yang terang dapat
menjangkau jauh sangat membantu berkendara di malam hari. Mendekati jam 10
malam kami memasuki kawasan Baturaja. Meski belum habis, kami memutuskan untuk
mengisi bensin di sini. Bensin saya isi penuh 2 hari sebelum berangkat. Ketika
kami melihat ada pom bensin di pinggir jalan lintas Sumatera ternyata
antriannya sangat panjang. Kami mencari pompa bensin yang lain yang ada di
dalam kota. Walau sedikit mengantri kami mengisi penuh dengan tambahan 36
liter. Setelah mengisi bensin ini kami tersesat. Kami berbelok ke kanan semakin
ketengah kota. Kami mengandalkan navigator standard yang ada di mobil.
Semantara map dan waze yang ada di hp saya tidak berfungsi karena ternyata
Exelcom tidak menyediakan layanan internet di sepanjang jalan lintas Sumatera
untuk saya. Setelah tiga kali berputar di jalan yang sama, bahkan kami coba
keluar ke jalan lain, setelah beberapa kilometer kami bertanya pada penduduk
dan ternyata kami telah tersesat begitu jauh. Alah mak, gara-gara si navigator...
Kami kembali ke pom bensin untuk memohon petunjuk yang benar. Alhamdulillah
kami bertemu kembali dengan jalan lintas Sumatera.
Menjelajahi lintas tengah Sumatera di
malam hari terasa “ngeri-ngeri sedap”. Selain menikmati jalan mulus, lebar dan
sepi kadang juga menyiratkan ketakutan. Apalagi jika mengingat cerita orang
tentang kecelekaan dan musibah yang banyak mereka alami selama ini. Ada cerita
tentang pembegalan, mobil dilempar batu, jalan dirintangi dengan pohon kayu,
dikejar dengan motor, di tembak dan lain-lain. Semakin malam jalan semakin
sepi, semakin leluasa berkendara. Saya mengintip ke speedo meter, saya lihat
jarumnya bergerak antara 120/130 km perjam. Antara jam 1 dan 2 malam kami sudah
memasuki kawasan Muara Enim. Melewati banyak rumah tradisional masyarakat Palembang di kiri
kanan. Disinilah kami melewati jalan rusak. Hampir setengah jam lamanya kami
harus berjalan pelan sekali untuk menghindari lubang besar dan cukup dalam.
Semua kendaraan juga harus berjalan pelan. Sangat mengherankan sekalli masih
ada jalan di tengah-tengah pemukiman pendukuk justru rusak parah sementara di
tempat yang jauh kondisinya sangat bagus.
Ketika memasuki kawasan Lahat, saya
kembali berada di balik kemudi karena kakak saya sudah tak tahan diserang hama
kantuk. Jalan di Lahat hampir tidak ada yang lurus, semua penuh dengan tikungan
dan belokan, naik-turun. Saya sudah lebih dari 10 tahun tidak melewati jalan
ini, sudah lupa dengan kondisi jalannya. Saya tetap memacu kendaraan dengan
rata-rata 80 km/jam. Karena suspensi Camry sangat bagus sehingga tidak
menimbulkan bantingan yang berat ketika menikung. Ketika tiba di satu tikungan
tajam berbentuk letter U, saya nyaris terbalik. Saya pacu dengan kecepatan 80
km dan langsung berbelok ke kiri, saya mengerem untuk menghindari agar mobil
tidak terlalu jauh ke depan, justru yang terjadi mobil tegelincir ke kanan. Ban
mendencit dan terdengar bunyi pasir berserakan. Kedua ban belakang sudah berada
di atas rumput di pinggir jalan sebelah kanan. Saya terhenti, semua penumpang
terbangun. Alhamdulillah saya bisa melanjutkan kembali perjalanan. Sempat
terlihat ada tulisan di tebing “Woles bro”. Wow, ternyata memang lokasi ini
berbahaya. Kalau saya lihat, desain jalannya yang kurang bagus. Beberapa
tikungan dari lokasi ini, kejadian serupa terjadi lagi walau tidak seburuk yang
sebelumnya. Menjelang jam 3 saya sudah berhasil melewati kawasan Lahat. Menurut
banyak orang, Lahat juga termasuk kawasan rawan kejahatan. Alih-alih
membayangkan itu, fikiran saya malah mengingat orang-orang hebat asal lahat
yang saya kenal. Ada senior sekaligus guru saya pak Junaidi Ganie. Bekas boss
saya dulu di IBS. Pendiri dan CEO AON Indonesia selama lebih dari 15 tahun
broker asuransi terbesar di dunia. Ada pak Bur Maras klien saya pemilik dari
Lekom Maras perusahaan kontraktor supplier oil and gas terkemuka di Indonesia.
Beliau juga pemilik dari RATU PRABU group. Sebelum puasa saya sempat mampir ke
kantor beliau. Ada juga rekan kerja saya di IBS dulu yang pintar dan baik hati
mba Nina Maikania Makmun. Pada saat melalui kawasan pemukiman tiba-tiba saya
melihat ada seekor kucing putih duduk di jalan sebelah kiri. Karena saya melaju
dengan kecang saya sulit untuk menghindarinya. Jika saya ambil jalur kanan
bisa-bisa saya bertabarakan dengan orang yang datang dari depan. Saya coba
menghindari dengan memposisikan kucing itu persis ditengah kolong mobil. Jadi
saya tidak menggilasnya. Saya mendengar ada dua kali suara benturan.
Mudah-mudahan kucing itu selamat karena saya tidak bisa melihat karena gelap. Sekitar
jam 4 kami sampai di sebuah pompa bensin di sebelah kiri. Terlihat banyak
sekali mobil yang berhenti disana. Kami pun berhenti, pada saat berhenti itu
ada yang mengingatkan kami agar tidak melanjutkan perjalanan pada jam segini
karena di depan ada kawasan Muara Beliti yang rawan. Kami ikuti nasehat itu,
kami berhenti. Setelah setengah jam saya berbicara dengan salah satu rombongan
yang juga menuju Padang, ada lima mobil. Saya minta bergabung. Jam 4.30 mereka
bergerak dan sayapun mengikuti. Sebelumnya saya kembali mengisi bensin sebanyak
38 liter untuk mengembalikan ke posisi penuh. Kami melewati kawasan Tebing
Tinggi dan juga kawasan Muara Beliti yang ditakuti itu. Ketika melewati kawasan
itu saya tidak melihat lokasi itu rawan. Jalan yang lebar, kemudian antara tepi
jalan dengan pepohonan dan kebun ada jarak sekitar 5 meter di kiri-kanan
sehingga terang terlihat setiap gerik-gerik yang mencurigakan. Ketika azan
subuh kami sudah sampai di kawasan Lubuk Linggau sebuah kota di tengah-tengah
pulau Sumatera. Kami mencari mesjid untuk sholat subuh.
Jam 6.30 kami sudah memasuki ujung dari
jalan Lintas Sumtera yang terkenal itu. Jalan mulus, lebar dan dirancang khusus
sepanjang lebih 500 km lebih. Meski sudah dibangun sejak awal tahun 70an tapi
kondisi jalan ini masih bagus, bak jalan tol. Kini giliran kakak saya lagi yang
menjadi kusir. Setelah beristirahat dia tampak segar dan bersemangat. Kembali
dia memacu si Camry sepuasnya. Saya sempat menengok ke speedo meter dia lari
rata-rata 140/150 km. Sarulangun, Bangko dan Muaro Bungo sejauh 485 km ditempuh
dalam waktu kurang dari tiga jam. Di Muara Bungo kami kembali mengisi bensin.
Kali ini penuh jumlah 52 liter. Jam 9.30
kami sudah sampai di Gunung Medan, tepat 24 jam sejak kami meninggalkan rumah
kami di Jurangmangu kemarin.
Gunung Medan yang terkenal dengan restoran Umeganya 15 tahun lalu adalah tempat
persinggahan paforit yang menjadi tujuan hampir semua pengguna jalan Lintas Sumatara
baik dari selatan maupun dari utara. Hampir semua bus, truk dan kendaraan
pribadi berhenti di sini. Jumlah bis dan truk bisa puluhan dan ratusan mobil
pribadi. Tempat ini seperti kota kecil, sibuk dan ramai oleh kendaraan dan
penumpang yang berhenti. Restoran, pompa besin, kedai oleh-oleh, toko kelontong
penuh sesak. Makanannya enak dan pelayanan cepat. Ada kamar mandi, mushola dan
air bersih. Itu dulu. Kini semua itu sudah berubah. Gunung Medan terlihat sepi,
bahkan pada saat kami berhenti tidak ada satupun bus yang singgah. Hanya ada
sekitar 5 mobil pribadi yang berhenti. Mungkin karena kini sudah sedikit orang
yang menggunakan bus untuk pulang pergi ke tanah Jawa. Mereka lebih nyaman naik
pesawat terbang sejak ada slogan “ now everyone can fly”. Mungkin juga karena
hampir semua penumpang jurusan Sumatera Utara dan Aceh memilih melewati jalan
lintas Timur Sumatera. Entahlah, sayapun kehilangan selera untuk makan disini.
Tidak ada lagi menu khas asam pedas ikan patin. Tidak ada lagi pelayanan cepat
dengan khas restoran padang. Yang ada hanya restoran dengan gaya prasmanan
dengan rasanya sudah jauh berbeda. Itulah perubahan. Tidak semuanya akan bisa
sama terus-menerus.
Kami meninggalkan kawasan Gunung Medan
sekitar jam 11 siang menuju ke barat ke Kiliran Jao. Suasana dan hawa ranah
Minang semakin terasa. Alam berbukit, hutan dan gunung biru di kiri-kanan
jalan, pemandangan yang sudah berbeda dengan yang terlihat sepanjang Lampung
hingga Jambi. Demikian juga dengan rumah, kedail dan perkantoran di kiri-kanan
jalan. Lebih banyak, lebih ramah dan terlihat lebih “rancak” dengan ornamen
gonjong bak rumah gadang. Demikian juga dengan orang yang hilir mudik di jalan,
mereka tampak seperti diri sendiri. Mendekati jam 12 siang kami sudah berada di
kawasan si Junjung. Kami memilih jalan memotong lewat ke Lintau dari pada lurus
melewati kota Solok dan danau Singkarak yang pasti macet. Kami berbelok ke
kanan setelah melawati Muaro Sujunjung sebelum Talawi. Setelah menyeberangi jembatan
besar kami terus menelusuri jalan arah ke Lintau, beberapa kilometer kami
berbelok ke kiri menuju Batusangkar. Kami menghindari macet di pasar Lintau dan
juga jalan ini bisa mengurangi jarak cukup jauh. Jam 1 siang kami sudah berada
di tengah-tengah kota Batusangkar. Tidak terlalu macet, tapi sudah mulai
tersendat karena jalan yang sempit. Kami terus menulusuri jalan arah ke
Salimpaung semakin ramai karena banyak restoran di kiri-kanan jalan. Kami
sempat tidak bergerak beberapa lama. Jam 2 siang akhirnya kami sampai jua di
Simpang Batuhampar, pertigaan yang menuju ke kampung kami Sariak Laweh sekitar
10 km lagi. Seperti biasa, semakin dekat dengan tanah kelahiran jantung
berdeguk semakin kencang. Emosi jiwa seperti diaduk-aduk. Teringat masa lalu, kawan
lama, pahit-getir, tawa-tangis, harapan dan cita-cita yang banyak terkubur
disini. Menelusuri Kota Tangah, terbayang kawan-kawan lama Herisnen, Iyum,
Zaldi (Kalek) teman-teman SMP dulu. Memasuki kawasan Batuhampar hati ini
terkesima melihat bangunan mesjid tua yang didirikan dan di kelola ole ayahanda
dari Bung Hatta sang proklamator negara ini. Bahkan seminggu sebelum lebaran
ini ada luputan khusus mengenai mesjid ini di tayangkan di TVRI pusat. Hati
inipun berdesis, dimanakah gerangan kawan-kawan lama seperti Arzad, Ineng,
Imah, Idos, Nara, Wen, Ijon, Andi, Unis dan lain-lain. Sambil berharap bisa melihat
mereka berdiri di tepi jalan.
Menjelang jam 3 sore kami sampai di
jorong Niur Kepala Koto, Sariak Laweh. Perjalanan kami terhenti karena
terhalang oleh rombongan kirab Khatam Quran dari jorong Koto Baru. Alhamdulillah
akhirnya kami bisa juga mengikuti ritual acara yang sengaja kami perjuangkan
dengan menempuh jarak hampir 1,500 km dengan waktu sekitar 28 jam. Kami
parkirkan mobil, saya langsung melaksanakan tugas sebagai “wartawan” karbitan.
Memotret arak-arakan anak-anak dengan pakaian seragam berwarna kuning yang
cerah. Diiringi oleh para gadis mengenakan baju adat berwarna merah. Orangtua
murid yang wanita dengan tilokuang panjang diatas kepala. Pasukan drum band
yang terlatih dari kota Payakumbung sengaja dihadirkan untuk mengiringi
rombongan. Di rombongan paling depan adalah mobil pick up berisikian replika Al
Quran besar dengan pengeras suara yang melantungkan ayat-ayat Alquran serta doa
Khatam Quran yang dilantunkan oleh adinda Wir (buya Mmlatiefalsarlawi). Beliau
inilah yang telah ikut bekerja keras mewujudkan program ini. Menjadi jembatan
antara masyarakat dan perantau. Beliau yang mengupdate laporan kegiatan secara
rutin sehingga kami di rantau tidak ketinggalan informasi.
Inilah untuk pertama kalinya terjadi
kemacetan panjang sepanjang jalan Batang Sawah dari Koto Baru hingga Koto Tuo
sepanjang 1 km, puluhan mungkin ratusan mobil harus antri menunggu dan mengiri
rombongan.
Menurut perkiraan saya, paling cepat
kami baru akan bisa sampai di kampung tengah malam ataupun menjelang subuh.
Tapi Alhamdulillah Allah telah memudahkan jalan kami. Hanya dalam waktu 28 jam
dari yang biasanya 36 jam atau paling cepat 32 jam kami sudah sampai. Kalaulah
kami tidak tersesat di jalan dua kali, mungkin kami bisa sampai dalam waktu 26
jam. Menghabiskan sekitar 100 liter bensin atau sekitar Rp. 650,000 rupiah.
Jika ditambah dengan ongkos ferry penyeberangan Rp. 340,000 jadi total Rp.
1,100,00 lebih kurang. Harga ini masih lebih rendah dari harga 1 tiket pesawat
terbang yang sekitar Rp. 1,500,000. Rombongan kami ada 5 orang, jadi kalau
semua naik pesawat kami perlu keluar uang Rp. 7,500,000. Belum termasuk ongkos
taxi dari rumah ke bandara. Juga ongkos taxi dari bandara Minangkabau ke
kampung kami. Sebagai perbandingan, saudara kami yang pulang di hari yang sama harus
mengeluarkan ongkos taxi sekitar Rp. 850,000 untuk perjalanan selama 10 jam hanya
untuk menempuh jarak 150 km karena tidak bisa menghindari kemacetan sepanjang
jalan Padang, Padang Panjang, Bukittinggi dan Payakumbuh. Jadi kalau dihitung-hitung jauh lebih irit
menggunakan kendaraan sendiri jika pulang pada saat lebaran. Bukan itu saja,
perjalanan panjang itu juga memberikan pengalaman istimewa bagi my son dengan melihat
alam dan kebudayaan di sepanjang jalan. Bagi saya ini kesempatan untuk
menikmati lezatnya mengemudikan si Camry di alam bebas, menekan pedal sesuka
saya, membelok bak Lewis Hamilton tampa khawatir terbalik. Menikmati deru mesin
yang halus, menikmati decit bunyi ban ketika bergesek dengan aspal. Belajar
menentramkan diri dan mengasah keberanian melewati lokasi-lokasi yang konon
katanya seram. Sepanjang perjalanan kami juga asyik bercanda dan bergurau
dengan kakak saya. Maklumlah umur kami hanya terpaut 2 tahun. Kami mempunyai pengalaman
yang tidak banyak berbeda. Tertawa terbahak-bahak, terharu ketika mengenang
kepiluan. Topik yang paling konyol ketika kami bercerita mengenai bagaimana kami melewati hari-hari ketika menjalani “hukuman”
dari ayah kami. Lucu, gemes, kesal... kok bisa ya...?
5 comments:
Sungguh perjalanan yang cepat jakarta- Sumbar 28 jam. Saya paling cepat baru bisa 32 jam (perjalanan saja)..... pakai nginep sih maklum single fighter. Bagi saya mudik bukan hanya soal ada tidaknya magnet dikampung tapi juga menikmati perjalana bersama keluarga kecil saya. Terlebih anak saya dan keluarga sangat senag sekali momen mudik menggunakan jalur darat ini.
Pertanyaan saya penggunaan bensin apakah sistemnya full to full atau sampai di rumah tidak diisi lagi? Satu lagi pertanyaan saya, mobilnya diisi premium yah? Ga kasian ya itu camry minum premium tapi kok harganya murah banget masih 6500....
Sungguh perjalanan yang cepat jakarta- Sumbar 28 jam. Saya paling cepat baru bisa 32 jam (perjalanan saja)..... pakai nginep sih maklum single fighter. Bagi saya mudik bukan hanya soal ada tidaknya magnet dikampung tapi juga menikmati perjalana bersama keluarga kecil saya. Terlebih anak saya dan keluarga sangat senag sekali momen mudik menggunakan jalur darat ini.
Pertanyaan saya penggunaan bensin apakah sistemnya full to full atau sampai di rumah tidak diisi lagi? Satu lagi pertanyaan saya, mobilnya diisi premium yah? Ga kasian ya
mantap...saya suka memang agak aneh juga kenapa masih ada jalan yang rusak, saya juga mengalami waktu pulang mudik tahun 2015 kemarin dari Bandung
mantap...saya suka memang agak aneh juga kenapa masih ada jalan yang rusak, saya juga mengalami waktu pulang mudik tahun 2015 kemarin dari Bandung
mantap bro...persis kisah sy plg ke mertua ke sipahutar akhir tahun 2015 melintasi jalur tengah dan sy setir sendiri mobil dngn memakan waktu 3 hari 3 malam pun begitu dgn belik kejakarta lagi...luarbiasa ini pengalaman saya pertama kali pakai mobil ke sumatera..
Post a Comment