Tentang Penulis:
Setelah mendapatkan posisi
manager dengan fasilitas gaji yang baik, kendaraan, rumah yang layak serta
isteri yang cantik... he he he. Sepertinya saya mulai masuk ke dalam confort
zone atau wilayah nyawan dari kehidupan. Betapa tidak, dari segi penghasilan
kami sudah sangat cukup karena waktu itu saya masuk kelompok DINK (double income no kid)
perhasilan dobel dan tidak punya anak. Apalagi di tahun kedua pernikahan kami,
semua hutang-hutang yang kami perlukan pada saat persiapan pernikahan sudah
lunas semua, nyaris tidak ada lagi kewajiban besar yang harus kami bayar.
Satu-satunya kewajiban kami adalah cicilan rumah yang jumlahnya jika dibandingkan
dengan total gaji setiap bulan kami tidak sampai 10%. Setiap hari adalah
waktu-watu yang menyenangkan. Pulang kerja tak jarang kami ngeluyur dulu ke
mall, ke bioskop atau ke tempat lain. Di akhir pekan itu waktu yang lebih
menyenangkan lagi, kami bisa bepergian ke luar kota, ke Bandung, Puncak, Anyer,
Bogor dan lain-lain. Sering pula kami mendapatkan fasilitas penginapan gratis
dari rekanan kantor isteri saya yang sering menggunakan fasilitas hotel untuk
pertemuan training untuk para agent dan salesmen dari perusahaannya. Kadang
kami berangkan Jumat sore selepas kerja, kembali Senin pagi dari Puncak dan
langsung ke kantor. Setiap tahun pulang kampung dan setiap tahun pula jalan-jalan ke luar negeri. Saya bersyukur karena kami sempat mempunyai masa-masa indah
seperti itu.
Nah,mungkin kondisi seperti ini
yang menyebabkan karir saya mulai jalan di tempat alias mandeg. Saya tidak
mempunyai tantangan besar lagi yang harus dikejar. Kalau dilihat dari hasil dan
produktif kerja saya sebenarnya tidak mengalami penurunan. Saya tetap berhasil
mencapai target yang sudah ditentukan oleh perusahaan bahkan beberapa kali jauh
diatas target. Tapi mungkin manajemen melihat saya tidak seantusias seperti
tahun-tahun sebelumnya. Saya tidak lagi sering bekerja lembur dan pulang larut
malam. Sering saya pulang jam lima tenggo (lonceng berbunyi lima kali dan
langsung go). Saya buru-buru berangkat menjemput isteri saya ke kantornya yang
lumayan jauh dari kantor saya. Kami harus pulang bersama karena rumah kami jauh
dan kalau sudah malam tidak ada kendaraan umum yang melintasi komplek kami.
Jadi, saya harus menjemput isteri agar dia tidak kesulitan untuk pulang. Hal
seperti itu saya lakukan hampir setiap hari. Di lain pihak kondisi pekerjaan di
kantor juga tidak terlalu banyak karena saya bertugas memimpin sebuah unit yang
klien-kliennya sudah ditentukan dan tidak terlalu dituntut untuk mendapatkan
klien baru.
Suasana kerja di IBS waktu itu juga
sudah banyak berubah. Para tenaga expatriate asal Eropa pada tahun itu banyak diganti
dengan expats asal Malaysia. Awah tahun
92 ada tiga orang expats asal Malaysia yang bergabung dengan IBS. Pertama Tom
Tan, yang menduduki posisi sebagai kepala Corporate Head Division menggantikan
Francis Woolf. Kemudian ada Sonny Cheah yang menduduki posisi setingkat Senior
Manager tapi lebih banyak memberikan advis dan konsultasi mengenai teknis dan
produk-produk asuransi. Dan yang terakhir adalah David Cheah, yang posisinya
lebih sebagai senior manager yang langsung menangi klien-klien. Saya mempunyai
hubungan yang sangat baik dengan ketiga sahabat baru ini. Secara budaya dan
kebiasaan kami mempunyai banyak kesamaan. Demikian juga dengan bahasa, meski
ketiga orang ini sehari-hari berbahasa Inggris tapi mereka juga paham jika
untuk hal-hal tertentu saya jelaskan dalam bahasa Indonesia. Mereka bisa
berbahasa Indonesia, hanya saja mereka sulit untuk mengungkapkannya. Dengan Tom
Tan saya sering berdiskusi banyak mengenai pembenahan dan koreksi dari
dokumen-dokumen asuransi yang selama ini banyak kami gunakan. Tom seorang yang
sangat melankolis dan detail. Dia bisa menemukan banyak kesalahan di dalam teks,
placing slip, proposal. Untuk setiap koreksi yang dia temukan di akan
menempelkan sticker post it warna kuning di ujung setiap baris tulisan itu dan
menuliskan dengan pensil koreksinya. Sering kesalahan terjadi karena kebiasaan
bahasa kita yang sering mengikuti penulisan gaya bahasa Belanda. Tom begitu
tekun mempelototi baris-demi baris, halaman demi halaman sampai dia yakin betul
bahwa tidak ada satu hurufpun yang salah. Secara pribadi Tom Tan sangat
menyenangkan dan sangat sabar. Meski dia menemukan begitu banyak kesalahan yang
sangat memalukan tapi dia tidak pernah menunjukkaannya kekecewaan dengan muka
marah. Dia hanya minta untuk dikoreksi saja. Selain seorang yang Melankolis,
Tom Tan juga seorang yang senang bercerita dan sangat enak diajak bicara.
Dengannya saya sering sampai larut-malam berbicara mengenai banyak hal termasuk
masalah politik, hubungan antara Malaysia dan Indonesia. Mengenai hobbynya main
badminton. Waktu itu pemain badminton terbaik dunia adalah Joko Supriyanto.
Dengan bercanda dia sampaikan bahwa dia sangat kecewa karena tidak ada satupun
pemain Malaysia yang dapat mengalahkan Joko. Tapi sekarang sepertinya harapan
Tom Tan sudah terwujud, pemain nomor satu dunia saat ini adalah Lee Chong Wey
dari Malaysia. Informasi terakhir saya dengar bahwa Tom tinggal di Singapura.
Dia mempunyai bisnis bersama Brian Dallamore dan beberapa orang rekan ex IBS
lainnya. Saya doakan semoga Tom sukses di tempatnya yang baru.
Dengan Sonny Cheah, saya juga
mempunyai hubungan baik. Bahkan hubungan kami terus berlanjut hingga saat ini
ketika kita sudah lama keluar dari IBS. Ketika di IBS, Sonny lebih banyak
terlibat di dalam menyempurnakan program-program asuransi yang sudah berjalan.
Salah satu hasil kolaborasi saya dengan Sonny adalah penyempurnaan Heavy
Equipment Insurance. Sebelumnya program asuransi Heavy Equipment masih sangat
standard mengikuti Munich Re form. Kemudian dengan Sonny kami tambahkan banyak
sekali klausula sehingga jaminannya menjadi sangat luas termasuk inland
transit, otomatic repair dan lain-lain. Saya yakin itulah program asuransi alat
berat yang paling luas pertama kami dibuat. Setelah itu barulah format itu
diikuti oleh banyak perusahaan asuransi dan broker asuransi yang lain. Sonny
tidak terlalu lama di IBS, mungkin kurang dari satu tahun setelah itu dia
pindah ke perusahaan lain di Jakarta juga. Pada tahun 1996 ketika saya mulai
merintis perusahaan pertama saya, saya kembali mengajak Sonny bekerjasama
ketika itu Sonny menjadi technical advisor di asuransi Zurich Insurance
Indonesia. Kami kembali melanjutkan program Heavy Equipment Insurance
(Specially designed) yang beberapa tahun lalu kami buat. Kerjasama kami
berjalan baik dan menghasilkan banyak nasabah. Namun kerjasama program ini
tidak bisa tertahan lama, pada tahun kedua ketika jumlah klaim yang terjadi
sangat tinggi pihak Zurich menghentikan program ini. Tapi dengan Sonny hubungan
kami tetap baik. Kami masih sering bertemu ataupun hanya sekedar say hello
saja. Salah satu yang menarik dari Sonny adalah pengetahuannya yang begitu luas
tentang banyak hal khususnya asuransi. Dia pernah melontarkan pemikiran bahwa
satu saat pasar asuransi syariah di Indonesia akan sangat besar, bahkan bisa
lebih besar dari yang ada di Malaysia. Meski dia bukan seorang Muslim tapi dia
memahami betul bahwa konsep asuransi syariah jauh lebih bagus dari konsep
asuransi konvensional. Apa yang dibayangkan oleh Sonny sekitar 10 tahun lalu
kita mulai menjadi kenyataan. Produk asuransi syariah mengalami perkembangan
pesat. Setiap tahun rata-rata tumbuh 60% sementara asuransi konvensional hanya
bertumbuh sekitar 20% saja. Terakhir saya bertemu dengan Sonny sekitar tiga
tahun lalu di Cilandak Time Square (CITOS). Kami pertemu untuk urusan
pembiayaan proyek. Sonny mempunyai rekan bisnis yang memerlukan pembiayaan
untuk pabrik gula sementara saya mempunyai sahabat seorang financial advisor
pak Paul Braibant. Namun tampaknya untuk proyek ini tidak ada kecocokan sehingga kerjasama itu
hingga saat ini belum terwujud. Menurut penuturannya Sonny masih betah tinggal
di Indonesia dan ogah balek ke Malaysia. Anaknya perempuan satu-satunya
Medeline juga sudah besar dan bekerja sehingga tidak ada hal yang terlalu
mengkhawatirkannya.
Dengan David Cheah kami pernah
perkunjung ke beberapa klien, kalau istilah pak Jokowi (Gubernur DKI) kami “blusukan”.
Salah satunya kami pernah berkunjung ke salah satu perusahaan supplier makanan
khusus dari Eropa yang kantornya di sekitar Ancol. Pimpinannya seorang wanita
separoh baya Indo Italy yang agak galak. Saya masih ingat bagaimana lucunya bahasa
tubuh David mengangguk mengikuti arahan sang boss. Berbeda dengan dua orang
sahabatnya yang lain, David tinggal di Indonesia sendiri, saat itu dia belum
punya isteri walau secara umum kelihatannya dia cukup tua. Untuk mengisi
waktunya di sore dan malam hari atau hari libur, kami sering bermain tennis.
Walau tubunya tambun dan besar tapi gerakan dan pukulan bolanya bagus dan
keras. Seperti dengan Sonny, David juga tidak terlalu lama bergabung di IBS
saya kiranya sekitar enam bulan saja. Setelah itu dia kembali ke Malaysia. Pada
pertengahan tahun 1993 ketika saya berkunjung ke Malaysia saya sempat menemui
David. Waktu itu dia sudah bekerja dan menjadi salah satu direktur di
perusahaan asuransi milik konglomerat Malaysia. Tapi luar biasanya David tetap
menjadi sahabat yang baik dan mau menemui saya. Bahkan dia memberikan
penghargaan yang luar biasa kepada saya. Setelah saya sampai di Kuala Lumpur
saya menelpon David dan membuat janji untuk bertemu. Sesuai dengan rencana dia
menjemput saya di hotel dan kemudian kami pergi makan malam. Karena saya ke
Malaysia dalam rangka liburan sehingga saya hanya membawa pakaian santai saja.
Ternyata David mengajak saya makan malam di Royal Selangor Club di kawasan
Merdeka Square tempat kaum elit Malaysia berkumpul. Begitu masuk saya langsung
merasa rendah diri, betapa tidak semua tamu mengenakan jas lengkap dengan dasi
dan sangat terlihat begitu resmi. Sementara saya, mengenaikan t-shirt, calana
jean dan sepatu cats. Tapi David dengan tenang mengajak saya duduk di kursi
tempat beberapa orang rekannya telah lebih dahulu sampai. Saya diperkenalkan
satu-persatu. Diantara yang hadir ada pula isteri David yang baru saja
dinikahinya. Itulah pertemuan terakhir saya dengan David Cheah. Informasi yang
terakhir saya dengar bahwa sejak beberapa tahun lalu David menjadi President
Director dari salah satu perusahaan asuransi besar di Malaysia. Saya berharap
bisa bertemu kembali denganya dalam waktu dekat.
Selain dengan kedatangan tiga
orang expatriates, ada pula perubahan di group saya. Setelah pak Irvan Rahardjo
keluar setahun sebelumnya, jabatan Senior Manager di group saya menjadi kosong.
Sebagai penggantinya perusahaan merekrut pak Jacob Kosasih yang sebelumnya
sudah saya kenal. Beliau ini sebelumnya menjadi salah seorang manajer di
asuransi Raksa Pratikara rekan kami juga. Masuknya pak Jacob memberi warna baru
bagi group kami. Sekarang kami mulai agresif mengejar prospek-prospek baru.
Kami banyak menggarap ex klien pak Jacob yang banyak di bidang industri
manufaktur yang ada di kawasan Tangerang, industri woodworking di Cilegon dan
lain-lain. Kami sering pergi bersama-sama dan sepanjang perjalanan kami banyak
bercerita. Usia kami hanya terpaut satu tahun, pak Jacob lebih tua satu tahun
dari pada saya. Yang menarik adalah pak Jacob ini adalah lulus S1 di Taiwan
sementera pendidikan SMA nya di Bangka. Namun, kerjasama saya dengan pak Jacob
tidak berjalan lama, mungkin tidak lebih dari enam bulan setelah itu pak Jacob
keluar karena dia diminta kembali untuk bergabung dengan Asuransi Raksa. Namun
beliau tidak hanya sekedar diminta untuk kembali tapi menjadi President
Director dari perusahaan itu. Satu lompatan karir yang luar biasa. Setelah pak
Jacob kembali ke Raksa, posisi senior di group kembali kosong. Saat itu saya
mulai mempunyai fikiran bahwa kenapa bukan saya yang mengisi lowongan itu. Toh
saya sudah bisa buktikan, sepeninggal pak Irvan group saya tetap sukses dan
tumbuh. Kemudian setelah pak Jacob masuk saya tidak keberatan untuk bekerjasama
dan juga berhasil. Tapi, manajemen mempunyai pandangan lain. Mereka mencari
pengganti pak Jacob dari luar, bukan saya yang dipromosikan. Akhirnya masuklah
orang pengganti yaitu rekan dari pak Jocob juga. Saya juga kenal dengannya
sebelumnya. Saya dengan lapangan dada menerima kenyataan ini dan siap
bekerjasama dengan senior manager yang baru. Secara kwalitas orang ini jauh di
bawah pak Jacob. Atau mungkin dia tidak cocok dengan cara kerja broker karena
sebelumnya dia bekerja di perusahaan asuransi. Sepertinya dia tidak begitu “in”
dengan IBS. Akhirnya setelah tiga bulan dia mengundurkan diri. Nah, kembali
posisi senior manager menjadi lowong. Saya semakin yakin bahwa ini adalah giliaran
saya untuk menempati posisi itu. Tapi perusahaan hanya membiarkan posisi itu
kosong hingga hampir satu tahun. Saya secara langsung memang tidak berani meminta.
Saya berharap manajemenlah yang memberikan kesempatan itu karena mereka sudah
melihat hasil kinerja saya dan juga sudah membuktikan tidak mudah menemukan
orang dari luar yang cocok untuk menempati posisi itu. Dua tahun telah berlalu
tapi tidak ada tanda-tanda bahwa kesempatan itu akan diberikan kepada saya.
Saya sudah mulai merasa tidak nyaman dengan kondisi ini. Apalagi saya merasa
sudah lebih dari siap untuk menduduki posisi itu karena saya sudah lebih dari
dua tahun manjabat sebagai menager dan sudah saatnya saya mendapatkan promosi
lagi. Sembari berusaha menunjukkan kinerja yang lebih baik tapi saya mulai
berfikir untuk mencari kesempatan yang lebih baik di luar. Saya mulai
kasak-kasuk mencari adanya lowongan di perusahaan lain. Banyak yang memberi informasi
tapi akhirnya tidak ada satupun yang cocok dengan saya. Harus saya akui bahwa gaji
dan semua fasilitas yang saya dapatkan di IBS saat itu sudah sangat baik dan
tidak ada perusahaan lain di industri asuransi yang mampu memberikan seperti
yang saya dapatkan. Saya sempat mendapatkan lowongan yang cukup baik di broker
milik sebuah konglomerat. Dari segi gaji tidak jauh lebih baik, dari segi
fasilitas saya akan mendapatkan kendaraan sedan 1.500 cc. Tidak terlalu
istimewa juga. Tapi yang membuat saya tidak tertarik bahwa perusahaan ini
perusahaan kecil, tidak mempunyai sistem dan tugas utama saya adalah membangun dan membesarkan perusahaan
itu. Hah, dengan gaji sebesar itu, dengan kondisi kerja yang jauh lebih buruk
tapi tuntutan kerjanya jauh lebih besar. Tentu saja saya tolak penawaran itu.
Peluang kedua saya dapatkan dari sebuah perusahaan broker asuransi milik
konglomerat juga. Mereka sedang mempersiapkan perusahaan itu menjadi perusahaan
besar. Mereka siap untuk melakukan perombakan dan berinvestasi. Dari segi gaji
mereka sanggup memberi lebih besar, dari segi kendaraan juga lebih bagus, mereka
menyediakan sedan 2.000 CC. Tapi tantanganya sama, yaitu membangun perusahaan
itu menjadi perusahaan besar. Hampir saja saya memutuskan untuk mengambil
kesempatan itu, namun saya batalkal. Karena di dalam wawancara terakhir dengan
perwakilan perusahaan sal mengatakan kepada saya begini “pak Taufik dari segi
gaji bapak dapat sudah lebih besar, demikian juga dengan kendaraan dan saya
yakin bapak sudah mendapatkan yang jauh lebih baik dari IBS”. Lalu dia
melanjutkan “pak ngomong-ngomong kira-kira klien-klien apa saja yang akan bapak
bawa dari IBS untuk pengembangan bisnis kita nanti?” wah, dada saya bergemuruh
mendengar pertanyaan orang ini. Ternyata dia merekrut saya dengan gaji yang
lebih besar dari hasil klien-klien yang saya bawa. Saya tidak ada punya niat sama
sekali untuk membawa satupun klien dari IBS. Walau sekalipun saya sudah tidak
di IBS lagi. Itu bukan cara berfikir saya. Saya selalu berfikir bahwa saya akan
mengerjakan klien baru di tempat baru. Saya mempunyai etika bisnis yang baik
dan saya akan terus menjaganya. Kemudian dengan suara pelan saya memberikan
jawaban kepada orang itu “oh begitu ya pak, saya memang mempunyai banyak klien
saat ini tapi saya tidak akan menjadikan klien-klien itu sebagai klien saya di
tempat bapak. Saya bisa mencari klien yang lain” kata saya. Tapi saya sudah
terlanjur kecewa dengan cara berfikir orang ini. Orang ini sangat pintar tapi
kurang bijaksana. Dia berani memberi gaji lebih besar, tapi saya harus
menggantinya dengan mengorbankan nama baik saya dengan “mencuri” klien IBS yang
saya handle. Itu artinya saya membayar gaji saya sendiri. “Kalau begitu saya membuat
perusahaan sendiri saja” kata saya dalam hati. Ternyata pernyataan saya yang
terakhir itu yang terus bergejolak di dalam jiwa saya. Dari pada saya melamar
kerja kesana-kemari tapi tidak ada yang lebih baik atau yang cocok, lalu kenapa
saya tidak memulai bisnis saya sendiri saja? Setiap hari fikiran itu menggoda saya.
Makin lama fikiran itu terus berkembang apalagi setelah saya kaitkan dengan
masa lalu saya sebagai seorang agen asuransi. Saya telah memulainya tapi saya
belum berhasil. Mungkin sekarang saatnya bagi saya untuk berhasil menjadi agen,
menjadi pemilik usaha sendiri. Saya pun mulai mencari-cari informasi bagaimana
cara memulai bisnis sendiri. Bagaimana memulai agen asuransi. Saat itu tidak
banyak referensi buku tentang bisnis asuransi. Salah satunya buku yang saya
dapatkan di toko buku Gramedia karangan orang Malaysia yang judulnya saya sudah
lupa. Selain itu saya juga mempelajari buku-buku tentang bagaimana memulai
sebuah bisnis baru.
Sementera itu suasana kerja di
kantor tetap berjalan seperti biasa, hanya saya saja yang sudah semakin tidak
nyaman. Saya merasa karir saya sudah mentok di IBS. Sudah tiga tahun saya tidak
mendapatkan kenaikan karir dan promosi. Pernah satu kali saya beranikan diri
untuk bertanya kepada boss saya yang baru Peter Phillips namanya. Dalam
perjalanan ke kantor klien kami di daerah Cikarang di dalam mobilnya Toyoto Crown
saya tanyakan “Peter, by the way, senior manager position in my group have been
vacant for such a long time, do you think it is time for me to be promoted”
kata saya dengan sedikit ketakutan. Dengan sedikit gugup kemudian Peter
menjawan “yeah...yeah.. that’s right Taufik, we have been thinking about it,
that why we keep taking you out to meet client to improve your skill” hm.. hm katanya
dalam hati. “Apa, menurut manajemen saya ini masih belum bisa, belum siap
sehingga mereka masih perlu mengajari saya lagi bagaimana cara menghadapi
klien, bukankan pekerjaan itu sudah tiga tahun saya lakoni dengan baik sehingga
group saya bisa terus tumbuh dan berkembang?”. Jawaban Peter itu tidak dapat
saya terima. Saya yakin bahwa manajemen memang tidak serius memikirkan karir
saya. Sejak saat itu saya semakin mantap untuk keluar meninggalkan IBS. Tidak
ada gunanya lagi saya berlama-lama menghabiskan waktu di tempat itu. IBS memang
perusahaan bagus dan saya berhutang budi padanya. Tapi saya harus ke luar dan
memulai sesuatu yang baru. Hampir setiap hari saya mengumpulkan informasi dan
data untuk mendirikan usaha sendiri. Saya juga berdiskusi dengan isteri saya.
Dia awalnya sangat keberatan kalau saya keluar dan berhenti apalagi untuk
memulai usaha sendiri. Tapi setelah saya jelaskan bahwa saya tidak punya
pilihan lain kecuali kalau mau menerima kenyataan hidup dengan karir yang
mandeg, hidup dalam tekanan terus-menerus. Sementara itu isteri saya juga mulai
mencari informasi mengenai karir sebagai pengusaha. Kebetulan hampir semua
suami dari rekan-rekannya di kantor adalah pengusaha. Dan mereka memberikan
masukan yang positif bahwa menjadi pengusaha itu juga bagus. Maklum, isteri
saya anak dari pegawai negeri. Ibu dan bapaknya adalah pegawai yang setiap
bulan sudah mempunyai penghasilan tetap. Dia sangat khawatir kalau saya
menjalankan bisnis sendiri nanti kami tidak akan punya penghasilan.
0 comments:
Post a Comment