Saya agak terlampat mendengar berita tentang musibah yang melanda kampung halaman ke 2 saya Cirendeu Situgintung yang terjadi hari Jum'at 28 Maret 2009 lalu. Saya tahu setelah menerima berita duka dari senior saya bp. Irvan Rahardjo. Awalnya saya tidak begitu kaget karena saya belum tahu apa yang sebenarnya terjadi. Setelah saya mengetahui begitu besarnya musibah yang terjadi saya sangat-sangat masygul dan besedih hati.
Sesuai running text di beberapa stasiun tv sesuai dengan info yang disampaikan oleh Fosko Bencana Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) kampusku tercinta bahwa sudah lebih dari 100 orang dinyatan meninggal dunia, hampir 200 orang hilang atau belum ditemukan dan hampir 200 orang pula yang mengalami luka berat dan ringan. Astagfirullah...
Gintung bagi saya adalah bak kampung halaman ke 2 setelah kampung saya di Sarik Laweh Payakumbuh. Di wilayah ini saya hampir 10 tahun bertempat tinggal. Awalnya di Logoso sebelah timur Situ Gintung, kemudian ke Pisangan sebelah di sebelah selatannya. Terakhir saya tinggal di Cirendeu sebelah barat dari Situ Gintung. Awalnya saya tinggal dan bekerja di PT Swarna Raya milik sepupu di Legoso. Kemudian tahun 95 mulai kuliah di Fakultas Ekonomi Unibersitas Muhammadiyah Jakarta di Cirendeu yang sekarang kampusnya mengalami kerusakan berat akibat bencana ini.
Terakhir sekali saya ke Situ Gintung adalah akhir Februari 09 lalu ketika mengajak my son Bobby bersama ayahku bermain-main di tempat permainan yang sangat indah di pingir Situ Gintung itu. 2 Minggu sebelum itu saya juga datang di acara pertemuan pertama alumni FEUMJ pada tanggal 8 Februari 2009 yang diadakan di tempat yang sama.
Setiap saat saya melewati dinding Situ Gintung yang jebol itu, saya senantiasa merasa mengeri dan miris karena kondisi dinding yang terlihat sekali tidak kokoh. Dari kejauhan terlihat tebal dinding bagian atas tanggul hanya sekitar 2 meter sedangkan tingginya sekitar 7 meter yang terdiri dari onggokan tanah saja tidak ada beton ataupun besi. Di bawahnya terdapat rumah pemukiman penduduk yang sedemikan banyaknya membentang dari ujung pinggir setu sampai ke pinggir kali Pesanggrahan sepanjang lebih kurang 1 km dengan kemiringan rata-rata 30 derjad. Setiap saya lewat dangan perasan takut saya senatiasa melihat ke ujung lembah sambil berfikir "jika tanggul ini jebol maka daerah itu akan terkena akibatnya".
Sekarang ketakutan saya sudah menjadi kenyataan, tanggul itu telah jebol dan telah merontokan ratusan rumah, menghanyutkan harta benda, serta menyebabkan meninggalnya ratasan jiwa dan menciderai ratusan orang lainnya.
Musibah ini telah terjadi, semuanya atas izin Allah. Tapi walaupun demikian rasanya musibah ini bisa dihindari jika saja pihak-pihak yang berkepentingan sejak dari awal sudah mengantisipasi kejadian ini. Kalau melihat lokasi Situ Gintung yang berada di puncak bukit dan di bawahnya terdapat ratusan mungkin ribuan rumah penduduk mestinya sudah langkah antisipasi pengendalian bencana jika tanggul jebol. Kondisi dinding tanggul memang secara kasat mata itu rapuh, hanya terbuat dari onggokan tanah dan tidak material lain seperti beton dan besi. Jelas ini tidak memenuhi standard untuk menahan tekanan air waduk yang semakin tinggi. Kalau dindingnya tidak bisa diperbaiki mungkin saja sebaiknya tingkat ketinggian air waduk dijaga agar jangan sampai terlalu tinggi, atau kalau mungkin waduknya di keringkan saja karena secara ekonomis fungsinya sudah hampir tidak ada karena tidak ada lagi sawah yang memerlukan air dari waduk itu.
Pihak yang berwajib juga kurang memperhatikan tingkat resiko dan memberikan peringatan kepada warga yang berada di sepanjang aliran kali kecil dari Situ Gintung untuk tidak membangun atau menempati dari sekitar itu karena sangat berbahaya jika waduk jebol.
Nasi sudah menjadi bubur, musibah telah terjadi tak ada lagi yang bisa perbuat kecuali berusaha menyelamatkan manusia dan harta yang tertinggal. Mengikhlaskan mereka yang sudah menjadi korban musibah ini dan merelakan harta benda yang rusak dan hilang kembali kepada pemilik yang paling berhak Allah SWT.
Kepada kita yang jauh dari musibah ini marilah kita ambil hikmahnya, bahwa kita manusia hanya bisa berusaha sebisa yang kita mampu tapi Allahlah yang paling menentukan. Jika Allah berkehendak maka kehendakNyalah akan akan terjadi.
Marilah kita senantiasa beserah diri kepada Allah dan berdoa semoga kita dijauhkan dari musibah dan bencana yang kita tidak sanggup untuk menanggungya.
Marilah kita berdoa semoga semua korban meninggal diterima di sisi Allah sebagai para shahid dan ditempatkan ditempat yang mulia di sisi Allah. Kepada yang sedang dirawat marilah kita bantu dan kita doakan semoga segera dipulihkan dari sakitnya. Semoga mereka diberi kekuatan iman dan dipulihkan semangat hidupnya untuk menjalani hari-hari barunya dengan suasana baru dan optimisme.
Jakarta 29 Maret 2009
Sesuai running text di beberapa stasiun tv sesuai dengan info yang disampaikan oleh Fosko Bencana Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) kampusku tercinta bahwa sudah lebih dari 100 orang dinyatan meninggal dunia, hampir 200 orang hilang atau belum ditemukan dan hampir 200 orang pula yang mengalami luka berat dan ringan. Astagfirullah...
Gintung bagi saya adalah bak kampung halaman ke 2 setelah kampung saya di Sarik Laweh Payakumbuh. Di wilayah ini saya hampir 10 tahun bertempat tinggal. Awalnya di Logoso sebelah timur Situ Gintung, kemudian ke Pisangan sebelah di sebelah selatannya. Terakhir saya tinggal di Cirendeu sebelah barat dari Situ Gintung. Awalnya saya tinggal dan bekerja di PT Swarna Raya milik sepupu di Legoso. Kemudian tahun 95 mulai kuliah di Fakultas Ekonomi Unibersitas Muhammadiyah Jakarta di Cirendeu yang sekarang kampusnya mengalami kerusakan berat akibat bencana ini.
Terakhir sekali saya ke Situ Gintung adalah akhir Februari 09 lalu ketika mengajak my son Bobby bersama ayahku bermain-main di tempat permainan yang sangat indah di pingir Situ Gintung itu. 2 Minggu sebelum itu saya juga datang di acara pertemuan pertama alumni FEUMJ pada tanggal 8 Februari 2009 yang diadakan di tempat yang sama.
Setiap saat saya melewati dinding Situ Gintung yang jebol itu, saya senantiasa merasa mengeri dan miris karena kondisi dinding yang terlihat sekali tidak kokoh. Dari kejauhan terlihat tebal dinding bagian atas tanggul hanya sekitar 2 meter sedangkan tingginya sekitar 7 meter yang terdiri dari onggokan tanah saja tidak ada beton ataupun besi. Di bawahnya terdapat rumah pemukiman penduduk yang sedemikan banyaknya membentang dari ujung pinggir setu sampai ke pinggir kali Pesanggrahan sepanjang lebih kurang 1 km dengan kemiringan rata-rata 30 derjad. Setiap saya lewat dangan perasan takut saya senatiasa melihat ke ujung lembah sambil berfikir "jika tanggul ini jebol maka daerah itu akan terkena akibatnya".
Sekarang ketakutan saya sudah menjadi kenyataan, tanggul itu telah jebol dan telah merontokan ratusan rumah, menghanyutkan harta benda, serta menyebabkan meninggalnya ratasan jiwa dan menciderai ratusan orang lainnya.
Musibah ini telah terjadi, semuanya atas izin Allah. Tapi walaupun demikian rasanya musibah ini bisa dihindari jika saja pihak-pihak yang berkepentingan sejak dari awal sudah mengantisipasi kejadian ini. Kalau melihat lokasi Situ Gintung yang berada di puncak bukit dan di bawahnya terdapat ratusan mungkin ribuan rumah penduduk mestinya sudah langkah antisipasi pengendalian bencana jika tanggul jebol. Kondisi dinding tanggul memang secara kasat mata itu rapuh, hanya terbuat dari onggokan tanah dan tidak material lain seperti beton dan besi. Jelas ini tidak memenuhi standard untuk menahan tekanan air waduk yang semakin tinggi. Kalau dindingnya tidak bisa diperbaiki mungkin saja sebaiknya tingkat ketinggian air waduk dijaga agar jangan sampai terlalu tinggi, atau kalau mungkin waduknya di keringkan saja karena secara ekonomis fungsinya sudah hampir tidak ada karena tidak ada lagi sawah yang memerlukan air dari waduk itu.
Pihak yang berwajib juga kurang memperhatikan tingkat resiko dan memberikan peringatan kepada warga yang berada di sepanjang aliran kali kecil dari Situ Gintung untuk tidak membangun atau menempati dari sekitar itu karena sangat berbahaya jika waduk jebol.
Nasi sudah menjadi bubur, musibah telah terjadi tak ada lagi yang bisa perbuat kecuali berusaha menyelamatkan manusia dan harta yang tertinggal. Mengikhlaskan mereka yang sudah menjadi korban musibah ini dan merelakan harta benda yang rusak dan hilang kembali kepada pemilik yang paling berhak Allah SWT.
Kepada kita yang jauh dari musibah ini marilah kita ambil hikmahnya, bahwa kita manusia hanya bisa berusaha sebisa yang kita mampu tapi Allahlah yang paling menentukan. Jika Allah berkehendak maka kehendakNyalah akan akan terjadi.
Marilah kita senantiasa beserah diri kepada Allah dan berdoa semoga kita dijauhkan dari musibah dan bencana yang kita tidak sanggup untuk menanggungya.
Marilah kita berdoa semoga semua korban meninggal diterima di sisi Allah sebagai para shahid dan ditempatkan ditempat yang mulia di sisi Allah. Kepada yang sedang dirawat marilah kita bantu dan kita doakan semoga segera dipulihkan dari sakitnya. Semoga mereka diberi kekuatan iman dan dipulihkan semangat hidupnya untuk menjalani hari-hari barunya dengan suasana baru dan optimisme.
Jakarta 29 Maret 2009
0 comments:
Post a Comment