Sejak minggu lalu di
sosial media maupun di media masa marak berita tentang adanya ijazah palsu
yang beredar di tengah-tengah masyarakat. Para pemalsu ijazah pun beragam mulai
dari pegawai biasa sampai anggota dewan yang terhormat DPRD dan DPRRI. Berita
tentang ijazah palsu sebenarnya bukan isu baru, tapi kali ini muncul menjadi
isu nasional karena menyangkut para pemangku jabatan penting di pemerintahan
maupun wakil rakyat. Ditenggarai bahwa ada 18 lembaga pendidikan tinggi di
Indonesia yang menerbitkan ijazah palsu dan yang lebih seru lagi ternyata ada
lembaga pendidikan terbaik dunia yang mengeluarkan ijazah palsu untuk
peringkat doktor dan lain-lain. Pemerintah melalui Depertemen Pendidikan dan
Kebudayaan sudah membentuk tim investigasi untuk membuktikan sinyalemen ini.
Saya tertarik untuk
menulis tentang S3 ini karena minggu lalu ada dua berita yang saya dengar.
Pertama informasi mengenai beberapa pengusaha asal desa saya yang usahanya semakin maju. Ternyata mereka itu semua
para penyandang gelar S3. Masing-masing mereka mengelola bisnis beromset
miliaran rupiah dengan karyawan puluhan orang. Usia mereka juga relatif muda,
rata-rata di bawah empatpuluhan. Hasil produksi mereka dipasarkan tersebar hampir
di seluruh nusantara dan negeri tetangga. Nah yang menarik mereka itu ternyata sebagian besar lulusan S3 tapi dalam artian yang dipelesetkan yaitu SD, SMP dan SMA he he he.... Bahkan
banyak diantara mereka hanya lulusan S2 saja, alias tamatan SMP saja. Mereka
menekuni bisnis pembuatan dan distribusi sepatu wanita. Mereka memulai bisnisnya dari nol tampa modal. Mereka hanya bermodal tekad, kemauan untuk sukses,
rendah hati, penurut, sabar, costomer oriented, tidak neko-neko dan bertakwa
kepada Allah.
Bisnis itu mereka
rintis sejak sekitar 25 tahun lalu oleh beberapa orang. Kini mereka
menguasai bisnis ini dari hulu sampai hilir. Mereka mendapatkan bahan baku
yang berasal dari dalam dan luar negeri. Bahan mereka pergi berbelanja hingga ke China. Mereka juga menguasai desain dan model yang up
to date. Mereka paham sistim produksi yang efisien sehingga menghasilkan sepatu yang
berkwalitas tinggi. Harga pokoknya rendah
karena mereka menguasai bahan baku.
Mereka dikenal sebagai “ahli sepatu dari Payakumbuh” oleh para pedagang besar
sepatu sekelas Yongki Komaladi. Dari bisnis
ini mereka mampu membeli rumah, memiliki toko sendiri di Jakarta dan di kampung kami. Mereka
dengan rendah hati mau mengajarkan dan menularkan ilmu mereka kepada
saudara-saudara kami yang lain hingga sukses. Hal hasil, saat ini
tidak kurang dari 400an orang warga asal kampung kami yang berkecimpung di bisnis
ini. Ini kontras benar dengan pengusaha asal kampung saya yang lain, meski sudah mempunyai bisnis yang besar tapi tak satupun saudara sekampung yang bekerja bersamanya. Setiap lebaran mereka “pulang basomo” dengan mengendarai mobil pribadi dari Jakarta ke Payakumbuh
yang jumlahnya mungkin sekitar 100 buah.
Di lain pihak saya juga
mendengar ada yang benar-benar ingin melanjutkan pendidikannya ke S3 dalam arti yang
sesungguhnya yaitu pendidikan Strata tiga. Untuk bisa mewujudkan
cita-citanya dia berusaha dengan berbagai cara untuk memenuhi biaya
kuliahnya yang memang tidak murah. Kadang dengan
menggunakan kata-kata canggih berkwalitas tinggi yang memang hanya bisa
dipahami oleh orang-orang berpendidikan S2 minimum. Orang seperti saya yang hanya
lulusan S1 ini kelabakan menelaahnya. Setiap
orang pasti punya motivasi tersendiri untuk mencapai kelulusan S3. Saya pun
sempat punya keinginan untuk melanjutkan pendidikan S1 saya ke S2. Tahun lalu
saya sempat survey ke Prasetya Mulya dan beberapa kampus lainnya. Bagi yang
bergerak di bidang pendidikan meraih gelar S3 adalah cita-cita yang harus
diwujudkan karena selain untuk meningkatkan ilmu juga untuk membantu
kemajuan karir. Bagi yang ingin mendalami ilmu tertentu lalu kemudian
diterapkan di dalam bisnis sendiri atau menjadi professional itu juga sangat bagus
dan berguna. Saya sangat respect dengan salah seorang saudara saya yang meraih
S3 dengan ilmunya itu dia mampu menjadi CEO di salah satu perusahaan
terbesar di dunia. Sekali lagi, kembali kepada tujuannya masing-masing. Tapi kalau hanya untuk
sekedar ingin dihormati sebagai orang berilmu tinggi, mendapat jabatan yang
lebih tinggi atau untuk dianggap sebagai tokoh yang berkelas, sebaiknya perlu
dipertimbangkan lagi.
Apa perbedaan Antara S3
yang pertama dengan S3 yang kedua? Mereka sama-sama sukses. S3 yang pertama
mereka langsung melakukan praktek di lapangan, mereka bersentuhan
dengan dunia nyata. Mereka melakukan dari A sampai Z dengan berulang-ulang.
Sudah barang tentu mereka banyak melakukan kesalahan, mereka ulang lagi sampai
bisa. Mereka sering jatuh-bangun dalam berusaha yang benar. Pengalaman selama
bertahun-tahun akhirnya mengajarkan kepada mereka cara berbisnis yang baik. Dan mereka akhirnya menang. Mereka menerapkan ilmu yang diajarkan oleh Robert T
Kyosaki yaitu KISS (keep it simple and stupid). Biarkanlah terlihat sederhana
dan bodoh. Mereka berfikirnya sederhana. Setiap kesalahan langsung
diperbaiki, setiap kerugian ditanggung sendiri kemudian diatasi. Setiap masukan
dari pasar dan pelanggan mereka ikuti. Mereka tidak begitu mengikuti perkembangan ekonomi mikro maupun
makro. Mereka tidak mengikuti harga saham dan bursa efek. Mereka juga tidak mengerti
tentang berapa tingkat inflasi. Mereka tidak peduli dampak dari
perubahan kebijaksanaan pemerintah apalagi dampak ekonomi global. Saya jadi
teringat cerita dari seseorang pembicara di Network 21 tempo hari tentang
seorang pengusaha sukses imigran asal China di New York. Alkisah pada saat pertama kali
sampai di New York dia lansung berjualan hamburger. Mulai dari sebuah lapak kecil
kemudian ia berhasil membangun menjadi jaringan kedai hamburger terbesar di sana. Dari
hasil usahanya itu ia sukses menyekolahkan anaknya di sekolah bisnis yang terbaik. Ketika ditanya apa rahasia suksesnya, dia hanya menjawab "saya meningkatkan produksi berdasarkan penjualan hari sebelumnya". Setelah
tua kemudian anaknya yang lulusan dari sekolah bisnis itu yang
meneruskan. Dengan ilmu yang didapatnya di bangku kuliah si anak menggunakan semua
analisa untuk menjalankan bisnis warisan orang tuanya. Hal hasil,
beberapa tahun kemudian bisnis itu bangkrut. Kenapa? Anda coba jawab sendiri
yah... he he he..
Lalu bagaiamana dengan
saya? Sepertinya saya tidak akan menjadi S3 yang
sesungguhnya. Saya mungkin mempunyai keterbatasan inteligensia untuk
menempuh pendidikan sampai pada tingkat itu. Untuk lulus S1 saja saya capai dengan
susah payah. Seperti yang saya jelaskan diatas, pernah terlintas di benak saya
untuk melanjutkan ke S2 manajemen dua tahun lalu, tapi hari ini saya putuskan
untuk tidak. Pertama karena saya akan kesulitan mengikutinya karena materi
pelajarannya cukup berat walaupun itu mengenai bisnis. Kedua, tidak ada
urgensinya bagi saya karena karir saya tidak memerlukan ijazah
S3. Ketiga saya mungkin akan kehilangan waktu bersama keluarga dan bermain golf. Mungkin nanti bisnis saya yang akan memerlukan orang-orang yang berkwalitas dengan
pendidikan S2 atau bahkan S3. Oleh karena itu saya akan mengikuti nasehat ibu mertua
saya saja yaitu “not to be but to get”. Not to be S3 but to get S3 atau tidak
usah jadi S3 rekrut saja karyawan yang S3”.... Saya siap untuk memberikan
beasiswa kepada karyawan yang mampu dan bersedia untuk itu.
Saya merasa senasib dengan
saudara-saya pengusaha sepatu. Saya ini S3 praktek yang kebetulan sempat lulus
S1. Saya ahli asuransi karena sering praktek. Saya bisa menjual karena sering
ditolak. Saya menjadi pengusaha karena saya bukan seorang salesman yang hebat. Saya
punya ilmu karena sering salah, gagal dan dikritik bahkan dilecehkan.
0 comments:
Post a Comment