Hari-hari saya sebagai tukang kayu semakin berat.
Karena ingin menghemat ongkos, saya memutuskan untuk tinggal di bengkel. Bagi
anda yang sudah pernah ke bengkel perabot anda sudah dapat membayangkan seperti
apa suasananya. Bagi yang belum saya akan berikan gambaran kondisinya sebagai
berikut. Sebuah bangunan yang terdiri dari kayu-kayu bekas berdiri di atas
tanah lebih kurang seluas lima ratus meter. Di bagian depan sebelah kanan
digunakan untuk kantor administrasi tempat boss dan beberapa orang staffnya
bekerja. Ruang kantornya sangat sederhana, berlantai semen, dinding terbuat
dari kisi-kisi kayu bekas, kulit kayu jati. Pintunya juga dari kulit kayu
jati yang tidak terpakai. Sekilas kondisi bangunan kantor itu seperti kandang
kuda. Tidak ada a/c, bahkan kipas angin pun tidak. Meja, kursi dan lemari
terdiri produk yang ditolak oleh pelanggan atau barang cacat. Bangunan kantor
itu adalah bagian yang paling bagus diantara bangunan lainnya. Di sebelah kiri
depan adalah ruangan stock kayu dan triplek dan ruang mesin potong kayu. Bagian
ini dibuat dua lantai. Saya tidur di lantai dua persis diatas mesin potong kayu
itu. Mesin potong itu dihidupkan dengan menggunakan bahan bakar solar. Sisa pembakaran
solar itu menempel di sekitar bangunan menyebabkan seluruh ruangan berwarna
hitam dan bau. Tak ketinggalan lantai dua tempat saya tidur. Disitulah saya menghabiskan
malam-malam saya berteman dengan nyamuk
dan bau sisa solar. Di bagian belakang ada ruang produksi, terdiri dari ruang
kerja tukang kayu lengkap dengan meja serut tempat para tukang tidur. Di antara
kantor dan gudang kayu dan mesin potong ada tempat proses pengecetan menggunakan
cat duco. Nah bau cat itu juga sangat menyengat hidung di malam hari.
Rutinitas pekerjaan sebagai tukang perabot sangat monoton dan membosankan. Setelah sarapan apa adanya di warung tegal dekat bengkel, jam 8 suara bell dari ruang
kantor berbunyi, saya dan puluhan tukang lainnya siap memulai tugas hari itu. Saya
sering kebagian pekerjaan finishing. Pekerjaan ini meliputi mengamplas
permukaan kayu yang masih kasar. Mendempul bagian-bagian yang berlobang.
Setelah pekerjaan tahap awal ini selesai, barulah dilanjutkan dengan tahapan
pengecatan. Bahan cat yang digunakan waktu adalah politur. Bahan
politur terbuat dari serpihan sirlak berwarna kuning. Kemudian dicampur dengan
cairan spiritus dan diaduk. Sirlak akan mencair menjadi berbentuk cat yang siap
untuk dioleskan ke permukaan kayu. Cara pengecatan tidak menggunakan kuas
akan tetapi menggunakan jari. Jari di balut dengan kain kaos bekas kemudian dicelupkan
ke dalam larutan sirlak dan baru dioleskan ke permukaan kayu. Untuk mendapatkan
hasil yang maksimal proses ini harus dilakukan berulang-ulang hinga warna
kayunya berwarna kuning mengkilap. Akibtanya jari-jari saya berwarna kuning kemerahan-merahan dan bau cat.
Kadang ada kegiatan lain sebagai variasinya. Misalnya membeli bahan perabot ke
toko-toko. Membeli kayu, triplek, kusen dan lain-lain. Kayu jati dibeli di
daerah Pulogadung. Kayu jati gelondongan dibeli dan langsung digergaji di tempat dan dipotong sesuai
dengan ukuran yang dipesan. Saya harus menunggu seharian sampai kayu selesai
digergaji dan diangkut menggunakan truk ke bengkel. Ada juga kegiatan belanja
keperluan bengkel seperti cat, amplas, kape, paku dan lain-lain di toko
bangunan yang tak jauh dari bengkel. Kegiatan lain adalah mengantar perabot
yang sudah jadi ke tempat pelanggan. Pelanggan kami waktu itu kebanyakan orang
asing yang tinggal di daerah Kemang, Bangka, Cilandak, Pondok Indah dan
sekitarnya. Kami juga mempunyai pelanggan perusahaan terutama perusahaan minyak
dan Bank Indonesia. Tugas saya pertama-tama adalah mencari dan mercarter truk pick up sewaan sesuai dengan
ukuran barang. Kemudian menaikkannya ke atas truk. Mengikat dan mengawasi
barang selama dalam perjalanan. Saya duduk sambil berdiri memegangi
barang-barang yang kami kirim. Begitu sampai saya ikut pula
menurunkannya. Meletakkan di tempat yang sesuai dengan permintaan pelanggan. Saya
sempat memanfaatkan keahlian bahasa Inggiris saya ketika saya menjelaskan
mengenai barang-barang yang kami antar kepada pemiliknya yang orang asing. Pekerjaan
ini cukup menyenangkan buat saya. Namun menjadi tidak menyenangkan
ketika saya sudah mulai kuliah. Karena bengkel saya dekat dengan kampus, setiap pengiriman saya harus melewati kampus
saya di kawasan Cirendeu. Saya sangat malu jika ada teman-teman kuliah melihat saya sedang berdiri di belakang truk.
Apalagi kalau yang melihat teman-teman wanita. Wah, rasanya harga diri ini jatuh sekali. Saya menyembunyikan muka di balik lemari atau meja yang saya kirim.
Meski sudah beberapa bulan bekerja di bengkel saya tetap tidak bisa
menikmati pekerjaan saya. Bukan karena pekerjaan ini terlalu berat. Tapi karena pekerjaan itu
benar-benar tidak sejalan dengan cita-cita saya. Setelah satu tahun menjadi salesman asuransi, saya sekarang paham ada begitu banyak perkerjaan yang menarik dan menyenangkan. Saya ingin menjadi orang
sukses. Bekerja di perusahaan asing dengan gaji besar seperti saudara-saudara
saya. Bahkan sepupu saya Iryadi Arifin saat itu sudah bolak-balik ke luar negeri. Tapi kalau saya tetap melakoni pekerjaan ini, saya tidak akan pernah
berhasil mewujudkan cita-cita saya itu. Orang-orang yang ada
di bengkel tidak ada satupun yang sarjana. Bahkan kepala produksi yang menjadi
boss hanya lulusan STM. Meski dia sudah tahunan bekerja, dia tinggal masih di rumah
kontrakan. Saya harus merubah nasib
saya. Tidak bisa terus-menerus seperti ini.
Untuk memperbaiki diri, saya putuskan bahwa saya harus menambah ilmu.
Pertama saya mendaftar kursus mengetik setelah pulang kerja.
Untuk mempercepat kemampuan saya mengetik saya berlatih sendiri di bengkel dengan
menggunakan mesin tik kantor. Mesin tik itu diam-diam saya ambil di malam hari
melewati pintu jeruji. Saya ambil beberapa lembar kertas, lalu saya latihan
mengetik sepuas-puasnya. Hingga akhirnya saya benar-benar lancar. Sekarang saya boleh
bertanding dengan para sekretaris yang jago mengetik. Mereka pasti kalah dari
saya. Selain kursus mengetik saya juga berusaha meningkatkan ilmu saya. Saya membaca begitu banyak buku. Buku-buku itu saya pinjam paksa
(ambil he he he) dari dalam kantor. Boss saya seorang yang senang membaca.
Bukunya banyak sekali dan saya pilih semua buku berbahasa Inggiris lalu saya
baca sampai tamat. Bahkan beberapa buku sempat saya baca berulang-ulang. Saya
berfikir saya harus segera berubah untuk mengejar cita-cita saya.
saya harus punya ilmu yang banyak dan
cara yang terbaik untuk menimba ilmu adalah dengan berkuliah. Awalnya memang
saya tidak mempunyai minat yang kuat untuk kuliah. Pertama karena nilai ijazah
SMA saya cuma rata-rata enam lebih sedikit. Dengan nilai seperti itu sudah pasti tidak
bisa diterima di perguruan tinggi negeri. Saya sempat mengikuti
ujian masuk perguruan tinggi 2 kali tapi gagal. Sementara untuk masuk ke
universitas swasta saya tidak punya uang. Meski biaya kuliah waktu itu masih
sangat rendah baru sekitar satu jutaan. Tapi orang tua saya kondisinya juga lagi
tidak bagus. Saya tidak mau merepotkan untuk hal seperti ini. Lagi pula
di dalam keluarga kami sepertinya ada tradisi dimana kewajiban orang tua hanya sampai lulus SMA
saja. Selanjutnya terserah kepada masing-masing. Walaupun demikian hampir
seluruh sepupu saya lulus jadi sarjana. Mereka membiayai sendiri kuliahnya.
Memasuki tahun kedua bekerja sebagai tukang kayu saya putuskan bahwa saya harus
berkuliah. Ini juga berkat dorongan dari sepupu saya Rumsas Arifn dan Iryadi
Arifin yang sangat khawatir dengan masa depan saya. Dengan uang tabungan dari gaji sebagai tukang, kemudian ditambah uang dari hasil menggadaikan sawah milik ayah serta ditambah pula
oleh uang sepupu saya akhirnya pada pertengahan tahun 1985 saya mulai kuliah di
Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Jakarta. Sebuah perubahan
besar bagi saya. Ternyata suasana kuliah itu sangat menyenangkan. Banyak
teman-teman baru, dosen serta ilmu-ilmu baru yang sangat menarik. Satu semester
dapat saya lewati, tapi saya tidak lulus satu mata kuliah yaitu mata kuliah Pengantar Manajemen.
Saya tidak habis pikir kenapa saya tidak lulus mata kuliah ini. Semester kedua
pun dimulai. Awalnya berjalan lancar tapi ketika tiba saat ujian semester masalah
mulai datang. Saya harus membayar uang semester ditambah dengan kekurangan
uangan pendaftaran. Wow, ini masalah besar. Kemana lagi saya akan mencari uang
sebanyak itu. Tetapi bagi yang berharap dan meminta pasti ada jalan. There is
the will, there is the way. Begitulah pepatah orang barat. Saya berusaha
meminjam kesana kemari. Ada salah satu petinggi kantor saya namanya mas Eddy
Syam Hidayat yang dengan murah hati mau memberikan uang sebesar dua puluh
lima ribu rupiah. Uang sebanyak itu sangat membantu karena saya hanya perlu
sekitar seratus lima puluh ribu saja. Kemudian saya dekati salah seorang senior
teman kelas saya. Orangnya sudah bekerja dan mapan. Dia datang ke kampus naik
mobil Nissan Datsun warna hijau. Saya dekati orang ini. Saya jelaskan kondisi
saya. Ternyata dia bersedia membantu tapi lagi-lagi tidak sebanyak yang saya
perlukan. Kalau tidak salah dia membantu sebesar lima puluh ribu rupiah. Saya
sangat berterima kasih kepada sahabat baru saya ini. Dia adalah bapak Irvan
Rahardjo yang sekarang menjadi komisaris di perusahaan saya. Sungguh orang ini
mempunyai hati yang yang mulia. Padahal waktu itu kondisi ekonominya
juga lagi kurang baik karena isterinya akan melahirkan anaknya yang kedua. Tapi dia
rela untuk membantu meringankan beban saya. Saya bertemu orang baik kembali
setelah da Darlis Chan yang membantu saya waktu saya di AJB Bumiputera dulu.
Kekurangan uang akhirnya dapat diselesaikan. Salah satu caranya adalah kakak
sepupu saya Iryadi Arifin datang ke kampus bertemu dengan petugas sektretariat
untuk melobi agar saya diberi keringan. Kakak saya juga alumini fakultas ini
dan kenal dengan semua petugas disana. Semester kedua bisa saya lewati tapi
tidak dengan baik karena ada 2 mata kuliah yang saya tidak lulus. Salah satunya
pelajaran akutansi.
Back to Insurance. Again???
Saya mempunyai beban moril kepada pak Irvan Rahardjo
yang telah begitu baik mau memberikan pinjaman uang kepada saya. Setiap kali
bertemu saya merasa sungkan. Dari pada sungkan terus-menerus, saya sekalian
minta tolong agar dicarikan pekerjaan. Saya minta diajak bekerja di kantornya.
Beliau mengiyakan dan meminta saya untuk membuat lamaran. Setelah saya serahkan lamaran itu
ke kantornya beliau memberi tanggapan bahwa ternyata usia saya masih terlalu muda untuk
bekerja di perusahaannya. Perusahaannya perusahaan asing yang bergerak di bidang Broker Asuransi. “Asuransi
lagi?” Bisik saya dalam hati. Meski saya sudah mulai suka dengan kehidupan
orang asuransi tapi saya masih trauma dengan pekerjaan sebagai salesman atau
PDL. “Tapi ini lain, ini perusahaan broker asuransi. Kamu tidak harus bekerja
sales door to door, sudah ada nasabah yang dilayani” kata pak Irvan mejelasnkan
cara kerja di perusahaannya.
Kemudian pak Irvan meminta saya untuk membuat lamaran
kerja lagi kali ini ditujukan ke salah satu perusahaan asuransi yang lain, yaitu AIU
Indonesia. Awalnya saya tidak mau karena ini pasti di suruh jualan door to door
lagi. Tapi kata pak Irvan, lamaran ditujukan kepada temannya yang menjadi salah
satu manajer di sana, Kuswanta Kohar bukan kebagian agency. Akhirnya lamaran saya kirim dan beberapa
minggu kemudian saya mendapat jawaban. Isi jawaban mengabarkan bahwa surat lamaran
saya sudah diterima akan tetapi karena di bagian yang saya tuju sedang tidak ada
lowongan maka saya diarahkan kebagian agency untuk menjadi “salesman” lagi. Waduh…
teriak saya. Kenapa lamaran yang ada hanya sebagai salesman yah? Akhirnya saya
ikuti juga panggilan lamaran jadi salesman itu. Hal ini terpaksa saya lakukan
karena saya baru saja mengalami “musibah” di pekerjaan saya. Entah apalah sebabnya, hingga hari ini saya tidak tahu. Tiba-tiba saya kena skor dan gaji saya yang kecil itu
dipotong setengahnya. Saya yakin saya tidak melakukan dosa-dosa besar yang
membuat perusahaan itu rugi. Kesalahan yang sering dan secara sadar saya
lakukan adalah mark up uang transportasi. Sebenarnya bukan bukan mark up. Saya disuruh untuk berbelanja keperluan bengkel ke pasar Ciputat yang jaraknya sekitar
satu kilometer dari bengkel. Saya pergi jalan kaki tapi saya tetap minta
ongkos! Atau saya pergi ke daerah tertentu saya minta tambah ongkosnya dengan
menaikkan ongkos dengan adanya rute-rute perjalanan tambahan. Cuma itu saja
dosa saya yang saya tahu. Saya terpaksa lakukan karena lumayan bisa menambah uang saku saya.
Entahlah, mungkin karena kesalah kecil itu atau mungkin mereka punya agenda lain. Allahu 'Alam.
Akhirnya seperti di AJB Bumiputera 1912 dua tahun lalu
saya kembali mengikuti training asuransi. Kali ini saya ikut asuransi umum. Setelah satu minggu saya pun
selesai training dan resmi menjadi agen AIU Indonesia. Selepas training saya
mempunyai harapan besar untuk sukses karena menjual asuransi umum konon katanya jauh lebih
mudah daripada asuransi jiwa. Saya pun mulai melakukan prospecting ke toko-toko.
Hampir seluruh pertokoan di kawasan Blok M dan di Jakarta Selatan sudah saya
datangi. Setelah hampir 3 bulan hasilnya nol besar. Tak satupun saya mendapat
nasabah. Ternyata berjualan asuransi umum sama sulitnya dengan jualan asuransi jiwa
kata saya. Meski saya tidak berhasil tapi saya mendapat banyak ilmu dari
training di AIU yang kemudian menjadi bekal saya untuk sukses di industri
broker asuransi.
Setelah beberapa bulan dalam kondisi kekurangan uang.
Satu hari Ahamdulillah saya mendapat panggilan bekerja di salah satu perusahaan yang saya lamar melalui kotak pos. Untuk
meningkatkan kemungkinan untuk diterima, saya memang hanya melamar pada perusahaan yang
menawarkan dalam bahasa Inggris karena pelamarnya pasti lebih sedikit. Bahasa Inggiris adalah salah satu kelebihan
yang saya miliki. Satu-satunya angka 8 di dalam ijazah SMA saya adalah nilai bahasa
Inggris. Setelah datang untuk diinterview saya langsung diterima dan diminta
untuk segera masuk bekerja. Kali ini saya benar-benar bekerja di kantor sebagai staff di perusahaan
milik ibu Ratna Sari Dewi Soekarno, isteri bung Karno Presiden pertama Indonesia. Gajinya
sangat menarik. Saya terima gaji empat ratus ribu/ber bulan. Jumlah segitu lumayan besar
pada tahun 1986. Dari gaji itu saya sudah bisa bayar hutang pada pak Irvan,
bayar kontrakan, mengirimkan uang untuk orang tua serta modal untuk membuat
usaha kecil bersama adik-adik sepupu saya. Kami membuat usaha cuci-cetak foto.
Bekerja bersama ibu Dewi sebenarnya tidaklah begitu
menyenangkan. Beliau seorang yang bertemparament keras. Kalau beliau tidak suka terhadap
sesuatu beliau bisa marah besar dan kalau marah bisa seharian. Beliau juga bukan seorang
pebisnis yang handal. Maklumlah beliau memang tidak mempunyai latar belakang sebagai seorang pebisnis. Memang waktu perusahaan mempunyai banyak peluang karena ibu Dewi mempunyai jaringan yang sangat luas baik dari kalangan pemerintah maupunn dari kalangan swasta dan perusahaan asing. Tapi hanya
beberapa gelintir saja yang berhasil. Banyak karyawan yang keluar-masuk. Dalam
sebulan ada yang masuk lima orang yang keluar juga lima orang. Selama hampir dua
tahun saya disana saya sudah menyaksikan puluhan orang ke luar masuk. Tapi saya
tetap bertahan. Bagi saya pekerjaan itu masih jauh lebih baik dari pada menjadi
salesman atau bekerja di bengkel. Jadi omelan, cercaan dan segala macam kekecawaan yang
saya dapatkan di perusahaan itu belum seberapa di banding dengan dua pekerjaan
saya sebelumnya. Apalagi gajinya jauh lebih besar. Sebenarnya bagi saya
ibu Dewi seorang yang berhati baik. Beliau mempunyai rasa keibuan yang tinggi.
Dalam keadaan baik-baik
beliau banyak mengajarkan hal-hal yang bagus buat saya. Kadang saking kesalnya
beliau mengajari saya, sampai beliau mengatakan “Taufik, kamu bukan anak kandung
saya, jadi seharusnya saya tidak harus mengajari kami sampai seperti ini” . Beberapa
kali saya diajak menemui sahabat beliau. Satu kali saya diajak bertemu dengan
bapak Fany Habibie kakak kandung dari bapak BJ Habibie. “pak Fany perkenalkan
ini Taufik staff saya di kantor. Dia anak yang baik dan rajin. Kalau setahun
hari kerja sebanyak 365 hari, maka dia akan datang selama 365 hari dan tidak
pernah terlambat” . Demikian cara ibu Dewi memperkenalkan saya sekaligus
mempromosikan saya. Saking percayanya ibu Dewi kepada saya, saya diminta untuk
menunggui rumah beliau di jalan Suwiryo di kawasan Menteng ketika beliau cuti dan liburan ke luar negeri. Kunci rumah, kunci mobil semua diserahkan kepada saya. Kadang
sampai berbulan-bulan. Saya ikut menikmati pula gaya hidup di kawasan Menteng yang
terkenal itu. Tempat tinggal ibu Dewi hanya berjarak sekitar 150 m dari rumah
presiden Suharto di jalan Cendana. Pulang- pergi ke kantor saya mengendari
mobil pribadi bu Dewi B 8 RS Peugeut 505 RSi baru.
Sekali-sekali saya bawa juga mobil itu untuk jalan-jalan dan kampus.
Tapi selalu ada saat
berpisah. Satu hari, ibu Dewi marah besar kepada saya. Karena beliau menyalahkan saya karena
tidak membantu orang baru, akibatnya kami kehilangan peluang bisnis. Saya
sebenarnya tidak terlibat di proyek itu. Kesalahan sebenarnya ada pada orang
itu, dia yang tidak mempersiapkan dengan baik hingga kami kalah tender. Tapi karena
orang itu baru dan saya sudah lama, maka menurut ibu saya seharusnya yang
membantu dia. Tapi saya tahu, bahwa ibu sebenarnya tidak mau dan tidak enak memarahi
orang itu karena dia masih baru. Ibu Dewi sampai membanting kursi lipat di
depan saya. Saya pun mulai kehilangan kesabaran sehingga terucap kata-kata, “saya
mau keluar saja” kata saya kepada ibu. Yah, namanya boss pasti tidak terima dengan
sikap saya pada saat itu. Besoknya saya datang seperti biasa. Ibu memanggill
saya keruangannya. Dalam hati saya, inilah saat terakhir saya bekerja bersama ibu Dewi “ Taufik, anda tidak usah keruar, kerja seperti biasa aja”
kata ibu membujuk saya. Tapi saya sudah terlanjur patah arang. Saya sudah melamar kerja kesana-kemari. Saya mendapat panggilan kerja dari sebuah
perusahaan pembuat tinta di Kebayoran Lama. Gajinya lumayan besar. Lalu saya
pamit sama ibu. Tapi ibu menahan, “kamu dapat gaji berapa dari sana” katanya.
Saya sebutkan angka yang saya terima dan ibu menaikkan gaji saya menjadi enam
ratus ribu, jauh di atas gaji yang ditawarkan ditempat baru itu. Saya tidak
jadi pindah. Tapi saya terus mencari pekerjaan yang terbaik. Saya kembali menanyakan
kepada pak Irvan Rahardjo teman kuliah saya apakah di kantornya sudah ada
lowongan. Ternyata ada. Dan saya membuat lamaran dan syukur Alhamdulillah saya diterima. Kondisinya jauh lebih dan menyenangkan.
0 comments:
Post a Comment