![]() |
Bersama dengan Bp. Indra Wijaya, CEO Financial Services Division Sinar Mas Group |
Di kalangan orang asuransi ada istilah yang sering dikatakan
bahwa “bekerja di industri asuransi itu adalah kecelakaan”. Hal ini benar adanya, karena hampir tidak ada orang
yang sejak mudanya bercita-cita bekerja di industri ini. Sebagian besar
orang-orang yang berkarir di bidang asuransi hingga saat ini adalah “korban
kecelakaan”. Mereka masuk ke industri ini tanpa sengaja, mungkin karena terjebak
terutama para agen asuransi he he he. Atau hanya karena terdesak ingin segera bekerja
sehingga asal melamar saja dan akhirnya diterima. Ada pula yang hanya karena
ikut teman atau saudara yang telah terlebih dahulu bekerja di bidang asuransi.
Hal itupulah yang terjadi pada saya. Saya mendarat di Jakarta pada tanggal 25 May 1983. dua minggu kemudian saya sudah berada di ruang training Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912 Rayon Menteng tepatnya di jalan HOS Cokrominoto Jakarta Pusat. Saya tak pernah membayangkan bahwa saya akan secepat itu berada di tempat itu. Jenis pekerjaan yang dulu pernah terlintas di benak saya ketika meninggalkan kampung halaman saya di Sariek Laweh, Kabupaten 50 Kota, Sumatera Barat adalah menjadi pelaut alias anak buah kapal. Saya terinspirasi dengan anak majikan pemilik tempat kos saya di Payakumbuh yang sukses menjadi pelaut setamat STM. Setelah beberapa tahun, ketika pulangnya ia membawa duit begitu banyak hingga berhasil membangun perusahaan. Mengenai asuransi yang pernah saya dengar oleh saya sebelumnya hanyalah ketika mendengar pembicaraan orang tentang kebakaran besar yang sering melanda pasar-pasar seperti pasar ateh Bukittinggi, pasar Padang atau pasar Padang Panjang. Secara samar-samar banyak orang mengatakan bahwa ada asuransi yang mengganti biaya akibat kebakaran itu. Itu saja yang yang pernah saya tahu tentang asuransi dulu.
Hal itupulah yang terjadi pada saya. Saya mendarat di Jakarta pada tanggal 25 May 1983. dua minggu kemudian saya sudah berada di ruang training Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912 Rayon Menteng tepatnya di jalan HOS Cokrominoto Jakarta Pusat. Saya tak pernah membayangkan bahwa saya akan secepat itu berada di tempat itu. Jenis pekerjaan yang dulu pernah terlintas di benak saya ketika meninggalkan kampung halaman saya di Sariek Laweh, Kabupaten 50 Kota, Sumatera Barat adalah menjadi pelaut alias anak buah kapal. Saya terinspirasi dengan anak majikan pemilik tempat kos saya di Payakumbuh yang sukses menjadi pelaut setamat STM. Setelah beberapa tahun, ketika pulangnya ia membawa duit begitu banyak hingga berhasil membangun perusahaan. Mengenai asuransi yang pernah saya dengar oleh saya sebelumnya hanyalah ketika mendengar pembicaraan orang tentang kebakaran besar yang sering melanda pasar-pasar seperti pasar ateh Bukittinggi, pasar Padang atau pasar Padang Panjang. Secara samar-samar banyak orang mengatakan bahwa ada asuransi yang mengganti biaya akibat kebakaran itu. Itu saja yang yang pernah saya tahu tentang asuransi dulu.
Awal Juni tahun 1983 setelah dua minggu saya merasakan panasnya hawa Jakarta, saya diberitahu bahwa kantor
pusat di AJB Bumiputera 1912 yang waktu itu berada di kawasan Menteng Jakarta Pusat ada lowongan
untuk tenaga administrasi di bagian komputerisasi. Informasi ini diberikan oleh
om Sunarto adik ipar paman saya yang bekerja disana. Tak membuang-buang waktu,
saya segera membuat surat lamaran dan mengantarkannya sendiri meski saya belum
tahun jalan-jalan di Jakarta. Ketika saya sampai di depan pintu kantor itu, saya dicegat
petugas satpam. “Saya mau mengantarkan surat lamaran kerja” kata saya dengan penuh ketakutan. Setelah melihat surat lamaran saya, dia
memberi tahu bahwa yang ada lowongan ada di lantai dasar dari gedung berlantai 10 itu. Kemudian saya diantarkannya ke dalam. Saya dipertemukan dengan
seseorang. Dengan ramah dan penuh senyum orang itu menyalami saya dan mengajak
saya duduk di depan mejanya. Ruang kantornya besar bisa memuat kira-kira dua puluh orang. “Oh jadi saudara mau bekerja ya” kata orang yang berkumis tipis ini
dengan tetap tersenyum. Saya begitu kikuk. Ini benar-benar pengalaman yang luar
biasa bagi saya. Baru pertama kali ke Jakarta dari desa, belum tahu jalan,
belum kenal siapa-siapa, belum pernah masuk gedung kantor apapun. Tapi sekarang saya
berada di dalam ruangan besar, mewah dan rapi serta berhadapan dengan seseorang
yang begitu ramah, berpakain rapi dan berdasi pula. Saya hanya bisa
menganggukkan kepala sambil melihat ke wajah orang ini sebagai tanda setuju.
“bagus, kapan anda bisa mulai bekerja” katanya sambil menyenderkan badannya di kursi.
Belum sempat saya menjawab, orang itu melanjutkan kembali “minggu depan ada
training selama 1 minggu, anda bisa ikut training bersama-sama yang lain”. Wah, saya
begitu riangnya karena tidak menyangka bahwa ternyata begitu mudahnya mendapat
pekerjaan di Jakarta. Belum ada sebulan setelah berhasil lulus SMA, eh sekarang sudah diterima
bekerja. Di kantor perusahaan besar lagi. Dada saya penuh dengan rasa haru. Sepanjang jalan ke rumah saya membayangkan
kehidupan baru yang luar biasa sudah menunggu saya. Saya sudah tidak sabar
ingin segera memberitau keluarga terutama paman saya yang telah begitu
banyak memberi dorongan dan motivasi agar saya bisa sukses hidup di Jakarta. Saya
tinggal bersama keluarga paman saya Abdul Hamid Arifin adik ayah saya di daerah
Kebon Kelapa, Utan Kayu Jakarta Timur berjarak kira-kira setengah jam naik bis
dari kantor AJB Bumiputera di Menteng. Ketika sampai di rumah dengan penuh
semangat saya beritahu paman bahwa saya sudah diterima bekerja dan minggu
depan akan mengikuti training. Beliau sangat senang, kemudian paman saya menanyakan beberapa hal dan
akhirnya beliau tahu bahwa saya salah
alamat. Ternyata saya tidak sampai ke bagian komputerisasi seperti yang diarahkan oleh om
Sunarto. “Kamu diterima dibagian sales” kata paman saya dengan wajah tenang. Bagi saya waktu itu
tidak tahu apa bedanya antara pekerjaan sebagai sales dan bagian komputer, sama-sama bekerja juga
fikir saya. Paman saya yang sudah kaya pengalaman asam-garam dunia berbisnis memberikan motivasi
kepada saya. “Justru bagian sales itu yang lebih baik, nanti kamu bisa jadi orang
kaya kalau kamu sukses sebagai orang sales, walau kamu tidak dapat gaji tetap" kata paman saya. Selanjutnya beliau
bercerita panjang-lebar tentang kehidupan seorang salesmen yang penuh
dengan perjuangan. Diperlukan mental yang kuat, kreatifitas, sikap, keberanian dan dan daya juang yang tinggi. Salah satu nasihat beliau yang masih terus tengiang-ngiang ditelinga saya hingga saat ini adalah cerita beliau tentang pengalaman seorang sales “kadangkala kamu sebagai
orang sales terpaksa harus minum air keran di wastafel saking hausnya karena kamu
tidak punya uang untuk beli ari minum” kata paman saya menggambarkan betapa beratnya perjuangan yang
akan saya lakoni. Kemudian beliau juga menceritakan latihan-latihan dasar para
selesman di Jepang dimana mereka disuruh untuk berbicara dan berteriak sekeras-kerasnya
di tengah keramaian untuk melatih keberanian dan artikulasi suara.
Karir saya di asuransi dimulai dengan
mengikuti traninig. Ada sekitar sepuluh
orang yang mengikuti traninig ini. Ruanganya berada di tengah-tengah lantai dasar. Untuk
menuju kesana saya harus melalui beberapa meja dan orang-orang yang sedang bekerja.
Pada hari pertama training saya mengenakan celana warna abu-abu SMA dan baju kemeja
putih lengan pendek milik ayah saya. Sementara sepatu saya masih mengenakan
sepatu kats putih merek Shanghai yang biasa saya kenakan ke sekolah, itu adalah satu-satunya
sepatu yang saya miliki. Diantara teman-teman saya ada Aba Bakar, Suharsono,
Idris Latuconsina, Sopingi, Mansyur, Duma Sari Sara, Herdin Lase dan ada beberapa orang lain yang saya sudah lupa
namanya. Aba Abu Bakar adalah pemuda asal pulau Lomlen di Flores. Suharsono
asal Magetan Madiun, Idris Latuconsina asal Ambon, Mansur asal Palembang, Duma asal Batak serta Sopingi asal Madura dan Herdin asal Nias.
Para pengajar adalah para Kepala Unit (KU) antara lain pak Suparno, pak Edwar
Morel, pak Aswin, pak Ashari dan lain-lain. Pada hari pertama itu saya ditegor oleh
pengajar karena saya cara berpakaian saya yang tidak rapi terutama karena sepatu
saya harusnya sepatu kulit warna hitam. Esoknya saya datang dengan mengenakan
sepatu kulit warna hitam yang saya pinjam dari kakak sepupu saya Iryadi Arifin.
Tapi karena nomor sepatunya dua tingkat di bawah ukuran kaki saya, alhasil saya
harus berjalan sambil menjijit kaki karena jari-jari saya saling bedempetan
serta tumit saya terjepit. “Taufik, pakai sepatu adiknya ya” kata salah satu
pengajar melihat saya berjalan tertatih-tatih.
Selama satu minggu mengikuti traninig saya diajari
berbagai prinsip-prinsip dasar asuransi, tujuan asuransi, sejarah Bumiputera 1912 dan
hal-hal lain yang berkaitan dengan asuransi. Selama mengikuti kelas itu saya
sering terusik dengan bunyi dering telepon yang silih berganti. Suara itu hanya saya dengar di dalam film televisi. Ingin rasanya
saya melihat suasananya tapi saya tidak bisa, karena dari pagi sampai sore saya harus
berada di ruang training. Makan siang dan minum disediakan sehingga saya tak
perlu keluar. Rasa ingin tahu tentang dering telepon terpaksa saya tahan dulu.
Di hari terakhir masing-masing peserta mendapat uang lima ribu rupiah.
Selanjutnya setiap bulan akan diberi uang transport lima ribu rupiah. Lima ribu
rupiah pada tahun 1983 kira-kira setara dengan dua ratus lima puluh ribu sekarang.
Lumayan cukup untuk ongkos bis yang waktu itu bisa lima puluh rupiah saja bagi
orang yang tampangnya seperti anak sekolah.
Minggu ketiga bulan Juni tahun 1983 saya resmin
menjadi Petugas Dinas Luar (PDL) Asuransi Jiwa Bersama Bumitputera 1912 (AJB
1912) Rayon Menteng, Jakarta Pusat. Ini tepat dua minggu sebelum saya berulang
tahun ke sembilan belas. Saya mendapatkan kartu anggota PDL dengan sisa pas foto saya
waktu pembuatan ijazah SMA. Sebagai modal dasar untuk bekerja, ayah saya membelikan sepasang sepatu kulit warna hitam di toko Bata di pasar Bendungan Hilir. Kemudian dua buah celana panjang warna coklat dan warna krem yang dijahit di tempat penjahit milik saudara saya di kawasan Slipi. Sementara baju saya pakain baju ayah, baju sepupu saya Iryadi dan sepupu saya yang lain Rumsas Arifin.
Door to Door
“Dari pintu ke pintu ku coba tawarkan nama” itulah
sepenggal syair dari lagu karya Ebiet G Ade yang terkenal pada tahun 80an. Itu
pulalah pekerjaan yang saya lakukan untuk menawarkan asuransi jiwa. Belum tahu
seluk-beluk Jakarta, belum kenal siapa-siapa, belum lancar berbahasa Indonesia,
tidak punya pengalaman kerja dan tidak tahu apa-apa tentang asuransi. Dengan
kondisi seburuk itulah saya memulai karir saya di dunia asuransi. Hasilnya
tentu bisa diduga, setelah hampir enam bulan saya hanya mendapat 2 nasabah
itupun karyawan dari perusahaan saudara sepupu saya.
Untuk mencari nasabah saya harus menjalankan sales
door to door atau istilah sekarang disebut sebagai cold calling. Setiap pagi
saya berkomunikasi dengan Agen Koordinator (AK) seorang yang merekrut agen dan
bertanggung jawab kepada agen-agen baru. AK saya adalah kakanda Darlis Chan
beliau adalah orang yang pertama sekali saya temui ketika saya mengantarkan surat lamaran. Orangnya
bertubuh agak pendek, berbadan kecil, berkulit putih dan berkumis tipis.
Usianya sekitar 24 tahun waktu itu. Orangnya gesit, dinamis dan ramah. Karena
kakanda Darlis berasal dari Minang meski lahir dan besar di Lahat Sumatera Selatan, saya
memanggilnya dengan panggilan uda, panggilan akrab untuk seorang kakanda. Da
Darlislah mengajari saya segala ilmu yang dasar tentang pekerjaan sebagai seorang
agen asuransi. Cara berpenampilan yang menarik dengan mengenakan kemeja, berdasi dan celana kerja yang rapi. Terus terang saya sangat tidak menginginkan tampil seperti itu. Saya masih ingin berpenampilan seperti anak muda biasa. Mengenakan celana jeans, baju kaos, sepatu kats dan sangat kasual. Saya berlatih mengikatkan dasi dari da Darlis.
Sebagai langkah awal saya diminta untuk membuat daftar
nama-nama prospek yang akan saya datangi dan presentasikan asuransi. Saya hanya
punya 10 nama orang di Jakarta yang saya kenal, itupun sebagian besar
saudara-saudara saya. Untuk menambahkan daftar nama saya mendapatkannya dari
buku kuning milik Telkom. Saya pilih beberapa nama yang saya kenal. Mereka
adalah orang-orang terkenal pada masa itu antara lain penyanyi terkenal asal
minang Elly Kasim yang waktu tinggal di daerah Cempaka Putih. Camelia Malik
yang tinggal di Pondok Indah. Tak satupun dari nama-nama itu yang berhasil saya
dapatkan menjadi nasabah.Bahkan bertemu pun tidak pernah.
Untuk mendapatkan nasabah, saya mau-tidak mau harus
menempuh cara lain yaitu door to door. Cara yang menjadi momok bagi hampir
setiap salesman pemula. Bagaimana tidak, kita harus menemui orang yang tidak kita
kenal tanpa ada janji sebelumnya. “Selamat pagi pak, saya dari AJB 1912 Cabang
Menteng, boleh minta waktunya sebentar?” Begitulah kata pembuka yang sering
saya gunakan. Tapi untuk bisa menyampaikan kata-kata seperti itu memerlukan
perjuangan berat. Saya harus berjalan kaki menulusuri jalan-jalan yang panjang
di kawasan pertokoan dan perkantoran. Wilayah kerja saya adalah Jakarta Pusat dan Jakarta Selatan. Dari ujung jalan Sudirman di selatan,
menelusuri jalan Thamrin, Mardeka Selatan, Harmoni, Hayan Muruk, Glodok, Pintu Besar,
Kota Tua. Stasiun Beos, Berbelok ke timur ke jalan Pangeran Jayakarta. Jl
Gunung Sahari, Senen Raya, Kwitang, Krawat, Menteng Raya, Cikini, Jl Sabang.
Hampir seluruh jalan kecil serta gang-gang yang ada di wilayah ini sudah pernah saya
jelajahi bahkan berkali-kali. Perjuangan berat bukan hanya harus berjalan di
bawah terik matahari dan guyuran hujan tapi menghadapi beban mental karena di tolak dan dilecehkan oleh
calon nasabah. Sering terjadi, baru saja saya melangkah memasuki tokonya, mereka sudah melambaikan
tangan dan membuang muka untuk menolak kehadiran saya. Atau begitu melihat saya datang dengan tampang
seorang agen asuransi mereka langsung mengabaikan dan tidak mau melayani.
Sekali-sekali saya sempat juga melakukan presentasi tapi mereka tidak tertarik,
mungkin karena presentasi saya yang tidak jelas. Apalagi bahasa saya sering
tercampur antara bahasa Indonesia dengan bahasa Minang. Mungkin karena sering didatangi
oleh agen asuransi ada yang memasang tulisan di depan toko mereka “tidak
menerima peminta sumbangan dan agen asuransi”. Luar biasa.
Kisah Jalan Pangerang Jayakarta
Dari sekian pengalaman pahit sebagai agen asuransi
pemula saya mempunyai pengalaman yang sangat berkesan dan tak terlupakan hingga saat
ini. Kisah ini sudah lama saya janjikan akan saya tulis dan kirimkan kepada
sahabat saya serperjuangan mas Harsono.
Seperti biasa sekitar jam 9 pagi kami para PDL sudah
berangkat meninggalkan markas kami di kawasan Menteng. Masing-masing pergi menuju ke
tempat sasaran yang sudah ditentukan. Saya dan mas Harsono memutuskan untuk berjalan
kaki ke jalan Thamrin melalui jalan Sutan Shahrir,
jarak-jaraknya kira-kira 700 m. Saya merasa nyaman berjalan bersama dengan mas Harsono
karena dia lebih pede dan gigih. Kalau saya berjalan sendirian maka saya sering
takut dan melewati begitu saja toko-toko. Beda dengan mas Harsono, dia
konsisten. Setiap ada pintu toko yang terbuka dia pasti masuk dan menawarkan.
Mas Harsono tipikal orang Jawa yang ramah dan rendah hati. Yang paling istimewa
dari dirinya adalah bibirnya yang selalu tersenyum.
Setelah sampai di Wisma Nusantara persis di depan
Bundaran Hotel Indonesia, kami berhenti sebentar untuk memantapkan jadwal
kerja kami hari itu. Akhirnya kami putuskan bahwa kami akan berjalan kaki saja
ke daerah kota tua berjarak kira-kira 10 km karena ongkos kami sangat terbatas dan tidak cukup untuk sewa bis. Setelah mampir di gedung Citibank dimana ada salah satu prospek mas Harsono yang kami
follow up. Perjalanan kami lanjutkan melewati jalan Thamrin arah ke utara sampai
memasuki jalan Merdeka Barat. Dari situ kami langsung menuju kawasan Harmoni.
Kira-kira jam sebelas siang kami sudah memasuki kawasan jalan Gajahmada tempat
begitu banyak toko-toko besar milik toke keturunan Cina. Kamipun mulai beraksi
dengan keluar-masuk toko. Sekitar jam 12.00 kami sudah sampai di kawasan
Glodok tanpa ada satupun hasil. Panas mentari begitu menyengat hari itu. Perut
kami sudah mulai keroncongan minta untuk segera diisi. Tapi mau diisi dengan apa? Hari itu
kami tak punya uang cukup. Itulah alasan kami tadi memilih berjalan kaki dari kantor tadi pagi. Untuk menahan rasa lapar
kami hanya membeli sebuah goreng singkong untuk masing-masing. Setelah
beristirahat sebentar perjuangan kami lanjutkan kembali. Dari Glodok kami terus memasuki
jalan Kali Besar, jalan Cengkeh sambil terus beraksi keluar masuk toko dan kantor. Waktu di kawasan Kota Tua
masih banyak kantor perusahaan dan toko-toko peralatan dan mesin. Kaki saya
sudah mulai terasa lemas, telapak kaki dan jari-jari saya sudah terasa ngilu
dan bau. Perjalanan terus kami lanjutkan menuju kantor BNI dekat Stasiun Beos
tempat salah satu prospek mas Harsono berkantor. Hasilnya juga nihil. Perjalanan
kami lanjutkan menuju jalan Pangeran Jayakarta. Hari sudah semakin siang ketika
kami berjalan di depan gereja tua Portugis. Sinar matahari terus
membakar membuat kerongkongan kami terasa begitu kering. Di tengah-tengah jalan
Pangeran Jayakarta selepas perlintasan rel kereta api kami benar-benar kehausan
sehingga kami terpaksa membelanjakan uang kami yang tersisa yang kami
rencanakan untuk ongkos pulang. Uang itupun hanya cukup untuk membeli sebotol tehbotol. Kami minum
secara bergantian. Lumayan cukup untuk membasahai kerongkongan.
Karena uang kami sudah habis, kami harus memutar otak untuk mendapatkan ongkos
pulang ke rumah masing-masing. Solusinya kami harus segera kembali ke kantor
kami di Menteng untuk bisa bertemu dengan pimpinan kami para AK dan KU atau
siapapun yang bisa memberi kami ongkos untuk pulang. Ingat ini kejadian 30 tahun lalu. Ketika sarana telekomunikasi belum secanggih sekarang. Tidak bisa telepon apa lagi sms. Siang itu kami tidak lagi
melakukan prospek door to door. Kami langsung berjalan kaki ke Menteng berjarak
kira-kira 6 km dari jalan Pangeran Jayakarta. Menulusuri kawasan Mangga Besar,
Krekot, Pecenongan, Gambir, Mardeka Selatan dan jalan Sabang. Akhirnya kami sampai jua di
kantor jam 4 lewat. Ah ternyata para AK dan KU kami sudah pada pulang semua. Pupuslah
harapan kami untuk mendapatkan pinjaman uang. Bukan itu saja, kami tadinya juga
berharap agar bisa mendapatkan sedikit makanan untuk menambah isi perut yang tadi
hanya diisi sepotong goreng singkong. Nah, kalau kami ingin mendapatkan ongkos berarti kami
harus berjalan kaki lagi ke rumah pak Edwar Morel, KU kami yang tinggal di
kawasan Setia Budi berjarak kira-kira 3 km dari Menteng. Kami tidak punya
pilihan. Dengan tenaga yang tersisa kami lanjutkan perjalanan kami dengan kaki yang sudah sangat berat itu
ke rumah pak Edwar. Alhamdulilah beliau ada di rumah dan mau memberikan ongkos
kepada kami untuk pulang dan sekaligus untuk makan dan minum pelegas dahaga.
Setiap kali saya bertemu mas Harsono, kisah ini selalu
menjadi cerita menarik. Mas Harsono kini sudah menjadi seorang pengusaha property
yang sukses. Dia mempunyai perusahaan agen property yang mempunyai beberapa
kantor cabang di Jakarta dan Tangerang. Selain itu mas Harsono juga menjadi developer
dengan membangun beberapa kawasan perumahan, pertokoan dan bahkan apartemen. Rumahnya
di di Podok Indah, kawasan elit di Jakarta Selatan. Meski sudah sangat sukses,
mas Harsono masih seperti yang dulu. Ramah, rendah hati dan tentu selalu dengan senyuman
khasnya. Pengalaman menjadi agen asuransi telah menjadi bekal yang tidak ternilai
harganya. Dari sinilah mas Harsono mengerti cara berbisnis, melakukan prospek,
bergaul dengan banyak orang.
Kalau anda yang menjadi Agen Koordinator saya pada
saat saya memulai menjadi agen 30 tahun lalu, saya sangat yakin bahwa anda pasti tidak akan mau
menerima saya. Ya, karena tampang saya begitu culun, masih kecil, tak tahu
apa-apa dan ndeso pula lagi. Tapi tidak demikian halnya dengan da Darlis Chan, beliau
begitu memperhatikan saya dan manaruh harapan pada saya. Atau barangkali karena
beliau kasihan melihat saya. Karena seharusnya orang seusia saya duduk manis di
bangku kuliah dan bercengkarama dengan sesama teman mahasiswa. Da Darlis dengan
penuh perhatian mau membimbing saya. Mengajarkan saya menelusuri jalan-jalan di
Jakarta. Belajar bertemu dengan calon nasabah, melakukan presentasi. Beliau
pula yang mengajari saya naik lift untuk pertama kalinya di gedung Pertamina
pusat ketika saya menemani beliau menemui prospeknya disana.
Di minggu ketiga setelah saya menjadi agen, saya
curhat dengan da Darlis mengenai kondisi tempat tinggal saya. Bukan saya tidak
betah tinggal bersama dengan keluarga paman saya, tapi karena saya menyadari
bahwa kehadiran saya membuat beban keluarga beliau menjadi bertambah berat. Beliau
tinggal dengan lima orang adik-adik sepupu saya. Bisnis
paman saya sedang tidak bagus waktu itu. Selain itu di rumah itu tinggal pula ayah dan
kakak saya sehingga di rumah itu ada delapan.
Sebagai alternatif saya pernah ingin tinggal bersama dengan saudara supupu ayah
saya yang perempuan yang tinggal di kawasan Bendungan Hilir. Tapi beliau
keberatan kalau saya tinggal bersama beliau. Ketika saya ceritakan hal ini, da
Darlis sangat terharu dan akhirnya mengajak saya tinggal bersama keluarganya. Mereka
tinggal di kawasan Kebon Melati, Tanah Abang. Da Darlis tinggal bersama
isterinya yang sedang hamil di sebuah rumah kontrakan yang sangat kecil. Kontrakannya terdiri dari
satu ruangan saja. Tempat tidur dan dapur dalam satu ruangan. Sementara kamar
mandi berada di luar dan dipakai bersama-sama dengan penghuni yang lain. Tidak ada
peralatan eletronik dan lain-lain. Yang ada hanya sebuah tempat tidur dan
piring-piring, panci dan keranjang baju. Ketika malam tiba da Darlis tidur
bersama isterinya di atas dipan sementera saya tidur di lantai di
bawahnya. Saya sempat beberapa hari tinggal bersama mereka sebelum akhirnya
saya putuskan untuk kembali tinggal ke rumah paman saya. Ini setelah saya
mengalami pingsan di dalam bis kota di daerah Tanjung Priok sepulang saya
melakuan prospek di daerah kawasan itu. Saya pingsan karena sudah beberapa hari saya
kurang makan, mungkin saya kurang gizi.
Cita-cita
Setelah hampir enam bulan menjalani profesi sebagai
agen saya mulai putus asa. Begitu banyak penolakan dan kegagalan yang saya
rasakan. Tapi di lain pihak saya mulai menikmati peran saya sebagai seorang
agen asuransi. Saya sudah mulai terbiasa dengan penampilan yang rapi, gaya
bicara yang educated, pergaulan dengan teman-teman sesama agen dan para leader.
Saya juga sudah mulai mempunyai beberapa kenalan yang membuat saya punya
harapan. Tapi satu hal yang membuat saya ingin terus bertahan adalah cita-cita.
Sebagai agen kami diajarkan agar mempunyai cita-cita yang ingin diraih jika
berhasil mendapatkan nasabah. Salah satu cita-cita saya adalah ingin memiliki sepeda
motor Vespa seperti yang dimiliki oleh KU saya pak Edwar Morel. Wah, beliau
terlihat begitu gagah dengan vespanya itu.
Meski sudah saya coba untuk bertahan lebih lama tapi
karena penghasilan saya dari komisi inkaso tidak mencukupi sementara saya tidak
mau terus-menerus membebani keluarga paman saya, saya mulai mencari pekerjaan
lain. Saya ingin pekerjaan yang langsung ada uangnya berupa gaji. Akhirnya saya
melamar di perusahaan sepupu saya yang bergerak di bidang interior, design dan
furniture. Sepupu saya sebenarnya keberatan kalau saya bekerja di
perusahaannya. Setelah mendengarkan beberapa wejangan akhirnya saya diterima juga
bekerja di bengkelnya di daerah Ciputat. Awalnya saya kira saya akan dipekerjakan dibagian administrasi atau
kantor. Tapi saya keliru, saya ternyata ditempatkan di bengkel. Tugas saya menjadi
tukang amplas, tukang politur, pemasangan meja kursi. Kadang saya juga ikut
mengantarkan perabot naik mobil pick up bak terbuka ke kantor-kantor. Ini
kontras benar dengan pekerjaan saya sebelumnya sebagai agen. Sebagai agen saya
datang ke kantor-kantor mengenkan pakaian rapi dan berdasi. Kini saya datang
mengenakan pakaian kotor dan kumal sambil mengangkat perabotan. Kalau sebagai
agen saya diperlukan dengan santun. Sebagai tukang antar barang saya
diperlakukan sebagai seorang abang-abang. “mas tolong mejanya ditarok di pojok
sana” kata orang kantor sambil menunjuk-nunjuk. Saya sedih. Saya rindu
perlakuan orang kepada saya ketika menjadi agen asuransi. Saya sekarang merasakan
bedanya antara bekerja berdasarkan cita-cita sendiri dengan bekerja atas
perintah orang lain. Jauh lebih menyenangkan menjadi agen yang meski ditolak
oleh calon nasabah tapi mempunyai kebebasan untuk mengejar cita-cita sendiri.
0 comments:
Post a Comment