Begitulah pandangan sebagian besar para isteri-isteri. Kalau isteri mempunyai uang maka uang itu adalah 100 persen milik isteri dan suami tidak berhak menikmatinya. Sementera jika suami memiliki urang maka uang itu juga milik isteri sehingga suami juga tidak bisa leluasa menggunakannya.
Ungkapan di atas tidaklah selamanya benar dan tidak pula selamanya salah. Sesuai dengan ajaran Rasul bahwa isteri adalah menjadi tanggung jawab suami dan suami wajib menafkahi isterinya. Tapi masalahnya adalah apakah harus selalu uang dikuasai oleh isteri sementara sang suami yang telah membanting tulang untuk mendapatkan uang itu tidak bisa menikmati hasil keringatnya. Sementera sang isteri yang hanya mengurus rumah dan tinggal diam justru menguasai penggunaan uang! Kalau hal ini diterjemahkan dengan secara kaku tentu saja akan menimbulkan pertengkaran dan perpecahaan di dalam keluarga.
Yang terbaik adalah ketika sebuah keluarga telah mempunyai perencanaan yang matang dan baik sehingga sudah terjadi kesepatakan tentang pembagian tanggung jawab hak masing-masing dan penggunaanya. Suami yang ditakdirkan bertubuh kuat dan perkasa mengembang tugas mencari nafkah bagi keluarganya dengan segenap kemampuannya. Itu adalah kodratnya sebagai suami dan tidak ada alasan untuk tidak menjalankan tugas yang diembannya itu kecuali jika mempunyai halangan yang kuat misalnya sedang sakit, cacat tubuh, alias uzur. Sepanjangan tidak ada halangan maka suami harus menjalankan tugasnya. Yang paling penting adalah menjalankan tugasnya bukan hasil, karena hasil pasti datang kalau tugas sudah dijalankan. Isteri sangat bebahagia ketika melepas sang suami berangkat meninggalkan rumah untuk bekerja. Sambil berdoa di dalam hatinya semoga sang suami selamat di dalam menjalankan tugas dan pulang membawa hasil. Bukan hanya isteri, anak-anakpun demikian. Mereka sangat bangga melihat sang ayah tokoh kebanggaan mereka berangkat menuju tempat tugas dan membayangkan hasil yang akan di bawah sang ayah pulang ke rumah nanti sore.
Secara naluriah, anak-anak senantiasa membanggakan ayah-ayah mereka. Kitapun pernah menjadi anak-anak bukan? Masih ingat ketika kita menceritakan kepada teman-teman kita tentang kehebatan ayah kita? Atau masih ingat ketika seorang teman merendahkan martabat ayah kita dan kita marah besar! Bahkan pernah pula ada seorang teman yang sengaja mengadu kita untuk berantam dengan teman lain hanya dengan mengatakan “ hey si anu tadi menjelek-jelekkan ayah mu”. Langsung saja kita naik pitam dan menyerang teman kita. Memang demikianlah kodratnya, anak senantiasa membanggakan orang tuanya.
Isteri juga demikian, mereka sangat bangga mempunyai suami yang berprestasi dan sukses. Mereka kadang dengan sengaja atau tidak membanggakan suaminya kepada teman-teman mereka di sekolah anak, dipengajian ataupun di kumpulan mereka. Mereka merasa sangat tersanjung ketika sang suami menjemput dengan kendaraan yang bagus dan pakaian keren. Isteri merasa sangat beruntung mempunyai suami seperti itu. Mereka juga membanggakan hasil perjuangan suami dengan menghias diri dan rumah mereka. Menyekolahkan anak-anak di sekolah yang terbaik bukan di sekolah yang seadanya. Tak jarang pula isteri berpura-pura tentang keadaan suami yang mungkin pada saat itu dalam kondisi terpuruk tapi isteri selalu mengatakan suaminya baik-baik saja!
Sebaliknya anak-anak akan merasa malu dan tertekan ketika dia melihat ayahnya seharian tinggal di rumah dan tidak mempunyai kegiatan. Anak gelisah karena dia tahu ayahnya tidak mempunyai pekerjaan dan tentunya tidak akan punya penghasilan untuk membayar uang sekolah apa lagi untuk memberinya jajanan. Anak merasa malu ketika ayah temannya sibuk setiap hari dan pulang membawa hasil sementara ayahnya tinggal di rumah memakai celana pendek kumal. Isteri apa lagi, semakin suami tidak mempunyai pekerjaan isteri semakin panik dan stress. Berbeda dengan laki-laki, perempuan susah untuk mengendalikan emosi karena kecemasan dan ketakutan akan beban hidup sehingga tindakan dan kata-katanya mulai tidak terkontrol sehingga terlihat sangat mengesalkan dan kata-katanya sangat menyakitkan.
Jadi sebagai suami maka tugasnya adalah mencari nafkah! Jika ingin mendapatkan tempat yang terhormat dimata anak-anak dan isterinya. Tidak hanya dimata anak dan isteri tapi yang lebih utama lagi adalah di mata Allah SWT. Allah sangat memuliakan laki-laki yang pergi mencari nafkah untuk keluarganya. Saking Allah menghargai para pencari nafkah Allah menghadiahinya pahala Sahid jika dia meninggal dunia di dalam mencari nahkah untuk keluarganya. Luasr biasa!
Kalau demikian adanya tapi kenapa masih banyak para suami yang tidak benar-benar berjuang mencari nafkah buat keluarganya? Masalahnya bukan pada orang lain atau pada kondisi yang ada tapi ada pada diri sang suami itu. Apakah dia mempunyai tanggung jawab yang kuat atas diri dan keluarganya. Mau menanggung resiko hidup atau mati untuk keluarganya. Kebanyakan mereka tidak mau mencoba mengeluarkan semua kemampuannya. Mereka takut untuk memulai karena sering gagal, atau takut kalau-kalau badan dan mentalnya tidak siap untuk menghadapi tantangan kerja. Bekerja itu memang tidak mudah, kalau bekerja itu mudah maka semua orang akan mendapat pekerjaan dan mempunyai penghasilan. Bekerja itu perlu berkompetisi, siapa yang kuat dan cepat dia yang menang. Pekerjaan tidak datang ke depan pintu rumah tapi dia harus dijemput. Ustad Yusuf Mansur menyebutnya dengan istilah menjemput rezki. Rezeki anda sudah disiapkan Allah, anda tinggal menjemputnya saja. Banyak orang yang tidak mau menjemput rezkinya dari tangan Allah. Dia lebih senang memelihara rasa malas, lemas dan culas yang ada di dalam dirinya. Malas karena tidak mau bergerak atau berjalan keluar dari zona kenyamanan yang ada di sekitarnya. Meninggalkan televisi tua yang gambarnya sudah buram, radio/tape yang suaranya sudah sember, tempat tidur yang baunya sudah terlalu apek dan keras karena setiap hari ditiduri. Lemas dan enggan untuk mengalahkan rasa malu dan segan yang melilit dirinya. Dia malu untuk bertemu dengan orang, ya malu! Ada semacam hantu yang senantiasa membisikinya agar tidak usah bertemu dengan orang atau untuk membicarakan hal-hal yang penting bagi dirinya dengan orang lain bahkan dia berkomitmen lebih baik mati dari pada bertemu dengan orang lain! Dia lebih suka memelihara rasa rendah dirinya daripada membuangnya jauh-jauh. Untuk menutupi rasa malas dan lemas dia berlaku culas! Dia tidak segan-segan berbohong untuk mengatakan bahwa dia sudah mengerjakan sesuatu padahal belum. Dia tidak segan-segan untuk menggelapkan barang orang agar dia bisa memiliki sesuatu yang diinginkannya. Dia tidak segan-segan untuk menyampaikan beberapa alasan untuk menghindari segala macam tuntutan anak dan isterinya. Mulai dari alasan tidak enak badan, tidak ada kendaraan, kendaraan rusak, cuaca sedang tidak bagus, dan ribuan alasan lain. Padahal rumus untuk berhasil cuma satu yaitu tidak ada alasan! Kalau masih ada alasan maka tidak akan berhasil.
Jadi sebagai suami maka tugasnya adalah melakukan segala usaha dengan mengeluarkan segala kemampuan untuk mendapatkan nafkah bagi keluarganya.
Bagi para suami yang sudah produktif dan menghasilkan bukan berarti isteri semakin leluasa berakrobat dengan uang yang ada. Dia mempunyai tanggung jawab yang besar untuk memeliahara "harta suaminya" tidak satu senpun uang yang ada keluar tanpa sepengatahuan suaminya. Dia membuat perencanaan pengeluaran dan mendapatkan persetujuan. Banyak istri yang tidak melakukan tugasnya ini, mereka takut kalau-kalau dia dihalang-halangi untuk membeli barang kesukaannya atau dia dihalangi untuk melakukan sesuatu yang mungkin tidak disetujui oleh suami. Pada isteri adalah pakaian suami, wajib hukumnya bagi isteri untuk memberi tahu suaminya tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan dirinya.
0 comments:
Post a Comment