Sampai akhir September
2014 ini, sudah tujuh bulan lamanya tariff asuransi harta benda yang baru
berlaku. Bagi nasabah asuransi yang polis asuransinya mulai berlaku sejak bulan
Februari 2014, mereka sudah merasakan perbedaan antara tariff premi asuransi yang
baru dengan premi tahun sebelumnya. Sementara bagi nasabah yang polis
asuransinya belum jatuh tempo mulai dari sekarang sampai Januari 2015 mungkin
mereka belum merasakan kedahsyatannya. Biasanya sebagian besar polis-polis
asuransi harta benda baik Property All Risks, Industrial All Risks maupun Polis
Asuransi Standard Kebakaran Indonesia (PSKI) jatuh tempo pada bulan Desember
dan Januari setiap tahun disesuaikan dengan tahun buku perusahaan. Oleh karena
itu pada kesempatan ini penulis ingin memberikan gambaran mengenai cara perhitungan
premi asuransi harta benda sesuai dengan ketentuan yang ada di dalam Surat
Edaran dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang dikenal dengan sebutan
SE-06/D.05/2013. Surat edaran ini juga mengatur tentang tariff asuransi kendaraan
bermotor, tapi untuk kali ini penulis hanya membatasi pembahasan pada asuransi
harta benda saja.
Sebelum kita membahas
mengenai cara penghitungan tariff premi SE-06, mari kita tinjau kembali metode perhitungan
tariff premi asuransi sebelum tariff ini diberlakukan. Sebenarnya, perubahan
tariff standard asuransi harta benda sudah sering kali terjadi. Paling tidak
selama penulis berkecimpung di dunia asuransi selama 25 tahun sudah ada sekitar
lima kali tariff premi ini berubah. Hal ini disebabkan oleh dinamika industri
asuransi Indonesia maupun dunia. Jika kondisi pasar asuransi dunia mengalami
kerugian besar akibat terjadinya kecelakaan dan bencana alam di salah satu belahan
dunia, musibah itu akan berdampak pula pada tingkat premi asuransi di
Indonesia. Misalnya beberapa tahun lalu terjadi banjir besar di sungai
Missisippi di Amerika yang menyebabkan kerugian ratusan milyar dollar, kerugian
itu diganti oleh perusahaan asuransi dan reasuransi yang ada di seluruh dunia
baik yang berada di benua Amerika, Eropa, Inggris dan Asia. Industri asuransi
itu adalah bisnis global yang saling berhubungan dalam bentuk kerjasama
reasuransi (penanggung ulang). Ini sesuai dengan konsep pemindahan resiko (risk
transfer) atau pembagian resiko (risk sharing) di dalam industri asuransi. Hal yang
sama juga berlaku ketika terjadi peristiwa yang menggemparkan dunia dengan runtuhnya
menara kembar di New York yang dikenal dengan sebutan peristiwa 911. Ratusan
millar dollar klaim asuransi yang timbul akibat kerusakan materi dan kehilangan jiwa, akibatnya premi
asuransi dunia setelah kejadian itu meningkat karena perusahaan asuransi harus
menutupi kerugian itu.
Setelah terjadinya
gempa bumi dan tsunami dahsyat yang melanda Aceh dan sekitarnya pada tahun 2004,
kemudian diikuti pula dengan terjadinya gempa bumi Yogyakarta, industri
asuransi Indonesia kemudian menetapkan tariff standard resiko gempa bumi yang
dikenal dengan sebutan tariff Maipark. Tarrif ini secara umum jauh lebih tinggi
dari tariff yang ada sebelumnya. Tapi karena itu sudah menjadi keharusan
(compulsory) maka semua perusahaan asuransi harus mengikutinya. Untuk mengatasi
kenaikan premi yang sangat tinggi ini, banyak perusahaan asuransi yang kreatif
dengan menggunakan tarif Maipark ini
hanya sebagai patokan tertinggi untuk keseluruhan resiko terutama untuk jaminan
Property All Risks (PAR). Komponen premi asuransi PAR yang baik seharusnya terdiri
dari premi standand kebakaran Indonesia (PSKI), tariff gempa bumi (Maipark),
tariff banjir, angin topan, badai, dan kerusakan karena air (FTSFWD), tariff
hura-hara dan kerusuhan (RSCC) dan ditambah dengan tariff resiko lain-lain.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Jika
anda memerlukan jaminan Pengiriman barang atau Pengangkutan Barang
dengan biaya ringan. Hubungi L&G Insurance Broker. Broker dan
konsultan
asuransi khusus bank garansi terbaik di Indonesia. Segera call/WA segera
ke 081283987016 sekarang juga
atau klik L&G Insurance Broker
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Untuk diketahui,
jaminan asuransi harta benda bisa dibagi dua, pertama jaminan dengan
resiko-resiko tertentu (named perils) dan kedua jaminan semua resiko (All
Risks). Jaminan named perils biasanya berlaku untuk okupasi yang sederhana
(simple risks) seperti rumah tinggal dan toko. Sementara jaminan All Risks
berlaku untuk okupasi yang lebih besar seperti hotel, mall, gedung tinggi,
pabrik dan lain-lain. Untuk perlindungan yang maksimal, hampir semua harta-benda
yang bernilai besar menggunakan jenis asuransi All Risks.
Untuk memberikan
gambaran yang lebih jelas mengenai cara menghitung premi asuransi sebelum
berlakunya tariff SE-06, berikut kami berikan ilustrasinya:
Contoh, hotel berlantai
25 dengan nilai pertanggungan sebesar Rp. 250,000,000,000 (dua ratus lima puluh
milyar). Lokasi terletak di Jakarta yang berada di zona 4. Sesuai dengan tariff
gempa bumi Maipark maka tariff preminya adalah 0,15%. Kemudian untuk
meningkatkan jaminan asuransi menjadi “All Risks” maka tariff premi dasar gempa
bumi di naikan (loading) sebesar 0,05% saja dengan demikian tariff
preminya menjadi 0,155%. Total premi
asuransinya adalah Rp. 250,000,000,000 x 0,155% = Rp. 387,500,000/tahun.
Kemudian dengan berbagai mekanisme yang bisa diterima oleh perusahaan asuransi
maupun pihak reasuransi, tertanggung masih bisa mendapatkan penunuran premi
berupa discount dalam jumlah yang lumayan besar.
Dalam SE-06 cara
perhitungan premi seperti ilustrasi diatas tidak berlaku lagi. Semua komponen
resiko harus diperhitungkan. Tariff premi standard kebakaran PSKI atau dikenal
juga dengan FLEXA dihitung sesuai dengan ketentuan tariff baru yang ada di
dalam SE-06. Tariff premi asuransi gempa bumi sama seperti tariff Maipark yang
kemudian juga dimasukkan di dalam paket SE-06, ditambah lagi dengan tarif
resiko banjir yang juga diatur di dalam SE-06. Tariff yang tidak diatur di
dalam SE-06 adalah resiko huru-hara dan kerusuhan. Tariff ini mengacu pada
tariff yang sudah pernah ditentukan sebelumnya. Khusus untuk tariff asuransi PSKI
menggunakan tariff atas dan tariff bawah. Perusahaan asuransi dipersilakan
melakukan keputusan sendiri tariff yang mana akan dipakai. Selain komponen itu,
perusahaan asuransi masih mengenakan loading untuk jaminan lain-lain untuk
melengkapi menjadi jaminan All Risks.
Ringkasnya komponen premi
asuransi untuk jaminan All Risks seusuai dengan SE-06 terdiri dari :
1.
Tariff dasar PSKI/FLEXA
2.
Tariff dasar gempa bumi/EQVE
3.
Tariff dasar banjir/FTSWD
4.
Tariff dasar huru-hara dan kerusuhaan
RSMD/RSCC
5.
Loading untuk others
Untuk tariff nomor satu
sampai dengan nomor tiga, ada di dalam SE-06 sementara untuk nomor empat dan
lima tidak ada sehingga perusahaan asuransi dapat menentukan sendiri tariff
preminya.
Untuk mengetahui
perbedaan antara tariff lama dengan tariff SE-06, mari kita gunakan contoh yang
sama seperti di atas:
§ Okupasi
hotel – kode tariff PSKI 29412 (hotel certified as 3 star and above). Tariff
bawah 0,0438% tariff atas 0,0540%
§ Gempa
bumi lokasi di zone 4 tariff 0,15%
§ Banjir
Zona 1 tariff bawah 0,05%, tariff atas 0,055%
§ Huru-hara,
tariff lama 0,025%
§ Lain-lain
biasanya berdasarkan persentasi dari tariff
dasar
Seluruh
komponen diatas kemudian dijumlahkan. Jika menggunakan alternatif tarif bawah
total premi asuransi menjadi 0,27% jika dibulatkan. Jika dikalikan dengan nilai
pertanggungan sebesar Rp. 250,000,000,000 maka total premi asuransi menjadi Rp.
675,000,000. Mari kita bandingkan dengan jumlah premi pada tahun sebelumnya
yang hanya Rp. 387,500,000/tahun. Ada
kenaikan sebesar Rp. 287,500,000 atau sebesar 75% dari premi tahun sebelumnya.
Angka ini belum termasuk faktor discount yang diberikan pada tahun sebelumnya
yang besarnya bervariasi.
Dalam
ilustrasi ini kita hanya menggunakan okupasi hotel yang tariff dasar PSKInya
rendah, tapi bagaimana dengan tariff dasar untuk industri lain yang resikonya
lebih tinggi, seperti textile, petrochemical, mining dan lain-lain yang tariff PSKI
dasarnya sangat tinggi. Bisa jadi peningkatan premi asuransinya diatas 100%
bahkan bisa lebih besar lagi.
Jika
tidak ada perubahan tariff, bagi tertanggung yang polis asuransinya belum jatuh
tempo, bisa menggunakan ilustrasi diatas untuk mempersiapkan anggaran premi
asuransi untuk perpanjangan polis-polis asuransinya. Jika dibandingkan dengan
kenaikan harga maupun tariff yang lazim terjadi, kenaikan sebesar ini tentulah
terasa sangat tinggi. Bandingkan dengan tingkat inflasi rata-rata di Indonesia
yang hanya di bawah 10% pertahun.
Sampai
bulan ketujuh sejak diberlakukannya ketentuan tariff premi SE-06 ini, semua
berjalan dengan baik dan dan diikuti oleh semua pelaku industri asuransi. Bagi
nasabah yang tidak mampu membayar premi yang tinggi, tidak sedikit yang
memutuskan untuk tidak mengasuransikan assetnya atau self insured. Meski
beberapa usaha dari beberapa kalangan terutama dari industri broker asuransi
melalui Asosiasi Perusahaan Pialang Asuransi dan Reasuransi Indonesia
(APPARINDO) sebagai perwakilan resmi dari tertanggung telah berusaha untuk
menghimbau OJK untuk meninjau kembali kebijaksanaan ini, tapi hingga saat ini
belum ada tanda-tanda perubahan sikap dari OJK. Demikian juga dengan lembaga
pemerintah Komisi Pengawas Persaingan
Usaha (KPPU) juga sudah meminta OJK untuk menghapus aturan tarif batas bawah
asuransi kerugian.
Sesuai
dengan penjelasan dari OJK bahwa tujuan dari penerapan tariff ini adalah untuk
menyehatkan industri asuransi Indonesia. Hal ini dapat dimengerti karena dengan
meningkatnya penerimaan premi asuransi diharapkan akan dapat memperbaiki kinerja keuangan
perusahaan asuransi. Namun permasalahan
industri asuransi umum tidaklah semata-mata pada faktor modal saja akan tetapi
ada faktor lain seperti efisiensi manajemen, teknik asuransi, visi dan misi
dari pemilik perusahaan.
Meski
kenaikan tariff premi asuransi harta-benda sudah sedemikian tinggi ironinya ternyata
tidak sejalan dengan peningkatan pendapatan premi asuransi harta-benda seperti
yang disampaikan oleh pengurus Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) pada
smester pertama tahun 2014 yang hanya sekitar 40% saja dibandingkan dengan
periode yang sama tahun 2013 lalu. Mungkin hal ini disebabkan karena kenaikan
tariff baru mulai bulan Februari 2014 jadi hanya dihitung dalam waktu lima
bulan saja. Tapi kalau dilihat dari persentasi kenaikan tariff yang sekitar 100%
meskinya pertumbuhannya bisa jauh lebih besar dari itu. Pertanyaannya kemanakah
perginya selisih premi tersebut?
Jika
melihat kondisi pasar reasuransi internasional tahun lalu, tidak ada musibah
yang luar biasa (catastrophe) di dunia ini yang menyebabkan timbulnya klaim
asuransi besar yang memerlukan kenaikan biaya premi reasuransi. Mestinya dengan
tariff premi reasuransi yang sama dengan tahun lalu pihak reasuransi di luar
negeri tetap bisa menerima resiko dari Indonesia. Tapi karena tariff SE-06
sudah terlanjur beredar di pasar reasuransi internasional, maka mereka juga
dengan senang hati menaikkan tariff premi mereka. Sayangnya kapasitas retensi
asuransi di dalam negeri tidak banyak meningkat, sehingga sebagian besar premi
asuransi masih harus terbang keluar negeri. Ironis, kenaikan beban premi yang
dipikul oleh tertanggung sedemikian besar tidak benar-benar bisa dinikmati oleh
industri asuransi dalam negeri karena keterbatasan retensi.
Kami
berharap dengan penjelasan ini kiranya dapat semakin membuka mata dan hati
semua pihak untuk bisa meninjau kembali penetapan tariff SE-06 ini demi
kebaikan tertanggung, penanggung, industri asuransi dan masyarakat Indonesia seluruhnya.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Jika
anda memerlukan jaminan Pengiriman barang atau Pengangkutan Barang
dengan biaya ringan. Hubungi L&G Insurance Broker. Broker dan
konsultan
asuransi khusus bank garansi terbaik di Indonesia. Segera call/WA segera
ke 081283987016 sekarang juga
atau klik L&G Insurance Broker
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
0 comments:
Post a Comment