Kiss of Death 2 (That kills you)

Ini seperti cerita berseri saja karena bulan lalu saya sudah menulis juga mengenai judul di atas. Pemikiran ini merasuk ke dalam fikiran setelah kemarin pagi saya kedatangan tamu sepasang suami isteri teman ayah yang sudah saya anggap sebagai ayah. Beliau tinggal tak jauh dari rumah kami.

Usia mereka sudah mendekati 80 tahun, namun di usia seperti ini belum juga bisa menikmati masa tuannya dengan nyaman. Mereka sebenarnya bukanlah orang yang gagal baik secara sosial maupun secara ekonomi. Mereka mempunyai pergaulan yang luas dan dihormati. Secara financial mereka juga mempunyai asset yang cukup besar nilainya berupa rumah, tanah dan piutang. Namun apa boleh buat asset sebanyak itu belum bisa memberikan manfaat bagi mereka, mereka dengan susah payah mengurus diri dan keluarganya.
Lalu apa yang membuat mereka belum juga bisa menikmati hari tuanya? Ya, itu dia, Kiss of Death That Kills Them.

Menurut informasi yang saya dengar sebenarnya mereka tidak mempunyai anak kandung tapi untuk memenuhi kerinduannya untuk membesarkan seorang anak mereka mengangkat anak perempuan salah seorang saudaranya. Anak itu dirawatnya dari kecil hingga sekarang sudah besar (sebentar lagi akan menjadi nenek-nenek).
Entah karena terlalu sayang dengan anak ini ataukah karena memang anaknya tidak mandiri hingga saat ini si anak masih “netek” terus sama mereka. Usianya sekarang sudah lebih dari 50 tahun dan sudah mempunyai 3 orang anak yang sudah dewasa. Dia, suami dan ketiga anak-anak itu (2 diantaranya sudah bekerja) masih tinggal di rumah tua ini. Orang tua ini yang harus memikirkan biaya hidup mereka sehari-hari.
Si anak perempuannya itu tidak bekerja dan juga tidak kreatif menciptakan pekerjaan, si suami bekerja serabutan dengan penghasilan sedikit walau sudah diusahakan mendapatkan pekerjaan yang baik tapi dia tak bernah berhasil karena sikapnya yang buruk. Memang dua anak-anak mereka (cucu angkat) sudah bekerja tapi tak pernah membantu meringankan beban orang tua mereka. Gaji mereka digunakan untuk mencicil motor dan jajan, bahkan anak yang tertua sekarang sedang terlilit hutang kartu kredit.
Hal hasil kembalilah suami isteri yang tua renta ini berusaha mencari uang kesana kemari. Kadang dia berusaha berdagang dan berbisnis, tapi apa ya ada orang yang masih mau berbisnis dengan mereka sudah uzur itu? Orang-orang hanya sekedar berbasa-basi saja mengajak mereka berbisnis, buktinya sudah hampir 10 tahun ini mereka berbisnis tapi tak satupun yang berhasil.

Kenapa anak angkat mereka tidak bisa mandiri? Saya melihat karena mereka terlalu melindungi orang itu. Secara fisik dan pendidikan si anak sebenarnya tidak ada masalah, sudah cukup dan dia mampu. Akan tetapi karena mereka “kepit” terus menyebabkan anak itu tidak mandiri. Demikian juga dengan si menantu, merekalah yang sibuk mencarikan perkerjaan untuknya kesana-kemari sementara sementara si mantu tidak berhasrat karena sudah nyaman. Rumah sudah tersedia, makan tinggal makan, rokok pun dibelikan, so what more?

Ayah saya benar ketika beliau ‘menjerumuskan” kami waktu usia kami masih remaja. Bagi orang umum, mungkin cara ayah saya termasuk extreme alias keras tapi beliau punya prinsip “kewajiban papa cuma sampai kalian tamat SMA” katanya. Tapi kami dibekali dengan visi jauh ke depan, mereka memberikan gambaran/impian masa depan dan kami yang akan mengejarnya. Cara seperti ini tidak hanya berlaku pada kami tapi sudah menjadi “standard” ayah saya beradik-kakak. Hampir semua sepupu saya mandiri sejak tamat SMA. Tapi alhamdullilah hampir semuanya sukses, rata-rata mereka lulus S1, pengusaha sukses, diplomat, ataupun birokrat.
Orang Minang punya pepatah yang bagus tentang ini “sayang di kampuang batinggakan, saya dianak balacuk’i”. Kalau sayang dengan kamung tinggalkan, kalau sayang dengan anak dipukuli.

Hal kedua yang membuat pasangan lanjut usia ini belum nyaman juga adalah karena banyak orang-orang yang beliau tolong dengan miminjamkan uang tapi tidak semuanya mengembalikan.
Beliau ini termasuk orang yang murah hati, dia tak tahan mendengar anak, kemenakan terutama asal kampung halamannya yang terdampar di Jakarta atau yang sedang mengalami kesusahan, tanpa pikir panjang mereka beri uang atau mereka pinjamkan uang.
Ada sekitar 10 orang yang dulu susah hidupnya yang mereka pinjami uang dan mereka modali tapi hingga saat ini belum juga mengembalikan uang mereka. Jumlahnya ratusan juta. Sebagian besar orang-orang itu sekarang sudah sukses dan kaya, tapi ketika orang tua ini datang menagih utangnya mereka cicil dengan sekecil-kecilnya, bahkan mereka hanya bayar Rp. 50,000 saja cukup untuk ongkos mereka pulang pergi padahal sisa hutang mereka masih belasan juta rupiah.

Kalaulah orang-orang yang pernah ditolong ini mengembalikan semua uang orang tua ini, tentulah itu cukup untuk kebutuhan mereka yang mungkin hidupnya tak terlalu lama lagi. Tak usah ditambah dengan bagi hasil atau bunga, mengambalikan pokoknya cukuplah. Tapi koq ya ada orang sebegitu teganya kepada orang yang telah berjasa mengangkat mereka dari kubangan lumpur hingga menjadi raja seperti sekarang ini.

Belajar dari jalan hidup orang tua ini saya mengambil hikmah, stop kissing of death. Membantu orang cukup sekedarnya sajalah. Bantu mereka membuka jalan, informasi, pendidikan serta uang secukupnya. Selanjutnya biarkan mereka menjalani hidup mereka sendiri, biarlah alam yang mengajari mereka.
Jangan mudah jatuh hati (iba) ketika ada orang datang meminta bantuan, pelajari apa yang bisa dibantu dan bantulah sewajarnya. Tunjuki jalan dan caranya, setelah itu katakan “go with your own way”. Ajari mereka mengendari sepeda tapi jangan berikan sepeda anda karena mereka bisa menggunakan sepeda itu untuk menubruk anda. Ketika membantu jangan berharap mereka akan membalas, gunakan ilmu buang air besar, anggap saja bantuan anda itu sebagai “ee’” yang tidak akan pernah diambil kembali.
Share on Google Plus

About Taufik Arifin

0 comments: